Translate

Ahad, 15 April 2012


MAKALAH TAUHID
Konteks Islam, Iman, Kufur, Syirik dan Aspek-aspeknya
Dosen Pengampu
Farida Musyrifah, M.S.I


JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2012

BAB I
PENDAHULUAN

Persoalan yang pertama-tama timbul dalam teologi Islam adalah masalah iman dan kufur. Persoalan itu pertama kali dimunculkan oleh kaum Khawarij ketika mencap kafir sejumlah tokoh sahabat Nabi saw yang dianggap telah berbuat dosa besar, antara lain Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sofyan, Abu Hasan al- Asy’ari, dan lain-lain. Masalah ini lalu dikembangkan oleh Khawarij dengan tesis utamanya bahwa setiap pelaku dosa besar adalah kafir.
Aliran lain seperti Murji’ah, Mu’tajilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah turut ambil bagian dalam masalah tersebut bahkan tidak jarang terdapat perbedaan pandangan di antara sesama pengikut masing-masing aliran.
Perbincangan konsep iman dan kufur menurut tiap-tiap aliran teologi Islam, seringkali lebih menitik beratkan pada satu aspek saja, yaitu iman atau kufur. Lebih jelasnya akan dibahas dalam makalah ini.


































BAB II
PEMBAHASAN
A.    KONSEP ISLAM
Islam merupakan agama yang sangat diridhoi oleh Allah SWT. Para mudjahid membagi Islam ke dalam tiga kerangka pokok yaitu aqidah, Syariah dan akhlak. Semuanya merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Drs. Nasruddin Razak menyebutkan dalam bukunya “Dainul Islam”  bahwa : Islam adalah dalam satu kesatuan ajaran, ajaran yang satu dengan yang lainnya mempunyai nisbat dan hubungan yang saling berkaitan. Maka Islam dapat kita lihat serempak dalam tiga segi: Aqidah, syariah dan nizam. Nizam adalah serupa dengan sistem, cara hidup atau the way of life. Islam sebagai suatu sistem, pertama kali kita lihat sebagai iman (kepercayaan), kemudian sistem ibadah (penyembuhan) sistem akhlak. Islam juga merupakan suatu cara hidup, mempunyai cara hidup dalam berkeluarga, cara hidup sosial, cara hidup dalam bidang politik, cara hidup ekonomi dan lain sebagainya. Untuk lebih jelasnya maka kita akan membahas lebih dalam mengenai ketiga aspek ajaran Islam di bawah ini. Mengenai akidah, syari’ah dan akhlak.
1.      Aspek Aqidah
Aqidah adalah sesuatu yang dianut oleh manusia dan diyakininya baik berwujud agama dan yang lainnya.[1] Aqidah (kepercayaan) itu adalah sesuatu hal yang pertama-tama yang diserahkan oleh Rasulullah dan yang dituntutnya dari manusia untuk dipercayai dalam tahapan pertama daripada tahapan-tahapan dakwah Islamiyah dan yang merupakan pada seruan setiap Rasul yang diutus oleh Allah swt. Aqidah secara etimologi berarti ikatan atau sangkutan. Dan secara terminologi berarti creedo, creed yaitu keyakinan hidup. Iman dalam arti yang khusus, yakni pengikraran yang bertolak dari hati. Bentuk jamakmua ‘aqaid atau ma’rifat, ilmu ushuluddin, ilmu kalam, ilmu hakikat dan ilmu tauhid. Sayid Sabiq mengemukakan bahwa pengertian keimanan atau aqidah itu tersusun dari enam perkara yaitu:
a. Ma’rifat kepada Allah
b. Ma’rifat dengan Alam yang ada dibalik alam semesta ini.
c. Ma’rifat dengan kitab-kitab Allah 4. Ma’rifat dengan Nabi-nabi serta Rasul-rasul Allah.
d. Ma’rifat dengan hari akhir.
e. Ma’rifat dengan takdir Qs. Al-Anfal: 2-4 “Sesungguhnya orang-orang yang beriman
ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila
dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan Hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezki (nikmat) yang mulia”.

