Translate

Sabtu, 12 Jun 2010

Apakah Al-Qur'an Memerlukan Hermeneutika?

Dalam seminar di UMY, (10/4/03) lalu, panelis, Dr. Ugi Suharto secara tegas menolak aplikasi 'hermeneutika' untuk tafsir al-Quran. Saat itu pendukung 'hermeneutika' adalah Dr. Amin Abdullah. Inilah pendapatnya Oleh Dr. Ugi Suharto *)

Hermeneutika, yang meminjam perkataan Inggris hermeneutics, dan yang juga berasal dari perkataan Greek hermeneutikos bukan merupakan suatu istilah netral yang tidak bermuatan pandangan hidup (world-view; weltanschauung). Apabila perkataan ini dikaitkan dengan al- Qur'an, ataupun dengan Biblical Studies, arti hermeneutika telah berubah dari pengertian bahasa semata menjadi istilah yang memiliki makna tersendiri. Oleh sebab itu, sebelum kita membahas lebih lanjut mengenai hermeneutika al-Qur'an, lebih baik kita bahas dahulu perbedaan arti bahasa (linguistic meaning) dan arti istilah (technical meaning) hermeneutika itu sendiri. Dari segi bahasa misalnya Aristotle pernah menggunakan perkataan itu untuk judul karyanya Peri Hermeneias yang kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Latin sebagai De Interpretatione yang lantas dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai On the Interpretation.

Namun, jauh sebelum terjemahan dalam bahasa Latin, al-Farabi (w. 339/950), seorang ahli filsafat Muslim terkemuka, telah menerjemahkan dan memberi komentar karya Aristotle itu terlebih dahulu ke dalam bahasa Arab dengan judul Fi al-'Ibarah.

Aristotle sendiri ketika menggunakan perkataan hermeneias tidak bermaksud mengemukakan arti istilah seperti yang berkembang di zaman modern kini. Hermeneias yang dia kemukakan, menyusuli karyanya Kategoriai, sekedar membahas peranan ungkapan dalam memahami pemikiran, dan juga pembahasan tentang satuan-satuan bahasa seperti kata benda (noun), kata kerja (verb), kalimat (sentence), ungkapan (proposition), dan lain-lain yang berkait dengan tata bahasa. Ketika Aristotle membicarakan hermeneias, dia tidak mempermasalahkan teks atau membuat kritikan terhadap teks. Jadi topik yang dibahas oleh Aristotle adalah mengenai bidang interpretasi itu sendiri, tanpa mempersoalkan teks yang diinterpretasikan itu. Dari segi bahasa, al-Farabi sangat tepat mengalihbahasakan hermeneuias sebagai 'ibarah yang memberi konotasi ungkapan bahasa dalam menunjukkan makna-makna tertentu. Begitulah pengertian hermeneutika yang pada asalnya hanya merujuk kepada makna bahasanya semata.

Perpindahan makna hermeneutika dari pengertian bahasa kepada pengetian istilah merupakan satu perkembangan kemudian. Sumber-sumber perkamusan sepakat bahwa peralihan makna istilah itu dimulai dari usaha para ahli teologi Yahudi dan Kristen dalam mengkaji ulang secara kritis teks-teks dalam kitab suci mereka. Sebuah kamus filsafat, misalnya, menyatakan:

Hermeneutics. . . .Originally concerned more narrowly with interpreting sacred texts, the term acquired a much broader significance in its historical development and finally became a philosophical position in twentieth century German philosophy.

Sebuah thesis Ph.D. mengenai hermeneutika juga menyatakan hal itu:

Originally, the term 'Hermeneutics' was employed in reference to the field of study concerned with developing rules and methods that can guide biblical exegesis. During the early years of the nineteenth century, 'Hermeneutics' became 'General Hermeneutics' at the hands of philosopher and Protestant theologian Friedrich Schleiermacher. Schleiermacher transformed Hermeneutics into a philosophical field of study by elevating it from the confines of narrow specialization as a theological field to the higher ground of general philosophical concerns about language and its understanding.

Jadi istilah 'hermeneutika' kemudian telah beralih makna dari sekedar makna bahasa, menjadi makna teologi, dan kini menjadi makna filsafat. Menarik untuk menelusuri sedikit latar belakang mengapa hermeneutika digunakan oleh para teolog Yahudi dan Kristen untuk memahami teks-teks Bible. Encyclopaedia Britannica menyatakan dengan jelas bahwa tujuan utama hermeneutika adalah untuk mencari "nilai kebenaran Bible."

For both Jews and Christians throughout their histories, the primary purpose of hermeneutics, and of the exegetical methods employed in interpretation, has been to discover the truths and values of the Bible.

Mengapa dengan hermeneutika itu para teolog tersebut bertujuan mencari nilai kebenaran Bible? Jawabannya adalah karena mereka memiliki sejumlah masalah dengan teks-teks kitab suci mereka. Mereka mempertanyakan apakah secara harfiah Bible itu bisa dianggap Kalam Tuhan atau perkataan manusia. Aliran yang meyakini bahwa lafaz Bible itu Kalam Tuhan mendapat kritikan keras dan dianggap ekstrim dalam memahami Bible. Encyclopaedia Britannica menyatakan lagi:

Literal interpretation asserts that a biblical text is to be interpreted according to the "plain meaning" conveyed by its grammatical construction and historical context. The literal meaning is held to correspond to the intention of the authors. This type of hermeneutics is often, but not necessarily, associated with belief in the verbal inspiration of the Bible, according to which the individual words of the divine message were divinely chosen. Extreme forms of this view are criticized on the ground that they do not account adequately for the evident individuality of style and vocabulary found in the various biblical authors.

Perhatikan frasa terakhir yang berbunyi "individuality of style and vocabulary found in the various biblical authors" (gaya dan kosakata masing-masing yang ditemukan pada berbagai pengarang mengenai Bible). Adanya perbedaan pengarang itulah yang menyebabkan Bible tidak bisa dikatakan Kalam Tuhan (the Word of God) secara harfiah (literal). Oleh sebab itu para teolog Kristen memerlukan hermeneutika untuk memahami Kalam Tuhan yang sebenarnya. Mereka hampir sepakat bahwa Bible secara harfiahnya bukan Kalam Tuhan. Oleh sebab itu mereka merasa perlu untuk membaca Bible "between the line" demi memahami firman Tuhan yang sebenarnya. Disinilah peranan hermeneutika dalam membantu memahami Bible bagi para teolog Kristen.

Keadaan itu berbeda dengan kaum Muslimin, yang bisa memahami Kalam Tuhan dari al- Qur'an baik "on the line" atau pun "between the line." Kaum Muslimin sepakat bahwa al- Qur'an itu adalah Kalam Allah yang ditanzilkan kepada Rasulullah Muhammad (s.a.w.). Kaum Muslimin juga sepakat bahwa secara harfiah al-Qur'an itu dari Allah. Juga, kaum Muslimin sepakat, membaca al-Qur'an secara harfiah adalah ibadah dan diberi pahala; menolak bacaan harfiahnya adalah kesalahan; membacanya secara harfiah dalam salat adalah syarat, dan memahami al-Qur'an secara harfiah juga dibenarkan, sementara terjemahan harfiah dan alihbahasanya tidak dikatakan sebagai al-Qur'an. Ibnu Abbas misalnya pernah menyatakan bahwa diantara pemahaman al-Qur'an itu adalah sejenis tafsir yang semua orang dapat memahaminya (la ya'dziru ahad fi fahmihi). Pemahaman yang seperti ini sudah tentu merujuk pada pemahaman lafaz harfiahnya. Oleh sebab itu kaum Muslimin, berbeda dengan Yahudi dan Kristen, tidak pernah merasa bermasalah dengan lafaz-lafaz harfiah al-Qur'an.

Perbedaan selanjutnya adalah, bahwa Bible kini ditulis dan dibaca bukan lagi dengan bahasa asalnya. Bahasa asal Bible adalah Hebrew untuk Perjanjian Lama, Greek untuk Perjanjian Baru, dan Nabi Isa sendiri berbicara dengan bahasa Aramaic. Bible ini kemudian diterjemahkan keseluruhannya dalam bahasa Latin, lantas ke bahasa-bahasa Eropah yang lain seperti Jerman, Inggris, Perancis dan lain-lain, termasuklah bahasa Indonesia yang banyak mengambil dari Bible bahasa Inggris. Teks-teks Hebrew Bible pula mempunyai masalah dengan isu originality, sepertimana dinyatakan oleh seorang pengkaji sejarah Bible:

The Hebrew text now in our possession has one special peculiarity: notwithstanding its considerable age, it comes to us in relatively late manuscripts which are therefore far removed in time from the originals (sometimes by more than a thausand years). . . .none of these manuscripts is earlier than the ninth century C.E.

Begitu juga Kitab Perjanjian Baru, mempunyai masalah yang sama dengan Kitab Perjanjian Lama:

The New Testament scriptures also reflect similar problems as those of the Hebrew Bible. These scriptures, particularly the gospels, were written after the period of Jesus, in the Greek language, that he most probably did not speak. Moreover, it is acknowledged by prominent Christian authorities that the purpose of the gospel writers was not to write objective history but for evangelical purpose, which in part led to the profusion of allegorical commentaries.

Mengenai bahasa Hebrew Bible pula, karena tidak ada seorangpun kini yang native dalam bahasa Hebrew kuno, maka untuk memahami bahasa Hebrew Bible itu para teolog Yahudi dan Kristen memerlukan bantuan bahasa yang serumpun dengan Hebrew (Semitic languages). Dan bahasa yang dapat memberikan harapan untuk dapat mengungkap bahasa Hebrew kuno itu tidak lain adalah bahasa Arab, karena bahasa Arab masih hidup hingga ke hari ini.

. . . the search for the 'original Semitic language' was on. . . and Arabic with its 'primitive' inflections soon became the firm favourite as the primary witness to what that original language must have looked like.

Kita tahu bahwa bahasa Arab itu hidup karena pengaruh yang dihidupkan oleh al-Qur'an itu sendiri. Jadi al-Qur'an lah yang menyelamatkan bahasa Arab, sedangkan dalam kasus Bible, mereka mesti menyelamatkan dahulu bahasa Hebrew sebelum dapat menyelamatkan Bible. Oleh sebab itu dengan ketiadaan bahasa asal Bible pada hari ini, maka wajarlah kalau para teolog Yahudi dan Kristen mencari jalan dan metodologi untuk memahami kembali Bible melalui hermeneutika. Dalam hal ini hermeneutika kemungkinannya dapat membantu suatu karya terjemahan, lebih-lebih lagi apabila bahasa asalnya sudah tidak ditemukan lagi. Schleiermacher sendiri dikait-kaitkan dengan pendapat yang mengatakan bahwa diantara tugas hermeneutika itu adalah untuk memahami teks "sebaik atau lebih baik daripada pengarangnya sendiri," atau "to understand the author better than he understood himself." Maka wajarlah apabila Bible yang dikarang oleh banyak orang itu memerlukan hermeneutika untuk memahaminya dengan cara yang lebih baik dari para pengarang Bible itu sendiri.

Adapun al-Qur'an, bagaimana mungkin terfikir oleh kaum Muslimin bahwa mereka dapat memahami al-Qur'an lebih baik dari Allah s.w.t. atau Rasulullah s.a.w.? Oleh sebab itu, dalam upaya pemahaman yang lebih mendalam mengenai al-Qur'an, kaum Muslimin sebenarnya hanya memerlukan tafsir, dan bukan hermeneutika, karena mereka telah menerima kebenaran harfiah al-Qur'an sebagai Kalam Allah. Kalau diperlukan pemahaman yang lebih mendalam lagi, contohnya untuk ayat-ayat yang mutasyabihat, yang diperlukan adalah ta'wil. Perlu ditegaskan bahwa dalam tradisi Islam, ta'wil juga tidak sama dengan hermeneutika, karena ta'wil mestilah berdasarkan dan tidak bertentangan dengan tafsir, dan tafsir berdiri di atas lafaz harfiah al-Qur'an. Jadi sebagai suatu istilah, ta'wil dapat berarti pendalaman makna (intensification of meaning) dari tafsir.