Akidah dalam Islam meliputi keyakinan dalam hati tentang Allah sebagai Tuhan yang wajib disembah, ucapan denagn lisan dalam bentuk dua kalimah syahadat, diwujudkan dalam perbuatan dengan amal shaleh. Akidah dalam Islam harus berpengaruh pada segala aktivitas yangt dilakukan oleh menusia. Sehingga aktivitas tersebut dapat bernilai ibadah.[2]Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa akidah dalam Islam tidak hanya sekedar keyakinan dalam hati, melainkan tahap lanjutan yang akna menjadi acuan dan dasar dalam bertingkah laku, serta berbuat yang pada akhirnya akan menghasilkan amal shaleh.
2.      Aspek Syariah
Syariat adalah peraturan-peraturan yang diciptakan Allah atau yang diciptakan pokok-pokoknya di dalam berhubungan dengan Tuhannya, dengan saudara sesama muslim, dengan saudara sesama manusia, dengan alam dan hubungannya dengan kehidupan. Cara untuk mengadakan hubungan tersebut adalah:
a. Cara manusia berhubungan dengan Tuhan
b. Cara manusia berhubungan dengan sesama muslim
c. Cara manusia berhubungan dengan saudara sesama manusia
d. Cara manusia berhubungan dengan alam
e. Cara manusia berhubungan dengan kehidupan.

Syari’ah pada asalnya bermakna “jalan yang lempeng” Pengertian syari’ah yang sering dipakai dikalangan para ahli hukum, ialah: “Hukum-hukum yang diciptakan oleh Allah SWT untuk segala hambaNya agar mereka itu mengamalkannya untuk kebahagiaan dunia akhirat, baik hukum-hukum itu bertalian dengan perbuatan, aqidah dan akhlak”. Para ahli fiqh memakai kata syari’ah ini sebagai nama bagi hukum yang ditetapkan Allah untuk para hambaNya dengan perantaraan Rasulullah supaya para hambaNya tersebut melaksanakannya dengan dasar iman yang hukum tersebut mencakup seluruh kehidupan manusia. Syari’ah berasal dari wahyu Allah yang dituangkan dalam al-Quran dan al-Hadits, diwajibkan untuk ditaati dan dilaksanakan sebagaimana mestinya, apabila manusia ingin hidup bahagia dan tenteram baik di dunia dan di akhirat maka Allah berfirman Syari’ah juga merupakan tata ketentuan yang telah mengatur dengan sebaik-baiknya bagaimana seorang muslim melakukan kewajibannya terhadap Allah secara vertikal dan bagaimana pula seorang muslim mendapatkan hak dan melaksanakan kewajibannya secara horizontal terhadap sesama makhluk Allah. Syari’ah berpusat pada dua segi kehidupan yang cukup mendasar yaitu aspek ibadah dan muamalah. Aspek ibadah terdiri dari dua jenis yaitu ibadah dalam pengertian umum dan ibadah dalam pengertian khusus. Ibadah dalam pengertian umum yakni semua amalan yang diizinkan oleh Allah dan yangn tidak ditetapkan secara terperinci mengenai keharusan mengerjakannya. Sedangkan ibadah dalam arti khusus yakni apa-apa yang telah ditetapkan Allah secara terperinci baik tingkat maupun kaifiyat atau dalam cara-cara tertentu. Sesuai dengan fungsi, tujuan dan nilai yang terkandung dalam peribadatan dapat diketahui tiga macam bentuk ibadah yaitu:
·         Ibadah syahsiyah adalah ibadah perorangan dalam rangka pembentukan watak yang formil yakni kepribadian muslim, seperti ibadah shalat dan syahadat.
·         Ibadah ijtima’iyah syaltout yaitu ibadah kemasyarakatan yang bernilai amaliyah social untuk membentuk rasa tanggung jawab sosial, seperti zakat dan puasa.
·         Ibadah siyasah adalah ibadah yang secara tidak langsung terkandung aspek politis biasanya berupa ibadah haji untuk membina persatuan dan kesatuan umat.