Al-Jurjani (w. 816/1413), misalnya, dalam kamus istilahnya yang terkenal, Kitab al-Ta'rifat, menyatakan hubungan makna tafsir dan ta'wil sebagai berikut:

Ta'wil secara asalnya bermakna kembali. Namun secara syara' ia bekmakna memalingkan lafaz dari maknanya yang zahir kepada makna yang mungkin terkandung di dalamnya, apabila makna yang mungkin itu sesuai dengan [semangat] Kitab dan Sunnah. Contohnya seperti firman Allah "Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati" (al-Anbiya': 95), apabila yang dimaksudkan disitu adalah mengeluarkan burung dari telur, maka itulah tafsir. Tetapi apabila yang dimaksudkan disitu adalah mengeluarkan orang beriman dari orang kafir, atau orang berilmu dari orang yang bodoh, maka itulah ta'wil.

Dari keterangan di atas jelaslah bahwa ta'wil itu lebih dalam dari tafsir, dan tafsir itu berdasarkan kepada makna zahir lafaz harfiah ayat-ayat al-Qur'an. Walaupun ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama mengenai makna tafsir dan ta'wil, namun mereka tidak pernah mempersoalkan teks al-Qur'an sebagai Kalam Allah. Tegasnya, "textual criticism" untuk al-Qur'an tidak ada dalam tradisi Islam. Oleh sebab itu, dalam hal ini, tetap tidak bisa disamakan antara tafsir ataupun ta'wil dengan hermeneutika yang berangkat dari "textual criticism" pada Bible. Sebuah buku Hermeneutika terbitan Kanisius Yogyakarta, misalnya, sempat menyamakan al-Qur'an dengan Bible dan kitab agama yang lain, dan menyatakan bahwa tafsir sama dengan hermeneutika. Penulis buku tersebut mengatakan:

Disiplin ilmu yang pertama yang banyak menggunakan hermeneutik adalah ilmu tafsir kitab suci. Sebab semua karya yang mendapatkan inspirasi Ilahi seperti al-Quran, kitab Taurat, kitab-kitab Veda, dan Upanishad supaya dapat dimengerti memerlukan interpretasi atau hermeneutik.

Pendapatnya yang mengatakan bahwa al-Qur'an adalah "karya yang mendapat inspirasi Ilahi" seperti juga Bible, jelas tidak dapat diterima oleh kaum Muslimin. Orang-orang Islam tidak pernah memahami bahwa al-Qur'an itu sebuah "karya" sehingga memerlukan hermeneutika untuk memahami karya tersebut. Sebaliknya, pemikiran itu datang dari kaum Orientalis yang mengecoh kaum Muslimin agar menganggap bahwa al-Qur'an itu karya Muhammad dan menyatakan bahwa Islam juga agama buatan Muhammad alias Muhammadanism. Padahal orang-orang Kristen sendiripun, yang masih mempunyai masalah dengan teks-teks Bible, tidak pernah mengatakan bahwa Injil itu karya Nabi Isa.

Jadi, tradisi tafsir dalam Islam tidak sama dengan tradisi hermeneutika dalam Kristen. Seorang sarjana Muslim terkemuka, Syed Muhammad Naquib al-Attas, secara jelas menyatakan perbedaan antara tafsir dan hermeneutika:

Indeed, it was because of the scientific nature of the structure of the language that the first science among the Muslims - the science of exegesis and commentary (tafsir) became possible and actualized; and the kind of exegesis and commentary not quite identical with Greek hermeneutics, nor indeed with the hermeneutics of the Christians, nor with any 'science' of interpretation of sacred scripture of any other culture and religion.

Singkatnya, hermeneutika yang digunakan dalam teologi Kristen itu mempunyai latar belakang yang tersendiri yang berbeda dengan tafsir dalam tradisi Islam. Boleh jadi penemuan-penemuan melalui hermeneutika Bible itu nantinya akan lebih menunjukkan lagi kebenaran al-Qur'an. Sehingga apa yang hilang pada Bible dapat ditemukan dalam al-Qur'an.

Kembali kepada makna istilah hermeneutika, seperti yang dinyatakan sebelum ini, perpindahan makna hermeneutika dari ruang lingkup teologi kepada ruang lingkup filsafat dibidani oleh filosof berbangsa Jerman, Friedrich Schleiermacher. Filosof yang berfahaman Protestan ini dianggap sebagai pendiri 'hermeneutika umum' yang dapat diaplikasikan kepada semua bidang kajian. Namun, seperti dinyatakan oleh Aref Nayed, perpindahan hermeneutika dari teologi ke filsafat itu pun tidak terlepas dari motif teologi Kristen yang dianut oleh Schleiemacher. "He founded general hermeneutics for theological reasons." Schleiermacher yang Protestan sudah tentu tidak setuju dengan interpretasi-interpretasi Katolik terhadap Bible yang didominasi oleh Gereja dan lembaga kepausannya. Baginya interpretasi Protestan terhadap Bible itu lebih mendekati ajaran Nabi Isa yang sebenarnya.

The theological concerns that made Schleiermacher undertake the project of general hermeneutics are made very clear in his: Brief Outline of the Study of Theology. . . .In his work, General Hermeneutics is supposed to supply the basis for a biblical hermeneutics that would make knowledge of primitive Christianity possible, and vindicate Protestant claims to being more faithful to the original teachings of Christ.

Sudah tentu ketika teks-teks Bible menjadi masalah, maka interpretasi-nya pun akan lebih bermasalah. Tidak mengherankan dalam hal ini jika Werner G. Jeanroad pernah berbicara mengenai "krisis interpretasi Bible" dan berharap bahwa hermeneutika dapat memberikan andil dalam mengatasinya. Dia katakan:

Hermeneutics, the study of proper means of text-interpretation, is not the cause of the current biblical studies, rather it may point indirectly to some ways out of this crisis.

Apabila kemudian hermeneutika menjadi subjek filsafat, maka lahirlah berbagai macam aliran pemikiran. Walaupun Schleiermacher (1768-1834) merupakan sarjana pertama yang membawa hermeneutika dari tataran teologi ke tataran filsafat, namun hermeneutika Schleiermacher pada akhirnya hanyalah menjadi salah satu aliran hermeneutics yang ada. Disana ada Hermeneutics of Betti yang digagaskan oleh Emilio Betti (1890-1968) seorang sarjana hukum Romawi berbangsa Itali; ada Hermeneutics of Hirsch yang digagaskan oleh Eric D. Hirsch (1928- ) seorang pengkritik sastra berbangsa Amerika; ada Hermeneutics of Gadamer yang digagaskan oleh Hans-Georg Gadamer (1900- ) seorang ahli filsafat dan bahasa, dan ada lagi aliran-aliran hermeneutika yang lain seperti aliran Dilthey (m. 1911), Heidegger (m. 1976), dan lain-lain.

Jika hermeneutika-hermeneutika itu ingin diterapkan untuk kajian al-Qur'an, hermeneutika yang mana yang ingin diambil? Lalu, mengapa hanya mengambil hermeneutika tertentu dan menolak yang lain? Kemudian, apa jaminannya hermeneutika yang diambil itu betul-betul menunjukkan pengertian yang sebenarnya mengenai al-Qur'an? Bukankah apabila mengambil hermeneutika tertentu, berarti itu pun sudah masuk dalam "school of thought" tertentu? Kalau begitu dimana objektifitasnya? Dan masih banyak lagi persoalan-persoalan yang lain.

Ambil contoh Fazlur Rahman. Dia lebih setuju kepada hermeneutika Betti ketimbang hermeneutika Gadamer. Namun dia juga tidak setuju dengan Betti yang mengatakan bahwa makna asli suatu teks itu terletak pada akal pengarang teks. Bagi Rahman, makna asli teks itu terletak pada konteks sejarah ketika teks itu ditulis. Kalau begitu, apa pula pendapat Fazlur Rahman mengenai kesimpulan filsafat hermeneutika yang mengesahkan adanya satu problem besar yang disebut "hermeneutic circle", yaitu sejenis lingkaran setan pemahaman objek-objek sejarah yang mengatakan bahwa "jika interpretasi itu sendiri juga berdasarkan interpretasi, maka lingkaran interpretasi itu tidak dapat dielakkan." Akibatnya adalah pemahaman seseorang tentang teks-teks dan kasus-kasus sejarah yang tidak akan pernah sampai, karena apabila seseorang dapat memahami konteksnya, maka konteks sejarah itu pun adalah interpretasi juga. Apabila hal ini diterapkan untuk studi al-Qur'an, maka selama- lamanya al-Qur'an tidak akan pernah dapat dimengerti dan difahami.

Hermeneutic circle: The problem in the process of interpretation that arise when one element, for instance in a text, can only be understood in terms of the meanings of others or of the whole text, yet understanding these other elements, or the whole text, in turn presupposes understanding of the original element. Each can only be understood in the light of the others. . . . . The phenomenon has preoccupied German thinkers from Schleiermacher and Dilthey through Heidegger and Gadamer.

Di dalam al-Qur'an ada ayat-ayat yang muhkamat, ada usul ajaran Islam, ada hal-hal yang bersifat tsawabit, semua ayatnya adalah , dan bahagian- bahagiannya ada yang menunjukkan qat'iyy al-dilalah, ada perkara-perkara yang termasuk dalam al-ma'lum min al-din bi al-darurah, ada sesuatu yang ijma' mengenai al-Qur'an, dan ada yang difahami sebagai al-Qur'an yang disampaikan dengan jalan mutawatir, yang semuanya itu dapat difahami dan dimengerti oleh kaum Muslimin dengan derajat yakin bahwasannya itu adalah ajaran al-Qur'an yang dikehendaki oleh Allah. Apabila filsafat hermeneutika digunakan kepada al-Qur'an maka yang muhkamat akan menjadi mutasyabihat, yang usul menjadi furu', yang thawabit menjadi mutaghayyirat, yang qat'iyy menjadi zanniyy, yang ma'lum menjadi majhul, yang ijma' menjadi ikhtilaf, yang mutawatir menjadi ahad, dan yang yaqin akan menjadi zann, bahkan syakk. Alasannya sederhana saja, yaitu filsafat hermeneutika tidak membuat pengecualian terhadap hal-hal yang axiomatic di atas.

Dalam posisi yang lebih ekstrim, filsafat hermeneutika telah memasuki dataran epistemologis yang berakhir pada pemahaman sophist yang bertentangan dengan pandangan hidup Islam (Islamic weltanschauung). Filsafat hermeneutika berujung pada kesimpulan universal bahwa "all understanding is interpretation" dan karena interpretatsi itu tergantung kepada orangnya, maka hasil pemahaman (understanding, verstehen) itu pun menjadi subjektif. Dengan perkataan lain, tidak ada orang yang dapat memahami apa pun dengan secara objektif.