3.      Aspek Akhlak
Akhlak ialah suatu gejala kejiwaan yang sudah meresap dalam jiwa, yang dari padanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah, tanpa mempergunakan pertimbangan terlebih dahulu. Apabila yang timbul daripadanya adalah perbuatan-perbuatan baik, terpuji menurut akal dan syara’ maka disebut akhlak baik, sebaliknya apabila yang timbul dari padanya adalah perbuatan yang jelek maka dinamakan akhlak yang buruk. Dalam menjalankannya sebaiknya berpedoman kepada al-Qur’an dan al-Hadits. Secara garis besarnya menurut sifatnya terbagi kepada dua yakni akhlak terpuji dan akhlak tercela. Dari segi bentuknya kahlak dapat dibagi dalam tiga kelompok yaitu:
a. Akhlak kepada Allah
b. Akhlak terhadap manusia
c. Akhlak terhadap makhluk-makhluk lain.

Masalah-masalah pokok yang menyangkut akhlak, menurut al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin ialah:
 a) Hikmah yakni kemampuan jiwa untuk membedakan yang benar dari yang salah dalam segala perbuatan yang ada di bawah kekuasaan manusia.
b) Keadilan yakni kemampuan jiwa untuk mengendalikan daya (kekuatan), marah, dan daya nafsu serta mendorongnya kepada tuntunan hikmah dengan membatsi gerak-geriknya.
c) Syaja’ah yakni keadaan daya gadlah yang tunduk dan taat kepada akal dalam semua gerak maju dan mundurnya.
d) Iffah yakni keadaan daya nafsu terpimpin dan terdidik dengan pendidikan dan pimpinan akal dan agama.[3]

B.      KONSEP IMAN
Pengertian Iman Dari segi bahasa kata ‘Iman’ (إيمان) itu mempunyai akar kata yang sama dengan ‘Aman’ (أمان). Artinya jika seseorang beriman kepada sesuatu (seseorang) maka ia akan berharap memperoleh rasa aman dari yang diimaninya itu. Seperti ia merasa was-was membawa atau menyimpan uang di rumah, kemudian ia memutuskan ‘beriman’ (memberikan kepercayaan) kepada sebuah Bank untuk mengamankannya.
Dalam kehidupan kita, sering kita memberikan sikap percaya kepada pihak lain untuk menangani masalah yang tidak sanggup kita lakukan. Pada saat kita naik bis, sebenarnya kita sudah beriman (percaya) kepada supir untuk membawa kita kepada tempat yang kita tuju. Sedangkan apapun resiko perjalanan, seperti menghindari macet, kondisi mesin, cuaca, dsb. kita percayakan kepada supir untuk mengaturnya.
Banyak aspek kehidupan yang mengandung wilayah spekulasi, remang-remang, ketidaktahuan, harapan rugi-untung, telah dilakukan kebanyakan orang. Karena segala sesuatu itu memiliki resiko untung atau rugi, bisa salah atau benar, dan seterusnya.1 Demikianlah tinjauan pengertian kata iman, dalam konteks yang umum.
Dalam Al-Quran-pun ternyata pengertian iman tidak hanya diorientasikan kepada keimanan kepada Allah saja, namun ada juga disinggung ‘keimanan kepada berhala’. Artinya konsep keimanan itu tidak hanya berlaku kepada nilai-nilai yang positif tapi juga dapat digunakan pada nilai-nilai negatif. Al-Quran juga banyak menyebutkan bahwa keimanan itu tidak hanya ditujukan kepada Allah saja, tetapi tetapi juga menyangkut keimanan kepada Utusan-Nya. Hal ini menunjukkan aspek keimanan dalam pelaksanaannya bukan ditujukan mutlak kepada Sang Khaliq, tetapi juga kepada ‘Petugas-petugas-Nya’ dalam Birokrasi Ilahiyyah. Secara kualitatif nilai keimanan itu ada 2 (dua), yakni keimanan yang benar dan salah. Keimanan yang benar bisa terjadi 2 (dua) kemungkinan pula, jika yang diimani itu benar atau salah. Sebagai contoh dari birokrasi insaniah, adalah kalau kita iman (percaya) pada calo tenaga kerja yang tidak mendapatkan letigimasi formal perizinan dari pihak berwenang, berarti kita mempercayai sesuatu yang salah walaupun kita sungguh-sungguh mempercayainya.
Pada dasarnya dalam kehidupan ini manusia membangun iman dalam berbagai aspek kehidupan. Berbagai iklan-iklan, informasi, bahkan pengetahuan dari berbagai urusan produk barang, politik, budaya dan ideologi, menunjukkan bahwa setiap manusia ingin membangun keimanan dan kepercayaan masyarakat luas pada dirinya. Ada keimanan atas kehidupan dunia, dan keimanan atas kehidupan akhirat. Namun keimanan yang realistis benar adalah dengan Yang Ghaib, yu’minuuna bil ghoib, bukan bersifat lahir.
Keimanan yang tidak benarlah yang sangat sulit menerima keberadaan Birokrasi Ilahiyyah, seolah-olah mereka mampu membebaskan diri dari Birokrasi Ilahiyyah. Mereka merasa merdeka, padahal hanya khayalan belaka. Kemerdekaan mereka dibelit oleh kebodohan dan rasa puas, serta manipulasi psikologis lainnya. Dua Keimanan yang dimaksud Dalam menghadapi masalah keimanan maka biasanya kebanyakan orang mengorientasikan pada masalah keagamaan saja, baik agama Islam atau agama lainnya. Al-Qur’an banyak mengungkapkan ayat-ayat yang menyebutkan masalah keimanan di antaranya Yaa ayyuhal ladziina aamanuu... (wahai orang-orang yang beriman!) Seolah-olah Allah mengajak manusia untuk menaruh kepercayaannya kepada Sang Khaliq. Walau Zat Allah Yang Sempurna tidak membutuhkan siapapun dari makhluk ciptaan-Nya itu.
Demikian kuat dominasi istilah keimanan dalam kehidupan beragama mengakibatkan orang-orang menyepakati ini sebagai masalah kebenaran. Padahal keimanan itu ada dua yaitu keimanan yang benar dan salah. Masalah keimanan ini bukan saja masalah ubudiyah tapi juga masalah duniawi. Semua orang yang bekerja harus mempunyai keimanan bahwa dari pekerjaannya itu akan menghasilkan keuntungan. Jika orang tidak mempunyai keimanan bahwa pekerjaannya akan menghasilkan keuntungan, maka orang tidak akan mengerjakan pekerjaannya. Orang yang akan bertanding yang peluangnya 50%-50% maka mereka harus beriman akan kemenangan, karena jika tidak maka tidak ada pertandingan. Kalau mereka tidak beriman pada keimanan maka tidak ada pertandingan, dan salah satu pihak akan menyerah sebelum bertanding. Maka dengan demikian keimanan itu berada pada semua aspek dan urusan kehidupan. Iman itu bersifat relatif, bisa benar dan salah. Maka keuntungan akan diperoleh pada iman yang benar, dan kerugian akan diperoleh pada keimanan yang salah. Dalam urusan ukhrawi dan ubudiyah akan mendapatkan jalan yang lurus jika keimanannya benar, sedangkan jika keimanannya salah maka akan menempuh jalan yang sesat.
Dalam masalah keimanan menjalankan ibadah orang boleh saja khusyu’ dan menangis. Tapi tangisan itu bukan hanya klaim orang-orang yang menangis di masjid, tapi juga terjadi pada orang-orang yang beribadah di gereja, kuil, bahkan orang-orang Yahudi harus menangis di tembok ratapan. Bukan juga urusan peribadahan agama, tapi juga dalam urusan duniawi. Suporter sepakbola dapat menangis karena terlalu merasakan kegembiraan dan kekhusyu-an pada tim kesayangannya jika tim kesayangannya itu menang dalam pertandingan.