Aqidah al-Nasafi, misalnya, pada paragraf pertamanya menyatakan: haqa'iq al-asya' thabitatun wa al-'ilmu biha mutahhaqqiqun, khilafan li al-sufata'iyyah (semua hakikat segala perkara itu tsabit adanya, dan pengetahuan akan dia [adalah yang] sebenarnya, bersalahan dengan [pendapat] kaum sufasta'iyyah). Salah satu golongan sufasta'iyyah (sophist) itu adalah golongan 'indiyyah (epistemological subjectivist) yang menganut faham bahwa tidak ada kebenaran objektif dalam ilmu; semua ilmu adalah subjektif; dan kebenaran mengenai sesuatu hanyalah semata-mata pendapat seseorang. Apabila semua ini dikaitkan dengan kajian al-Qur'an, maka akibatnya tidak ada kaum Muslimin yang mempunyai pemahaman yang sama mengenai al-Qur'an, karena semua pemahaman itu tergantung pada interpretasi masing-masing. Tentu kaum Muslimin tidak bermaksud begitu apabila manafsir atau mena'wil al-Qur'an.

Surat al-Ikhlas dalam al-Qur'an, misalnya, dapat difahami dengan mudah oleh kaum Muslimin bahwa Allah itu Esa, Allah tidak beranak dan diperanakkan, dan tidak ada yang setanding dengan Dia. Walaupun terdapat perbedaan pendalaman pemahaman mengenai tauhid antara orang awam dan ulama, namun tidak ada seorang Muslim-pun yang mengatakan Allah itu satu di antara yang tiga atau tiga di antara yang satu. Seorang Muslim awam yang memahami keesaan Allah dengan "mathematical oneness" tidak keluar dari aqidah Islam yang benar, walaupun kurang halus pemahamannya. Untuk memperhalusnya, Muslim tidak perlu pada hermeneutika. Sebaliknya, konsep trinity itu memerlukan hermeneutika untuk memahaminya, karena pada tataran lafaz yang zahir sekalipun, trinity itu memang susah difahami.

Sebagai kesimpulan, hermeneutika itu berbeda dengan tafsir atau pun ta'wil dalam tradisi Islam. Hermeneutika tidak sesuai untuk kajian al-Qur'an, baik dalam arti teologis atau filosofis. Dalam arti teologis, hermeneutika akan berakhir dengan mempersoalkan ayat-ayat yang zahir dari al-Qur'an dan menganggapnya sebagai problematik. Diantara kesan hermeneutika teologis in adalah adanya keragu-raguan terhadap Mushaf Utsmani yang telah disepakati oleh seluruh kaum Muslimin, baik oleh Muslim Sunni ataupun Syi'ah, sebagai "textus receptus." Keinginan Muhammad Arkoun, misalnya, untuk men-"deconstruct" Mushaf Utsmani, adalah pengaruh dari hermeneutika teologis ini, selain dari pengaruh Jacques Derrida. Dalam artinya yang filosofis, hermeneutika akan mementahkan kembali akidah kaum Muslimin yang berpegang bahwa al-Qur'an adalah Kalam Allah. Pendapat almarhum Fazlur Rahman yang mengatakan bahwa al-Qur'an adalah "both the Word of God and the word of Muhammad" adalah kesan dari hermeneutika filosofis ini. Semua itu tidak menguntungkan kaum Muslimin, dan hanya menurunkan derajat validitas al-Qur'an seolah- olah sama dengan kitab yang lain. Sebenarnya memang ada kemungkinannya orang Kristen semakin maju dengan hermeneutika, tetapi kaum Muslimin hampir pasti akan mundur ke belakang dengan hermeneutika itu. Sepertimana bahasa Arab telah menjadi standar bahasa Hebrew dan bahasa-bahasa Semit yang lain, maka al-Qur'an semestinya juga menjadi benchmark bagi kitab suci yang lain, karena al-Qur'an adalah kitab suci yang terakhir dan yang authentic di antara kitab-kitab yang lain. Dengan perkataan lain, kajian al-Qur'an, terutamanya mengenai penafsirannya, tidak memerlukan hermeneutika. Kita khawatir akhir- akhir ini kita begitu bergairah mengimpor istilah hermeneutika untuk kajian al-Qur'an tanpa menyelidiki dahulu latar belakang istilah itu sendiri yang mempunyai muatan pandangan hidup berlainan dengan pandangan hidup Islam. Sebenarnya jika akan digunakan bahasa asing juga, maka istilah exegesis atau pun commentary yang selama ini digunakan sudah cukup memadai untuk al-Qur'an. Kenapa kini exegesis atau commentary mesti ditukar dengan hermeneutics?

Saya akan mengakhiri makalah ini dengan satu peringatan dari Hadis Rasulullah s.a.w. yang berbunyi:

Kamu akan mengikuti jalan-jalan kaum sebelum kamu, sehasta demi sehasta, sejengkal demi sejengkal, sehingga apabila mereka masuk lubang biawak sekali pun kamu akan mengikutinya juga. Kemudian Rasulullah s.a.w. ditanya: "Apakah mereka [yang diikuti] itu kaum Yahudi dan Nasara?" Rasulullah menjawab: "Siapa lagi [kalau bukan mereka]." (H.R. Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, Ahmad)

*). Penulis adalah Peneliti INSIST, Dosen di ISTAC-UIA Kuala Lumpur. Tulisan ini diambil dari INSIST.Com.