Begitu pula dalam kekalahan timnya, mereka dapat menangis karena merasa kalah dan meratapi kekalahan tim kesayangannya itu. Jadi masalah keimanan dan kekhusyuan itu adalah masalah keyakinan yang relatif. Di sinilah kita memerlukan kebenaran dalam agama, konsep dan kepemimpinannya untuk melimpahkan rasa keimanan dengan hakiki. Allah berfirman dalam Surat An-Nisaa’ ayat 125: وَمَنْ أَحْسَنُ دِيْنًا مِّمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَه لله وَهُوَ مُحْسِنٌ وَاتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَاهِيْمَ حَنِيْفًاقلى وَاتَّخَذَ الله إِبْرَاهِيْمَ خَلِيْلاً النسآء: 124-125 Waman ahsanu diinam mimman aslama wajhahuu lillaahi wahuwa muhsinuw wattaba’a millata ibroohiima haniifaa, wattakhodzalloohu ibroohiima kholiilaa “Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus. Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya.” Siapa yang lebih baik agamanya, sistemnya, metodenya, tharikatnya, caranya, dari orang-orang yang menyerahkan diri kepada Allah? Jika sudah sampai kepada pemahaman Birokrasi Ilahiyyah dan masuk di dalamnya, maka hal yang penting adalah ketundukan dan penyerahan diri dalam menghadap kepada Allah. Maqam ini lebih tinggi dari keimanan atau amal.
Keimanan dan amal masih bersifat relatif, kedua hal itu bisa berorientasi pada keduniawian dan dirinya. Keimanan dan amal masih bisa menolak kewajiban dan larangan dari Allah SWT, sedangkan ketundukan dan penyerahan diri tidak mengenal kata relatif. Ketundukan tidak menolak kewajiban dan larangan dari Allah SWT. Dalam ketundukan dan penyerahan diri tersimpulkan ibadah total kepada Allah SWT.
C.    KUFUR
Secara etimologi, kufur artinya menutupi, sedangkan menurut terminology syariat, kufur artinya ingkar terhadap Allah swt, atau tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, baik dengan mendustakannya maupun tidak. Perbedaannya, kalau mendustakan berarti menentang dan menolak, tetapi kalau tidak mendustakan artinya hanya sekedar tidak iman dan tidak percaya. Dengan demikian kufur yang disertai pendustaan itu lebih berat dari pada kufur sekedar kufur.
1.      Jenis Kufur
Kufur, ditinjau dari berat tidaknya dosa ada dua macam ; yaitu kufur besar dan kufur kecil. Kufur besar adalah kufur yang bisa mengeluarkan pelakunya dari Islam, dan kufur besar ini ada lima macam :
- Kufur karena mendustakan. Allah swt berfirman :”Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kedustaan terhadap Allah atau mendustakan yang hak tatkala yang hak itu datang kepadanya ? Bukankah dalam neraka Jahannam itu ada tempat bagi orang-orang yang kafir ?” (QS. 29:68)
- Kufur karena enggan dan sombong, padahal ia tahu dan membenarkannya. Allah berfirman :”Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat :”Sujudlah kamu kepada Adam”, maka sujudlah mereka kecuali iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir”. (QS. 2:34)
- Kufur karena ragu. Allah berfirman :”Dan dia memasuki kebunnya sedang ia zalim terhadap dirinya sendiri; ia berkata :”Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya, dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya aku dikembalikan kepada Rabbku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik daripada kebun-kebun itu”. (QS. 18:35-36). Kawannya (yang mu’min) berkata kepadanya sedang dia bercakap-cakap dengannya : “Apakah kamu kafir kepada (Rabb) yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani, lalu Dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna”. Tetapi aku (percaya bahwa): Dialah Allah, Rabbku, dan aku tidak mempersekutukan seorangpun dengan Rabbku”. (QS. 18:37-38)
- Kufur karena berpaling, dalilnya adalah firman Allah swt :”Kami tiada menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan dalam waktu yang ditentukan. Dan orang-orang yang kafir berpaling dari apa yang diperingatkan kepada mereka”. (QS. 46:3)
- Kufur karena nifaq, dalilnya firman Allah :”Yang demikian itu adalah karena bahwa sesungguhnya mereka telah beriman, kemudian menjadi kafir (lagi) lalu hati mereka dikunci mati; karena itu mereka tidak dapat mengerti”. (QS. 63:3)
Kufur kecil, adalah kufur yang tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam, dan ia adalah kufur amali. Kufur amali adalah dosa-dosa yang disebut dalam al-Quran dan as-sunnah sebagai dosa-dosa kufur, tetapi tidak mencapai derajat kufur besar. Contohnya seperti kufur nikmat sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya :”Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkarinya dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang kafir”. (QS. 16:83).
Termasuk juga membunuh orang muslim, Rasulullah SAW bersabda :”Mencaci seorang muslim adalah suatu kefasikan dan membunuhnya adalah kekufuran”. Termasuk juga bersumpah dengan selain Allah, Rasulullah SAW bersabda :”Barang siapa bersumpah dengan nama selain Allah, maka ia telah kafir atau musyrik”. Para pelaku dosa-dosa tersebut bukan menjadi kafir, walaupun dalam redaksi hadits disebut kafir, karena Allah berfirman :”Hai orang-orang yang beriman, di wajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; (QS. 2:178).
Allah tidak mengeluarkan si pembunuh dari golongan orang-orang beriman, bahkan menjadikannya sebagai saudara bagi wali yang berhak melakukan qishosh, lihatlah firman Allah : ”Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).. (QS. 2:178).
Bahkan dalam ayat lain, lebih jelas lagi Allah menyebut kelompok yang saling bunuh dengan sebutan mukmin, “Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu’min berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali, kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesung guhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (QS. 49:9). Sesungguhnya orang-orang mu’min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua sauda ramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat. (QS. 49:10)
Demikian pembagian kufur ditinjau dari berat dan tidaknya ancaman dan dosa. Ada pun dilihat dari segi macam, maka kufur ada tiga macam : kufur qouliy, kufur amaliy, dan kufur I’tiqodi. Tiga macam kekufuran ini dilihat dari mana timbulnya, karena ada yang timbul dari ucapan, ini disebut kufur qouliy (ucapan), seperti bersumpah dengan nama selain Allah, ada yang timbul dari perbuatan, ini disebut kufur amaliy, seperti membunuh orang mukmin, ada yang timbul dari keyakinan disebut kufur I’tiqodiy, seperti meyakini bahwa tidak ada tuhan yang menciptakan alam, atau Isa adalah anak Allah, dll. Jenis kufur ini ada yang termasuk kufur besar, yang dapat mengeluarkan dari agama, ada juga termasuk kufur kecil.
2.      Perbedaan kufur besar dan kecil
Kufur besar mengeluarkan pelakunya dari Islam, dan menghapuskan pahala amalnya, sedangkan kufur kecil tidak mengeluarkan pelaku dari agama dan tidak menghapus pahala amalnya, hanya saja dapat menguranginya. Kufur besar menjadikan pelakunya kekal di neraka, sedangkan kufur kecil tidak, bisa jadi Allah mengampuninya, bisa juga Dia menghukumnya dalam neraka untuk beberapa waktu sesuai dengan kehendak-Nya. Kufur besar menjadikan halal darah dan harta pelakunya, sedangkan kufur kecil tidak. Kufur besar mengharuskan permusuhan yang sesungguhnya, bagi orang-orang mukmin tidak boleh mencintainya, walaupun kerabat sendri. Sedangkan kufur kecil tidak mengharuskan permusuhan total, tetapi pelakunya masih berhak mendapatkan loyalitas dari kaum mukminin sesuai dengan imannya, dan harus mendapatkan kebencian sesuai dengan kadar kekufuran ( dosa ) yang dilakukannya.
D.    SYIRIK
Syirik yaitu menyamakan selain Allah dengan Allah dalam Rububiyyah dan Uluhiyyah Allah Subhanahu wa Ta'ala. Umumnya menyekutukan dalam Uluhiyyah Allah, yaitu hal-hal yang merupakan kekhususan bagi Allah, seperti berdo'a kepada selain Allah disamping berdo'a kepada Allah, atau memalingkan suatu bentuk ibadah seperti menyembelih (kurban), bernadzar, berdo'a dan sebagainya kepada selainNya.
Karena itu, barangsiapa menyembah selain Allah berarti ia meletakkan ibadah tidak pada tempatnya dan memberikannya kepada yang tidak berhak, dan itu merupakan kezhaliman yang paling besar. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman. "Artinya : Sesungguhnya menyekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar"[ Luqman: 13] Allah tidak akan mengampuni orang yang berbuat syirik kepadaNya, jika ia meninggal dunia dalam kemusyrikannya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman. "Artinya : Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar".[An-Nisaa': 48] Surga-pun Diharamkan Atas Orang Musyrik.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman. Artinya : Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan Surga kepadanya, dan tempatnya ialah Neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu seorang penolong pun"[ Al-Maa'idah: 72] Syirik Menghapuskan Pahala Segala Amal Kebaikan.
Allah Azza wa Jalla berfirman. Artinya : Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan"[Al-An'aam: 88] Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala. "Artinya : Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (Nabi-Nabi) sebelummu: "Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapus amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi"[Az-Zumar: 65] Orang Musyrik Itu Halal Darah Dan Hartanya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman. "Artinya : ...Maka bunuhlah orang-orang musyirikin dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian..."[At-Taubah: 5] Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda. "Artinya : Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tiada sesembahan yang haq melainkan Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah, mendirikan shalat, dan membayar zakat.
Jika mereka telah melakukan hal tersebut, maka darah dan harta mereka aku lindungi kecuali dengan hak Islam dan hisab mereka ada pada Allah Azza wa jalla" Syirik adalah dosa besar yang paling besar, kezhaliman yang paling zhalim dan kemungkaran yang paling mungkar. masuk neraka [sunting]
1.      Jenis-Jenis Syirik
Syirik Ada Dua Jenis : Syirik Besar dan Syirik Kecil.
a.       Syirik Besar
 Syirik besar bisa mengeluarkan pelakunya dari agama Islam dan menjadikannya kekal di dalam Neraka, jika ia meninggal dunia dan belum bertaubat daripadanya. Syirik besar adalah memalingkan sesuatu bentuk ibadah kepada selain Allah, seperti berdo'a kepada selain Allah atau mendekatkan diri kepadanya dengan penyembelihan kurban atau nadzar untuk selain Allah, baik untuk kuburan, jin atau syaitan, atau mengharap sesuatu selain Allah, yang tidak kuasa memberikan manfaat maupun mudharat.
Syirik Besar Itu Ada Empat Macam.
·         Syirik Do'a, yaitu di samping dia berdo'a kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, ia juga berdo'a kepada selainNya.
·         Syirik Niat, Keinginan dan Tujuan, yaitu ia menunjukkan suatu ibadah untuk selain Allah Subhanahu wa Ta'ala
·         Syirik Ketaatan, yaitu mentaati kepada selain Allah dalam hal maksiyat kepada Allah
·         Syirik Mahabbah (Kecintaan), yaitu menyamakan selain Allah dengan Allah dalam hal kecintaan.