MANUSIA DAN KEINDAHAN

PENDAHULUAN
Keindahan, kesejukan, kehalusan dan keserasian setiap hari di rasakan oleh kita sebagai manusia yang normal. Keindahan itu bisa kita dapatkan secara langsung dari sumber keindahan itu ataupun melalui media atau perantara.Untuk bisa melihat dan menikmati keindahan kita sering membuang waktu, uang dan tenaga yang seringkali tidak sedikit jumlahnya. Ketika kita pergi ketempat wisata yang indah misalnya, hal itu kita lakukan tidak lain karena pada dasarnya manusia menyukai keindahan. Sampai-sampai ada satu istilah bahwa semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang, semakin tinggi pula hasrat dan keinginan untuk menghargai suatu keindahan.
PEMBAHASAN
I. PENGERTIAN KEINDAHAN
Pada dasarnya konsep keindahan keindahan adalah abstrak dan tidak dapat dikomunikasikan sebelum diberi bentuk sehingga sulit menentukan batasan-batasannya. Namun demikian dada beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli dibidang sosial yang kiranya bisa kita ambil.
Liang Gie dalam bukunya garis Besar Estetik (Filsafat Keindahan) dalam bahasa inggrisnya diterjemahkan dengan beautiful, kemudian dalam bahasa perancis beuau, sedangkan dalam bahasa itali dan spanyol bello. Kata-kata tersebut bersumber pada bahasa latin bellum dengan akar kata bonum yang berarti kebaikan. Oleh karena keindahan bersifat abstrak, maka dalam bahasa inggris sering digunakan kata beauty untuk istilah keindahan dan the beautiful untuk sesuatu yang indah.
Jika ditarik keranah filsafat pengertian keindahan dibedakan menjadi 3. pertama Dalam arti luas, keindahan diartikan sebagai ide kabaikan. Misalnya plato menyebut watak yang indah dan hukum yang indah. Sedangkan aristoteles merumuskan keindahan sebagai sesuatu yang baik juga menyenangkan. Atau dengan kata lain pengertian keindahan seluas-luasnya adalah keindahan seni, keindahan alam, keindahan moral, keindahan intelektual. Kedua Dalam arti estetik murni, mengandung pengertian bahwa keindahan adalah pengalaman estetik seseorang dalam hubungannya dengan segala sesuatu yang diserapnya. Ketiga, dalam arti yang terbatas mempunyai arti yang lebih disempitkan sehungga hanya dapat diserap dengan penglihatan, yaitu berupa keindahan bentuk dan warna.
II. NILAI ESTETIK
Secara sederhana nilai estetik adalah nilai yang berhubungan denngan segala sesuatu yang berhubungan dengan segala sesuatu yang tercakup dalam pengertian keindahan. Dalam “Dictionary of sociology andi Related Science” dijelaskan bahwa nilai estetik adalah kemampuan yang dianggap ada pada suatu benda yang dapat memuaskan keinginan manusia; sifat dari suatu benda yang menarik seseorang atau kelompok.
Bisa doartikan bahwa nilai adalah nilai adalah realitas psikologi yang harus dibedakan secara tegas dari kegunaannya, karena hal ini terdapat pada jiwa manusia dan bukan pada benda itu sendiri.
Nilai digolongkan menjadi 2, nilai ekstrinsik dan nilai intrinsik. Nilai eksrinsik adalah sifat baik dari suatu benda sebagai alat atau sarana untuk suatu hal lainnya. Nilai intrinsik adalah sifat baik dari benda yang bersangkutan, atau sebagai suatu tujuan, atau demi kepentingan benda itu sendiri. Berikut ini adalah contohnya dalam bentuk puisi ;
“Bagi Sahabatku Yang Tertindas”
Wahai engkau yang dilahirkan diatas ranjang kesengsaraan, diberi makan pada dada penurunan nilai, yang bermain sebagai seorang anak dirumah-rumah tirani,engkau yang memakan roti basimu dengan keluhan dan meminiumair keruhmu bercampur dengan air mata yang getir.
-----
Kebenaran akan memngoyak kerudung air mata yang menyembunyikan senyumanmu. Saudaraku, kuucapkan selamat datang padamu dan kuanggap hina para penindasmu.
Gibran
Nilai ekstrinsik dari sajak/puisi tersebut adalah bentuk bahasa, irama, baris, dan puisi itu sendiri. Sedangkan nilai intrinsiknya adalah maksud atau pesan yang ingin disampaikan oleh Gibran melalui puisi itu. Misalnya,-penafsiran pribadi- bahwa Gibran ingin memberi dukungan moral kepada rakyat jelata yang selalu ditindas pada zamannya dengan memposisikan dirinya sama dengan mereka melalui kata “selamat datang”. Dia juga menyampaikam pesan bahwa orang-orang yang menindas mereka adalah orang yang hina.
III. MANUSIA MENCIPTA KEINDAHAN