b.      Syirik Kecil
Syirik kecil tidak menjadikan pelakunya keluar dari agama Islam, tetapi ia mengurangi tauhid dan merupakan wasilah (perantara) kepada syirik besar.
Syirik Kecil Ada Dua Macam.
a)      Syirik Zhahir (Nyata), yaitu syirik kecil yang dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Dalam bentuk ucapan misalnya, bersumpah dengan nama selain Allah. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda. "Artinya : Barangsiapa bersumpah dengan nama selain Allah, maka ia telah berbuat kufur atau syirik" Qutailah Radhiyallahuma menuturkan bahwa ada seorang Yahudi yang datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan berkata: "Sesungguhnya kamu sekalian melakukan perbuatan syirik. Kamu mengucapkan: "Atas kehendak Allah dan kehendakmu" dan mengucapkan: "Demi Ka'bah". Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan para Shahabat apabila hendak bersumpah supaya mengucapkan, "Demi Allah Pemilik Ka'bah" dan mengucapkan: "Atas kehendak Allah kemudian atas kehendakmu" Syirik dalam bentuk ucapan, yaitu perkataan. "Kalau bukan karena kehendak Allah dan kehendak fulan" Ucapan tersebut salah, dan yang benar adalah. "Kalau bukan karena kehendak Allah, kemudian karena kehendak si fulan" Kata (kemudian) menunjukkan tertib berurutan, yang berarti menjadikan kehendak hamba mengikuti kehendak Allah.
b)      Syirik Khafi (Tersembunyi), yaitu syirik dalam hal keinginan dan niat, seperti riya' (ingin dipuji orang) dan sum'ah (ingin didengar orang) dan lainnya. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda. "Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil. "Mereka (para Shahabat) bertanya: "Apakah syirik kecil itu, ya Rasulullah?" .Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: "Yaitu riya'"