IV. KEINDAHAN DALAM ISLAM
Yang dimaksud keindahan (al-jamal) dalam islam adalah kesempurnaan illahi. Kepunya-Nya-lah keindahan dan kesempurnaan. Seluruh nama-Nya baik dan semua sifat-Nya sempurna. Allah maha sempurna, dan Dia mencintai orang yang berusaha untuk memperoleh kesempurnaan.
Allah itu indah,bukti dari keindahan itu adalah kasih sayang dan kelembutanNya dalam memberi tugas kepada manusia yang ringan dengan imbalan pahala yang banyak.
Firman-Nya :
Kalau sekiranya allah menyiksa manusia karena kesalahan yang diperbuatnya, niscaya tidak ada makhluk yang bergerak pun yang tinggal dimuka bumi itu, namun allah menangguhkan siksa mereka sampai pada batas massanya yang telah ditentukan.
V. RENUNGAN
Renungan berasal dari kata dasar renung, merenung berarti memikirkan sesuatu secara mendalam dan teliti. Renungan adalah hasil dari kegiatan merenung tersebut.
Merenung dapat juga disebut dengan berfilsafat, ketika objek yang direnungkan dan dievaluasi adalah pengalaman-pengalaman yang telah lalu. Namun demikian berfikir kefilsafatan memiliki beberapa ciri ;
1. Menyeluruh, artinya pemikiran yang luas, bukan hanya ditinjau dari sudut pandang tertentu. Peemikiran kefilsafatan ingin mengetahui hubungan antara ilmu yang satu dengan ilmu-ilmu yang lain, hubungan dengan moral, seni, dll.
2. Mendasar,artinya pemikiran yang dalam sampai pada hasil yang fundamental (keluar dari gejala), sehingga dapat dijadikan dasar berpijak bagi segenap bidang keilmuan.
3. Spekulatif,artinya hasil pemikiran yang didapat dijadikan dasar untuk pemikiran-pemikiran selanjutnya.
Renungan yang berhubungan dengan keindahan didasarkan atas tiga teori yaitu ;
• Teori pengungkapan, teori ini mengatakan bahwa seni merupakan pengungkapan kesan kesan keindahan
• Teori metafisika, teori ini mengatakan bahwa seni merupakan duni tiruan dari suatu realitas
• Teori Psikologi menyatakan bahwa proses penciptaan seni adalah pemenuhan keinginan bawah sadar seorang seniman
Setiap hasil seni yang kemudian memiliki keindahan lahir dari hasil renungan penciptanya. Tanpa direnungkan, hasil seni tidak mencapai keindahan.
Allah SWT telah member dorongan kepada manusia untuk memikirkan alam semesta,mengadakan keindahan ciptaan-Nya dan mengungkapkan hukum-Nya di alam semesta.
Firman Allah SWT
Al-angkabut 20
Yunus 101
Al-a’raf 185
Termaktub disana bahwa dengan tegas Allah menyerukan kepada kita untuk senantiasa mererung, memikirkan, dan meneliti terhadap apa-apa yang terdapat dilaangit dan dibumi, semua makhluk, dan semua fenomena alam semesta. Selain itu al-quran juga member dorongan kepada manusia untuk merenungkan dan memikirkan dirinya.
Ar-rum 8
At-thariq 5-7
VI. KESERASIAN
Keserasian bersal dari kata serasi, berarti cocok, sesuai, atau kene benar. Kata cocok, serasi atau kena mengandung pengertian perpaduan, pertentangan, ukuran dan seimbang. Keserasian sangat berhubungan dengan keindahan, sesuatu yang serasi akan tampak indah. Dalam keselarasan seseorang memiliki perasaan seimbang, dan mempunyai cita rasa akan sesuatu yang berakhir dan merasa hidup sesaat ditengah-tengah kesempurnaan yang menyenangkan hati . Hal-hal yang demikian itu sering disebut dengan kualitas atau pokok tertentu yang terdapat pada suatu benda.
Kualitas-kualitas yang sering disebut ketika membicarakan keindahan adalah kesatuan (unity), keselarasan (harmony), kesetangkupan (symmetry), keseimbangan (balance), dan pertentangan (contrast)
Allah maha kuasa dan maha pencipta dalam menciptakan sesuatu, dalam keselarasan dan keseeimbangan, misalnya menciptakan sesuatu beserta pasangannya laki-perempuan, baik-buruk, siang-malam, langit-bumi dan lain sebagainya.
Firman allah
Asy syura 11
VII. KEHALUSAN
Kehalusan dalam bertingkah laku berhubungan dengan perbuatan lemah lembut, sopan santun, dan budi pekerti yang baik. Manusia yang tidak memiliki kehalusan dalam tingkah laku dapat membawa kearah hipokrit, munafik, tidak bertangung jawab, fiodal, kamuflase, berwatak plin plan, boros, tukang tipu dll. Dengan demikian sikap halus atau lembut merupakan gambaran yang tulus serta cinta kasih terhadap sesama. Sikap halus harus dimulai dari keluarga karna dari sinilah akan mampu diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat, hingga bisa mewujudkan ketentraman dan kesejahtraan. Jadi pada intinya kehalusan seseorang dalam bertingkah laku sangat menekankan pada kejujuran, kesetian, kesopan dan keramah tamahan
Bila dikaitkan dengan kehidupan bernegara seorang pejabat negara dan warga negaranya harus mempunyai kehalusan dalam melakukan hubungan, dengan kata lain harus saling menghormati. Tindakan pejabat publik yang mendahulukan kepentingan pribadi dan mengabaikan kepentingan masyarakat banyak sangat bertentangan dengan kehalusan, cinta kasih baik kepada negaranya maupun rakyatnya. Pejabat seperti ini mencerminkan bahwa mereka tidak beradab dan tidak berbudi.

PENUTUP
REFERENSI
www.harunyahya.com
kahlil Gibran,bagi sahabatku yang tertindas,2002,Yogyakarta,Penerbit Bentang

MENJAGA IMAN

Menurut Ibnu Qoyyim al-Jauzi : Bahwa iman yang menempat pada hamba Allah SWT dibagi menjadi empat macam yaitu:

1- لا يزيد ولا ينقص imannya para Malaikat
2- يزيد ولا ينقص imannya para nabi dan Rasul
3- قد يزيد وينقص imannya Orang awam
4- لا يزيد وينقص imannya orang kafir & munafik
Cabang-cabang Iman
عن أبى هريرة رضي الله عنه عن البي ص م. قال : " الإيمان بضع وستون شعبة والحياء شعبة من الإيمان". رواه البخاري.

Artinya : Hadis dari Abu Hurairah RA. Dari Nabi Muhammad SAW. Bersabda : Iman terbagi menjadi 60 cabang, dan malu cabang dari pada iman. HR. Buhkari.
Manisnya Iman
عن أنس عن البي ص م. قال : " ثلاث من كن فيه وجد حلاوة الإيمان : أن يكون الله ورسوله أحب إليه مما سواهما، وأن يحب المرء لا يحبه إلا لله، وأن يكره أن يعود فى الكفر كما يكره أن يقذ ف فى النار". رواه البخارى.

Artinya : Hadis dari Anas dari Nabi Muhammad SAW bersabda : “ Ada tiga perkara barang siapa yang memperoleh dari tiga perkara tersebut maka orang tersebut akan memperoleh manisnya iman, yaitu pertama menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari pada selainnya, kedua mencintai orang (sesama manusia) semata-mata hanya karena Allah, ketiga dia tidak suka kembali pada kekafiran sebagaimana dia tidak suka kalau dilemparkan kedalam api neraka. HR. Bukhari.

Peran Psikologi Agama Terhadap PAI

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang.
Akhlaq peserta didik di tingkatan pelajar mulai dipertanyakan, banyak kasus kenakalan pelajar yang sudah menyimpang dari koridor agama. Menyimak penyimpangan tersebut keberadaan PAI yang di dapat oleh si anak dapat di pertanyakan. Anak yang banyak menghabiskan waktu disekolah mulai kurang menyenangi mata pelajaran PAI, padahal mata pelajaran PAI adalah salah satu tempat dimana anak mendapatkan pengetahuan dan peneneman tentang agama.
  BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendidikan Agama Islam.
Pendidikan sebagai sebuah proses adalah suatu aktivitas yang dilakukan manusia secara sadar dalam mencapai kematangan intelektual, social dan spiritual. Pendidikan dalam arti luas adalah berkaitan dengan upaya untuk mengembangkan pada diri seseorang tiga aspek dalam kehidupannya, yakni pandangan hidup, sikap hidup dan keetrampilan hidup. Upaya untuk mengembangkan ketiga aspek terseebut bisa dilaksanakan di sekolah, di luar sekolah dan di lingkungan kluarga. Dengan kata lain, lingkup dan sifat pendidikan yang dilakukan dalam dunia pendidikan biasa disebut dengan pendidikan formal (sekolah), non formal (luar sekolah), kesemuanya ini termasuk para pendidik, guru dan dosen, sebenarnya tengah terlibat dalam suatu pengumpulan politik atau ideology.
Secara umum Pendidikan Agama Islam (PAI) adalah Aktifitas, kegiatan atau usaha yang sadar, sistematis dan berkesinambungan untuk mengembangkan kemampuan rasa beragama, memberi sifat beragama, dan memberi kecakapan beragama sesuai tujuan pendidikan agama.

B. Keadaan PAI Pada Saat Ini
Pai pada saat ini hanya berpusat pada ilmu atau materi-materi keagamaan yang di sampaikan pada peserta didik, tanpa tau ilmu tersebut akan berdampak setelah dipelajari atau tidak. Praktek pengajaran PAI hanya berputar pada ranah kognisi pada peserta didik, tidak sampai afektif, jadi dari uraian tersebut PAI hanya di kaji secara umum di kelas tanpa diterapkan ataupun di biasakan kepada peserta didik. Sehingga berkesimpulan bahwa PAI tidak sampai dicintai oleh peserta didik.

C. Psikologi Agama
 Psikologi Agama menurut bahasa adalah Ilmu Jiwa Agama. Psikologi pada umumnya terbagi atas tiga bagian; a). Kognisi (berfikir), b). Afektif (Merasa) dan c). Psikomotorik (Berkehendak).
Psikologi agama memiliki arti lebih luas yaitu: Ilmu yang mempelajari tentang jiwa yaitu aktivitas dalam diri manusia yang mendorong prilaku manusia yang mencangkup 7 aspek jiwa.
7 aspek jiwa tersebut adalah:
a). Kognisi adalah gejala aktivitas jiwa yang terkai dengan proses memperoleh pengetahuan.
b). Motivasi adalah semua energi dari dalam diri yang mendorong manusia untuk mencapai tujuan yang di inginkan.
c). Emosi adalah reaksi jiwa secara tiba-tiba, spontanitas terhadap stimulus yang dating secara tiba-tiba.
d). Sosial adalah hubungan antara manusia satu dengan yang lainnya.
e). Moral adalah dorongan untuk taat pada aturan.
f). Estetika adalah dorongan manusia dalam hal keindahan atau kerapian.
g). Agama secara umum agama adalah hubungan antara manusia dengan tuhannya.
Pengertian Rasa Beragama menurut W H Clark.
 Secara ringkas menurut clark rasa beragama adalah pengalaman yang berada dalam diri yang terdalam atau mendalam dalam individu tentang rasa bertuhan.
 Dalam teks asli clark menggunakan kata Experience karena maksudnya bukan hanya dengan kognisi (berfikir) tapi lebih diperdalam karena melalui pengalaman dan bernilai.
 Menurut clark ada dua ranah yang di maksud :
 Rasa bertuhan : Belive = Yakin
 Ras ta’at : Faith = Ta’at
Rasa agama : Kristal-kristal nilai agama dalam diri manusia sebagai produk dari proses internalisasi nilai agama melalui pengalaman semenjak dini, secara continyu, konsisten dalam berkelanjutan.
D. Peran Psikologi Agama Terhadap PAI.
Dalam kondisi yang demkian PAI harus diajarkan dengan cara yang berbeda dengan model pengajaran yang lain. PAI harus diajarkan dengan makna yang terkandung dalam Psikologi Agama. Jadi PAI harus diajarkan dengan pengalaman yang ditanamkan oleh pendidik kepada peserta didik sehingga PAI memberi kesan tersendiri oleh peserta didik dan membuat peserta didik cinta terhadap PAI.








Kesimpulan
Pendidikan Agama Islam (PAI) adalah Aktifitas, kegiatan atau usaha yang sadar, sistematis dan berkesinambungan untuk mengembangkan kemampuan rasa beragama, memberi sifat beragama, dan memberi kecakapan beragama sesuai tujuan pendidikan agama.
Psikologi agama memiliki arti lebih luas yaitu: Ilmu yang mempelajari tentang jiwa yaitu aktivitas dalam diri manusia yang mendorong prilaku manusia yang mencangkup 7 aspek jiwa.
Rasa agama : Kristal-kristal nilai agama dalam diri manusia sebagai produk dari proses internalisasi nilai agama melalui pengalaman semenjak dini, secara continyu, konsisten dalam berkelanjutan.
 Peran Psikologi Agama Terhadap PAI.
Dalam kondisi yang demkian PAI harus diajarkan dengan cara yang berbeda dengan model pengajaran yang lain. PAI harus diajarkan dengan makna yang terkandung dalam Psikologi Agama. Jadi PAI harus diajarkan dengan pengalaman yang ditanamkan oleh pendidik kepada peserta didik sehingga PAI memberi kesan tersendiri oleh peserta didik dan membuat peserta didik cinta terhadap PAI.