BAB III
PENUTUP
Islam dapat dilihat dalam tiga segi: Aqidah, syariah dan akhlak (nizam) . Nizam adalah serupa dengan sistem, cara hidup atau the way of life. Islam sebagai suatu sistem, pertama kali kita lihat sebagai iman (kepercayaan), kemudian sistem ibadah (penyembuhan) sistem akhlak. Islam juga merupakan suatu cara hidup, mempunyai cara hidup dalam berkeluarga, cara hidup sosial, cara hidup dalam bidang politik, cara hidup ekonomi dan lain sebagainya.
Keimanan dan amal masih bersifat relatif, kedua hal itu bisa berorientasi pada keduniawian dan dirinya. Keimanan dan amal masih bisa menolak kewajiban dan larangan dari Allah SWT, sedangkan ketundukan dan penyerahan diri tidak mengenal kata relatif. Ketundukan tidak menolak kewajiban dan larangan dari Allah SWT. Dalam ketundukan dan penyerahan diri tersimpulkan ibadah total kepada Allah SWT.
Kufur ada tiga macam : kufur qouliy, kufur amaliy, dan kufur I’tiqodi. Tiga macam kekufuran ini dilihat dari mana timbulnya, karena ada yang timbul dari ucapan, ini disebut kufur qouliy (ucapan), seperti bersumpah dengan nama selain Allah, ada yang timbul dari perbuatan, ini disebut kufur amaliy, seperti membunuh orang mukmin, ada yang timbul dari keyakinan disebut kufur I’tiqodiy, seperti meyakini bahwa tidak ada tuhan yang menciptakan alam, atau Isa adalah anak Allah, dll. Jenis kufur ini ada yang termasuk kufur besar, yang dapat mengeluarkan dari agama, ada juga termasuk kufur kecil.
Syirik yaitu menyamakan selain Allah dengan Allah dalam Rububiyyah dan Uluhiyyah Allah Subhanahu wa Ta'ala. Umumnya menyekutukan dalam Uluhiyyah Allah, yaitu hal-hal yang merupakan kekhususan bagi Allah, seperti berdo'a kepada selain Allah disamping berdo'a kepada Allah, atau memalingkan suatu bentuk ibadah seperti menyembelih (kurban), bernadzar, berdo'a dan sebagainya kepada selainNya.



[1] Zainal dzamari, Islam Aqidah dan Syari’ah, (Jakarta:Raja Grafindo persada,1996), Jilid I, hlm.19
[2] Dr. H. Abudinnata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta:Raja Grafindo persada, 2003), Cet kedelapan, hlm. 85
[3] Nurseri Hasnah Nasution, Filsafat Dakwah, (Palembang, IAIN Raden Fatah Press, 2005), hlm.153

Tiada ulasan: