Translate

Isnin, 14 November 2011

GERILYAWAN REVOLUSIONER YANG LEGENDARIS

Diketik ulang dari Brainwashed, Jakarta Extreme Fanzine, June’99, Issue #7.

Tan Malaka –lengkapnya Ibrahim Datuk Tan Malaka—menurut keturunannya ia termasuk suku bangsa Minangkabau. Pada tanggal 2 Juni 1897 di Nagari Pandam Gadang (Pondom Godang) –Sumatra Barat—Tan Malaka dilahirkan. Ia termasuk salah seorang tokoh bangsa yang sangat luar biasa, bahkan dapat dikatakan sejajar dengan tokoh-tokoh nasional yang membawa bangsa Indonesia sampai saat kemerdekaan seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, Moh.Yamin dan lain-lain.

Pejuang yang militan, radikal dan revolusioner ini telah banyak melahirkan pemikiran-pemikiran yang orisinil, berbobot dan brilian hingga berperan besar dalam sejarah perjaungan kemerdekaan Indonesia. Dengan perjuangan yang gigih maka ia mendapat julukan tokoh revolusioner yang legendaris. Pada tahun 1921 Tan Malaka telah terjun ke dalam gelanggang politik. Dengan semangat yang berkobar dari sebuah gubuk miskin, Tan Malaka banyak mengumpulkan pemuda-pemuda komunis.Pemuda cerdas ini banyak juga berdiskusi dengan Semaun (wakil ISDV) mengenai pergerakan revolusioner dalam pemerintahan Hindia Belanda.

Selain itu juga merencanakan suatu pengorganisasian dalam bentuk pendidikan bagi anggota-anggota PKI dan SI (Syarekat Islam) untuk menyusun suatu sistem tentang kursus-kursus kader serta ajaran-ajaran komunis, gerakan-gerakan aksi komunis, keahlian berbicara, jurnalistik dan keahlian memimpin rakyat. Namun pemerintahan Belanda melarang pembentukan kursus- kursus semacam itu sehingga mengambil tindakan tegas bagi pesertanya.

Melihat hal itu Tan Malaka mempunyai niat untuk mendirikan sekolah-sekolah sebagai anak-anak anggota SI untuk penciptaan kader-kader baru. Juga dengan alasan pertama: memberi banyak jalan (kepada para murid) untuk mendapatkan mata pencaharian di dunia kapitalis (berhitung, menulis, membaca, ilmu bumi, bahasa Belanda, Melayu, Jawa dan lain-lain); kedua,
memberikan kebebasan kepada murid untuk mengikuti kegemaran (hobby) mereka dalam bentuk perkumpulan-perkumpulan; ketiga, untuk memperbaiki nasib kaum kromo (lemah/miskin). Untuk mendirikan sekolah itu, ruang rapat SI Semarang diubah menjadi sekolah, dan sekolah itu bertumbuh sangat cepat hingga sekolah itu semakin lama semakin besar.

Perjuangan Tan Malaka tidaklah hanya sebatas pada usaha mencerdaskan rakyat Indonesia pada saat itu, tapi juga pada gerakan-gerakan dalam melawan ketidakadilan seperti yang dilakukan para buruh terhadap pemerintahan Hindia Belanda lewat VSTP dan aksi-aksi pemogokan, disertai selebaran-selebaran sebagai alat propaganda yang ditujukan kepada rakyat agar rakyat dapat melihat adanya ketidakadilan yang diterima oleh kaum buruh.

Seperti dikatakan Tan Malaka pada apidatonya di depan para buruh “Semua gerakan buruh untuk mengeluarkan suatu pemogokan umum sebagai pernyataan simpati, apabila nanti menglami kegagalan maka pegawai yang akan diberhentikan akan didorongnya untuk berjuang dengan gigih dalam pergerakan revolusioner”. Pergulatan Tan Malaka dengan partai komunis di dunia sangatlah jelas. Ia tidak hanya mempunyai hak untuk memberi usul-usul dan dan mengadakan kritik tetapi juga hak untuk mengucapkan vetonya atas aksi-aksi yang dilakukan partai komunis di daerah kerjanya. Tan Malaka juga harus mengadakan pengawasan supaya anggaran dasar, program dan taktik dari Komintern (Komunis Internasional) dan Profintern seperti yang telah ditentukan di kongres-kongres Moskow diikuti oleh kaum komunis dunia.

Dengan demikian tanggung-jawabnya sebagai wakil Komintern lebih berat dari keanggotaannya di PKI. Sebagai seorang pemimpin yang masih sangat muda ia meletakkan tanggung jawab yang saangat berat pada pundaknya. Tan Malaka dan sebagian kawan-kawannyamemisahkan diri dan kemudian memutuskan hubungan dengan PKI, Sardjono-Alimin-Musso. Pemberontakan 1926 yang direkayasa dari Keputusan Prambanan yang berakibat bunuh diri bagi perjuangan nasional rakyat Indonesia melawan penjajah waktu itu.

Pemberontakan 1926 hanya merupakan gejolak kerusuhan dan keributan kecil di beberapa daerah di Indonesia. Maka dengan mudah dalam waktu singkat pihak penjajah Belanda dapat mengakhirinya. Akibatnya ribuan pejuang politik ditangkap dan ditahan. Ada yang disiksa, ada yang dibunuh dan banyak yang dibuang ke Boven Digul Irian Jaya. Peristiwa ini dijadikan dalih oleh Belanda untuk menangkap, menahan dan membuang setiap orang yang melawan mereka, sekalipun bukan PKI. Maka perjaungan nasional mendapat pukulan yang sangat berat dan mengalami kemunduran besar serta lumpuh selama bertahun-tahun.

Tan Malaka yang berada di luar negeri pada waktu itu,berkumpul dengan beberapa temannya di Bangkok. Di ibukota Thailand itu, bersama Soebakat dan Djamaludddin Tamin, Juni 1927 Tan Malaka memproklamasikan berdirinya Partai Republik Indonesia (PARI). Dua tahun sebelumnya Tan Malaka telah menulis “Menuju Republik Indonesia”. Itu ditunjukkan kepada para pejuang intelektual di Indonesia dan di negeri Belanda.

Terbitnya buku itu pertama kali di Kowloon, Cina, April 1925. Prof. Moh. Yamin sejarawan dan pakar hukum kenamaan kita, dalam karya tulisnya “Tan Malaka Bapak Republik Indonesia” memberi komentar: “Tak ubahnya daripada Jefferson Washington merancangkan Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaannya tercapai atau Rizal Bonifacio meramalkan Philippina sebelum revolusi Philippina pecah….”

Ciri khas gagasan Tan Malaka adalah: (1) Dibentuk dengan cara berpikir ilmiah berdasarkan ilmu bukti, (2) Bersifat Indonesia sentris, (3) Futuristik dan (4) Mandiri, konsekwen serta konsisten. Tan Malaka menuangkan gagasan-gagasannya ke dalam sekitar 27 buku, brosur dan ratusan artikel di berbagai surat kabar terbitan Hindia Belanda. Karya besarnya “MADILOG” mengajak dan memperkenalkan kepada bangsa Indonesia cara berpikir ilmiah bukan berpikir secara kaji atau hafalan, bukan secara “Text book thinking”, atau bukan dogmatis dan bukan doktriner.

Madilog merupakan istilah baru dalam cara berpikir, dengan menghubungkan ilmu bukti serta mengembangkan dengan jalan dan metode yang sesuai dengan akar dan urat kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Bukti adalah fakta dan fakta adalah lantainya ilmu bukti. Bagi filsafat, idealisme yang pokok dan pertama adalah budi (mind), kesatuan, pikiran dan penginderaan. Filsafat materialisme menganggap alam, benda dan realita nyata obyektif sekeliling sebagai yang ada, yang pokok dan yang pertama.

Bagi Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) yang pokok dan pertama adalah bukti, walau belum dapat diterangkan secara rasional dan logika tapi jika fakta sebagai landasan ilmu bukti itu ada secara konkrit, sekalipun ilmu pengetahuan secara rasional belum dapat enjelaskannya dan belum dapat menjawab apa, mengapa dan bagaimana. Semua karya Tan Malaka danpermasalahannya dimulai dengan Indonesia. Konkritnya rakyat Indonesia, situasi dan kondisi nusantara serta kebudayaan, sejarah lalu diakhiri dengan bagaimana mengarahkan pemecahan masalahnya.

Cara tradisi nyata bangsa Indonesia dengan latar belakang sejarahnya bukanlah cara berpikir yang “text book thinking” dan untuk mencapai Republik Indonesia sudah dicetuskan sejak tahun 1925 lewat “Naar de Republiek Indonesia”.

Jika kita membaca karya-karya Tan Malaka yang meliputi semua bidang kemasyarakatan, kenegaraan, politik,ekonomi, sosial, kebudayaan sampai kemiliteran(“Gerpolek”-Gerilya-Politik dan Ekonomi, 1948), maka akan kita temukan benang putih keilmiahan dan keIndonesiaan serta benang merah kemandirian, sikap konsekwen dan konsisten yang direnda jelas dalam gagasan-gagasan serta perjuangan implementasinya.Peristiwa 3 Juli 1946 yang didahului dengan penangkapan dan penahanan Tan Malaka bersama pimpinan Persatuan Perjuangan, di dalam penjara tanpa pernah diadili selama dua setengah tahun.

Setelah meletus pemberontakan FDR/PKI di Madiun, September 1948 dengan pimpinan Musso dan Amir Syarifuddin, Tan Malaka dikeluarkan begitu saja dari penjara akibat peristiwa itu. Di luar, setelah mengevaluasi situasi yang amat parah bagi republik Indonesia akibat Perjanjian Linggarjati 1947 dan Renville 1948, yang merupakan buah dari hasil diplomasi Syahrir dan Perdana Menteri AmirSyarifuddin, Tan Malaka merintis pembentukan Partai MURBA, 7 November 1948 di Yogyakarta.

Pada tahun 1949 tepatnya bulan Februari Tan Malaka gugur, hilang tak tentu rimbanya, mati tak tentu kuburnya ditengah-tengah perjuangan “Gerilya Pembela Proklamasi” di Pethok, Kediri, Jawa Timur. Namun berdasarkan keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden Sukarno 28 Maret 1963 menetapkan bahwa Tan Malaka adalah seorang pahlawan kemerdekaan Nasional.

KETIKA MEREKA TIDAK MENGENAL DAYAK


Bertahun-tahun kerusuhan antar etnis

Dayak-Madura di Sampit, Kotawaringin Timur, Kalimantan

Tengah, telah berlalu. Tragedi paling berdarah di bumi

Kalimantan ini menyebabkan 90.000 orang Madura

terpaksa mengungsi pulang ke kampung halamannya.

Seperti puluhan orang Dayak lainnya di Sampit,

sebagian dari orang Madura itu tewas.

Konflik etnis ini tak sekadar menyentakkan. Tetapi

juga memunculkan kembali diskursus dan kontoversi

terhadap orang Dayak yang selama pemerintahan Belanda

di Indonesia sebagai suku terasing, tidak beradab,

barbarian, kanibal, dan biasa mengayau (memotong

kepala musuh dalam peperangan) ke permukaan.

Stigmanisasi Belanda ini “berhasil” menyesatkan

pandangan suku-suku lain di Nusantara terhadap orang

Dayak. Hingga kini misalnya anak-anak di Pulau Jawa

yang lahir pada era 1970-an percaya bahwa orang Dayak

itu berekor, haus darah, dan dilingkupi kehidupan

black magic yang pekat.

Pasangan muda Dayak, 1935

Penyesatan persepsi inilah yang dilakukan Michael

Theophile Hubert (MTH) Perelaer (1831-1901) dalam buku

yang ditulisnya dan diterjemahkan oleh Helius

Sjamsuddin ini. Perelaer yang pernah ambil bagian

dalam Perang Banjarmasin (1859) sebagai opsir Belanda

dan diangkat sebagai Civiel Gezaghebber (pejabat

sipil) di daerah Groote en Kleine Dajak –kini

Kalimantan Tengah– (1860) ini di hampir seluruh

bagian buku yang ditulisnya menggambarkan dengan

sangat mumpuni keindahan rimba raya Borneo beserta

sungai-sungai yang bersih dan berarus deras mengalir.

Tentu sebelum ganasnya gergaji dan raung bulldozer

milik kaum kapitalis dari kota meluluh-lantakkan wajah

dan perut bumi.

Melalui kacamata empat serdadu Pemerintah Kolonial

Belanda (dua Swiss, satu Belgia, dan satu Indo beribu

Nias) yang minggat dari benteng Kuala Kapuas,

melakukan perjalanan selama 70 hari menembus belantara

Borneo dari utara ke Selatan melalui segala

marabahaya, dan tidak mau lagi menjalankan tugas

kemiliteran (desersi) karena merasa ditipu oleh

Pemerintah Belanda yang memberi janji penghasilan

melimpah saat mereka ditugaskan, Perelaer juga

berkisah tentang kebudayaan, mitos, jipen (denda

adat), perkawinan, persaudaraan dan kekerabatan, dan

ketajaman mandau Dayak Punan memenggal kepala

musuh-musuhnya.

Namun yang paling banyak dikisahkah Perelear adalah

hal yang terakhir. Di mata Perelear, kayau menjadi

bukti barbarianisme tumbuh, berkembang, dan menjadi

mesin pembunuh yang sangat efektif di kalangan orang

Dayak pada abad ke-19. Hampir di semua bab novelnya

(19 Bab), Perelear menggambarkan bagaimana kayau

berlangsung. Sayangnya Perelear lupa (?) –mungkin

karena buku ini bersifat novel– menjelaskan mengapa

kayau hidup, berkembang, dan juga menjadi sarana

perlawanan terhadap kekuasaan kolonial selain menjadi

medium penaklukan dan lambang keperkasaan.

Namun tidak sekali ini saja penulis-penulis Belanda

–juga orang asing lainnya—menggambarkan dengan sangat

tidak sempurna dan cenderung mendiskreditkan orang

Dayak dan kayau-nya.

Buku berbahasa Prancis yang ditulis Jean-Yves Domalain

(1971) yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh

Len Ortzen berjudul Panjamon: I was a Headhunter

(Morrow, New York, 1973) pun demikian. Sebuah buku

yang berkisah tentang kayau terakhir (mungkin). Buku

ini lebih banyak memuat fantasi sang petualang (turis)

Domalain. Karena itu tidaklah mengherankan Library of

Congress (AS) membuat subjek buku ini sebagai

Borneo- Description and Travel yang secara tak

langsung menunjukkan kualitas buku ini tak lebih dari

sekadar iklan untuk turis yang keranjingan bepergian

ke tempat-tempat “eksotik”, liar, primitif, dan

menyeramkan. Terutama dalam menantang marabahaya

kayau.

Sama halnya dengan buku Wyn Sargent, My Life with the

Headhunters yang diterbitkan Garden City, New York,

Doubleday, 1974. Seorang Dayak Ngaju perantauan

menceritakan, Gubernur Kalteng WA Gara pernah terpaksa

mengusir Wyn Sargent, wartawan petualang asal Virginia

ini, karena menulis di koran dan tabloid di Amerika,

dan memberi wawancara bahwa dia tinggal di betang

(rumah panjang tempat beberapa keluarga Dayak tinggal

bersama denga guyub) bersama para pengayau dan

melakukan sex orgy setiap malam.

Dalam bukunya Sargent menceritakan hengkang dari

Borneo, ibu seorang putera (waktu itu berusia 11

tahun) kembali berpetualang ke Lembah Baliem, Papua

Barat. Di sini dia mengaku kawin dengan kepala suku

Bahorok atau O’Bahorok. Sargent kembali membuat

sensasi dengan gambar-gambar pesta perkawinan yang

sebenarnya cuma pesta biasa di kalangan

orang-orang Bahorok selesai musim tanam. Sargent

mengklaim gambar-gambar itu sebagai pesta

perkawinannya dengang sang kepala suku. Sargent

kembali membumbui kisahnya dengan sex orgy seperti

yang dilakukannya di Borneo. Dengan cara demikian

Sargent melengkapi fantasi keprimitifan Borneo dan

Papua bagi para pembaca buku-buku berbahasa Inggris di

Amerika dan Eropa.

Penguasa kolonial dan turis menggunakan ketidaktahuan

–bisa jadi karena kesengajaannya—berkisah dan

melebih-lebihkan kenyataan yang ada agar orang

membayangkan Borneo –juga Papua– sebagai tempat

primitive. Kayau di tangan mereka dibumbui dengan

cerita-cerita lisan yang menggambarkannya sebagai kegiatan

perorangan yg meneror komunitas

lokal maupun seberang sana. Mereka tak pernah berkisah

alasan di balik propaganda kayau sebagai medium

perang psikologis, pertahanan, dan reaksi terhadap

sesuatu yang sudah berlangsung kelewat batas.

Prof Andrew P Vayda dalam bukunya War in Ecological

Perspective: Persistence, Change, and Adaptive

Processes in Three Oceanian Societies (1976)

mengungkapkan bagaimana upaya propaganda menjadi alat

pertahanan komunitas maupun tribal nation setempat

untuk mengamankan wilayahnya dari para pengganggu

keseimbangan hidup dan kearifan lokal yang sudah

berlangsung dan terpelihara sekian lama.

Perelear mungkin lupa bahwa orang Dayak bisa juga

menjadi lebih beradab dengan saling berdamai dan

menghentikan pertikaian yang berlangsung ratusan tahun

melalui sebuah rapat besar yang dihadiri oleh para

utusan dari 400 kelompok Suku Dayak di seluruh

Kalimantan di Desa Tumbang Anoi, Kahayan Hulu Utara,

Kalimantan Tengah, pada 22 Mei -24 Juli 1894.


Pertikaian yang berlumuran adat kebiasaan lama yang

sudah terlanjur membudaya, berurat berakar warisan

negatif dalam bentuk asang-maasang (perang suku),

bunu-habunu (saling membunuh), kayau-mangayau (saling

penggal kepala), dan jipen-hajipen (saling mendenda),

berganti menjadi suasana yang penuh getaran semangat

pembaharuan dan persaudaraan yang pekat akibat Pakat

Tumbang Anoi itu.

Lalu jika kayau terjadi dalam konflik etnis di Sampit

silam, tentu penyebabnya adalah sesuatu yang

maha luar biasa. Hanya sesuatu yang maha dahsyatlah

yang bisa membangkitkan reaksi orang Dayak dalam

bentuk mangayau musuhnya itu hidup kembali.

Ketidakadilan dan pemihakan kekuasaan yang

meminggirkan hak-hak orang Dayak lah yang sesungguhnya

menjadi penyebabnya. Kayau dalam bentuk modern

(korupsi, diskriminasi, penjarahan kekayaan rimba raya

Borneo dan seterusnya) justru lebih berbahaya dari

kayau yang sudah lindap pasca Pakat Tumbang Anoi 1894.

Sumber: http://noyan.webs.com

dayak


Orang yang disebut Dayak itu hanyalah ada di Kalimantan, sedang kenapa mereka disebut Dayak atau "Orang Dayak" dalam bahasa Kalimantan secara umum berarti "Orang Pedalaman" yang jauh dan terlepas dari kehidupan kota.

DULUNYA memang begitu. Di mana-mana ada perkampungan suku dayak. Mereka selalu berpindah ke satu daerah lain, jika di mana mereka tinggal itu ada orang dari suku lain yang juga tinggal atau membuka perkampungan di dekat wilayah tinggal mereka.

Disebut 'Dayak' berarti tidaklah hanya untuk satu suku, melainkan bermacam-macam seperti Suku Dayak Kenyah, Suku Dayak Hiban, Suku Dayak Tunjung, Suku Dayak Bahau, Suku Dayak Benua, Dayak Basaf, dan Dayak Punan yang masih pula disertai puluhan "Uma " (anak suku) dan tersebar diberbagai wilayah Kalimantan.

Pada kurun waktu sebelum abad 20, secara keseluruhan Suku Dayak ini tak mengenal agama Kristen dan Islam. Yang ada pada mereka hanyalah kepercayaan pada leluhur, binatang-binatang, batu batuan, serta isyarat alam pembawaan kepercayaan Hindu kuno.

Dalam menjalani kehidupan sehari-hari mereka mempercayai berbagai pantangan yang tandanya diberikan oleh alam. Pantangan dalam kehidupan masyarakat Dayak hanya ada dua. Yaitu pantangan yang membawa kebebasan sehingga populasi mereka bertambah banyak dan ada pula karena pantangan berakibat populasi mereka semakin sedikit dan kini malah hampir punah.

Seperti misal kehidupan yang tak boleh berbaur dengan masyarakat lain dari suku mereka. Pantangan ini membuat mereka selalu hidup tak tenang dan selalu berpindah pindah. Sehingga kehidupan mereka tak pernah maju bahkan cendrung tambah primitif. Misalnya saja seperti Suku Dayak Punan. Suku yang satu ini sulit berkomunikasi dengan masyarakat umum. Kebanyakan mereka tinggal di hutan hutan lebat, di dalam goa-goa batu dan pegunungan yang sulit dijangkau.

Sebenarnya hal tersebut bukanlah kesalahan mereka. Namun karena budaya pantangan leluhur yang tak berani mereka langgar terjadilah keadaan demikian. Hal ini sebenarnya adalah kesalahan dari leluhur mereka .

Dalam riwayat atau cerita, leluhur mereka ini asal-usulnya datang dari negeri yang bernama "Yunan " sebuah daerah dari daratan Cina. Mereka berasal dari keluarga salah satu kerajaan Cina yang kalah berperang yang kemudian lari bersama perahu-perahu, sehingga sampai ke tanah Pulau Kalimantan. Karena merasa aman, mereka lalu menetap di daratan tersebut.

Walau demikian, mungkin akibat trauma peperangan, mereka takut bertemu dengan kelompok masyarakat manapun. Mereka kuatir pembantaian dan peperangan terulang kembali sehingga mereka bisa habis atau punah tak bersisa. Karena itulah oleh para leluhur mereka dilakukan pelarangan dan pantangan bertemu dengan orang yang bukan dari kalangan mereka.

Memang pada Abad ke 13, daratan Cina penuh dengan pertikaian dan peperangan antara raja-raja yang berkuasa untuk menentukan salah satu kerajaan besar yang menguasai seluruh daratan Cina. Karena saling tak mengalah, maka terjadilah peperangan sesama mereka untuk menentukan kerajaan mana yang paling besar dan menguasai seluruh daratan Cina itu.

Dayak Punan bermukim di daerah Bulungan yang kebanyakan tinggal di kawasan Kecamatan Pujungan (Long Sule) Kecamatan Lumbis dan Long Peso. Mereka terbagi dari 20 (Uma) dari Punan Basaf, Punan Berusu, Punan Bukat, dan Punan Ot. Secara umum mereka ini agak primitive dengan tinggal di goa-goa anak anak sungai dan lain sebagainya, tanpa memakai baju atau bisa disebut setengah telanjang.

Keadaan hidup primitif ini membawa mereka selalu berpindah pindah dari satu tempat ke lain tempat dan terus menghindar dari kelompok manusia lain. Dalam kepercayaan mereka para leluhur lah yang menghendaki demikian. Dengan banyak tanda yang diberikan semisal ada diantara mereka yang meninggal. Setelah dikubur, serentak mereka berpindah menuju daerah lain. Mereka sangat percaya kalau roh yang meninggal akan bergentayangan membuat mereka tak akan merasa tenteram.

Warga Punan ini disebut juga warga pengembara dan hidup dalam satu kelompok tanpa berpisah pisah. Dalam keseharian jika ada di antara wanita dan pria yang saling suka, mereka melakukan hubungan intim di dalam hutan. Begitu juga dengan tradisi melahirkan, jika ada yang hamil tua dan mau melahirkan wanita tersebut dibawa ke dalam hutan atau tepi sungai untuk melahirkan bayinya.

Dari keseluruhan Suku Dayak, orang Punan inilah yang paling terbelakang baik budaya maupun kehidupan mereka. Namun demikian dalam keseharian mereka selalu waspada dan siap berkelahi dengan siapapun, termasuk binatang-binatang ganas di dalam hutan. Tradisi siap tempur ini diwarisi semenjak nenek moyang mereka sebagaimana diceritakan di atas tadi. Mereka memiliki ilmu bela diri yang sangat tangguh dan berbeda dengan ilmu bela diri secara umum yang ada di masyarakat. Mungkin ilmu bela diri yang mereka miliki adalah ilmu yang mereka bawa dari daratan Cina asal-usul leluhur mereka.

Orang-orang Punan ini juga memiliki kelebihan dengan penciuman mereka. Mereka tahu ada sesuatu melalui arah bertiupnya angin. Hebatnya mereka bisa membedakan bau manusia, dan binatang binatang dengan jarak yang cukup jauh. Walaupun dalam kondisi apapun mereka tahu kalau bau binatang atau manusia yang tercium membahayakan mereka.

Mereka juga senang dengan makanan yang masih mentah seperti sayur sayuran hutan yang berasal dari pohon nibung atau banding (teras dala). Begitu pula dengan daun pakis, atau labu hutan yang memang banyak terdapat. Soal beras tak terlalu perlu bagi mereka. Makanan utama mereka adalah umbi dan umbut umbutan hutan, ditambah dengan daging buruan yang mereka temukan. Untuk daging inipun jarang mereka masak. Jika ada binatang buruan yang didapat mereka lebih suka menjemur daging-daging tersebut di matahari panas sehingga menjadi daging asinan atau dendeng.

Bagi Punan yang tinggal di dalam goa-goa, kebanyakan tak mengenal suami atau isteri. Secara umum jika mereka mau bergaul tergantung dari kesepakatan atau suka sama suka. Jadi bagi mereka tak ada istilah cemburu atau rasa memiliki sendiri. Jika ada yang hamil kemudian melahirkan, maka anak tersebut adalah anak bersama mereka. Di mana mereka saling sayang menyayangi dan saling merawat satu dan lainnya.

Kehidupan dan kerja mereka sehari-hari berdasarkan limpahan kasih dari alam. Memang mereka bisa juga berhubungan dagang dengan masyarakat umum, tetapi tidak ditukar dengan uang namun dilakukan secara barter (Pertukaran). Yang dibawa mereka adalah seperti rotan, damar, kayu gaharu, sarang wallet. Yang dibarter dengan garam, gula, tembakau atau rokok. Dan ada pula kain kainan.

Cara penukaran barangpun tidak langsung bertemu dengan orangnya, melainkan barang barang yang dibawa diletakkan disuatu tempat yang tersedia. Setelah barang mereka diambil dan dibayar pula dengan barang yang dibutuhkan mereka. Setelah yakin pengantar barang sudah tidak ada, maka barulah mereka mengambil barang yang menjadi milik mereka.

Dayak Berusu, adalah salah satu anak suku Dayak Punan. Tetapi Dayak yang satu ini sudah mengenal kehidupan modern. Keberadaan mereka banyak di daerah pesisir, yaitu di daerah Sekatak Kabupaten Bulungan mendiami sekitar 13 desa. Kehidupan mereka sangat berbeda dengan mereka yang masih primitif.

Mereka dalam keseharian senang melakukan pesta memakan daging buruan serta meminum-minuman keras buatan mereka sendiri, yang terdiri dari bahan beras ketan dan tetumbuhan. Acara minum dan pesta tersebut mereka lakukan pada waktu panen terlebih jika ada yang meninggal dunia.

Namun kebebasan bergaul sesama mereka tetap saja tak berubah. Di samping itu mereka juga tak pernah menerima masyarakat lain ke dalam kehidupan keluarga mereka. Walaupun masyarakat lain tersebut adalah orang orang dari Suku Dayak pula.

Dihitung dari populasi keberadaan Dayak Punan ini kian tahun kian menurun bahkan cendrung punah. Tetapi walau demikian mereka tetap saja tak pula berubah dengan pola adat istiadad dari leluhur mereka yang dipercayai. Mereka juga tak mengenal pakaian bagus dan kemajuan zaman. Lebih aneh lagi dari kehidupan masyarakat Punan ini adalah secara umum mereka merasa takut dan alergi terhadap Sabun . Entah apa sebabnya tak ada yang mengetahui secara pasti.

Dulu semasa Orde Baru ada sermacam badan yang menangani masalah pemukiman masyarakat terasing dan liar yang bernama "Resetlemen Penduduk". Rasanya keberadaan lembaga ini di bawah pemerintah daerah Propinsi Kalimantan Timur. Banyak keberhasilan dari "Respen" yang kini sudah berbuah dan terbukti semisal perkampungan masyarakat terasing di "Gemar Baru" alur Sungai Mahakam, atau perkampungan masyarakat terasing di "Sungai Lati" Kabupaten Berau yang dilaksanakan oleh Dinas Sosial.

lebaran





KARL MARK “dengan teori kelas”

Karl Heinrich Marx adalah nama asli dari karl mark lahir di Trier, Jerman, 5 Mei 1818, meninggal di London, 14 Maret 1883 pada umur 64 tahun. Dia adalah seorang filsuf pakar ekonomi politik dan teori kemasyarakatan dari Prusia.
Walaupun Marx menuliskan banyak hal dalam pemikirannya semasa hidup, ia paling terkenal atas analisisnya terhadap sejarah, terutama mengenai pertentangan kelas, yang dapat diringkas sebagai " Sejarah dari berbagai masyarakat hingga saat ini pada dasarnya adalah sejarah pertentangan kelas".
Membahas mengenai teori kelas yang selalu di pertentangkan dari zaman dulu hingga sekarang mungkin tak ada habisnya bila di jabarkan karena setiap dekadenya perubahan yang ada di dunia ini akan selalu berubah-ubah terutama di indonesia yang memiliki berbagai suku dan budaya sehingga menghasilkan berbagai keanekaragaman rakyat. Akan tetapi di sini sedikit membahas tentang teori kelas yang di gagas oleh karl mark.
Kapitalisme adalah sistem ekonomi dimana sejumlah besar pekerja yang hanya memiliki sedikit hak milik, memproduksi komoditas-komoditas demi keuntungan sejumlah kecil kapitalis yang memiliki hal-hal berikut : komoditas-komoditas, alat-alat produksi, dan bahkan waktu kerja pada pekerja karena membeli para pekerja tersebut melalui gaji yang sangat kecil. Namun, salah satu pengertian sentral Marx bahwa Kapitalisme lebih dari sekedar sistem ekonomi. Paling penting lagi, kapitalisme adalah sistem kekuasaan.
Bahwa kapitalisme adalah kekuatan-kekuatan politis telah diubah menjadi relasi-relasi ekonomi. Parakapitalis bisa memaksa pekerja dengan kekuasaannya dan kewenangan mereka untuk memecat dan menutup pabrik-pabrik. Karena hal inilah, para kapitalis bebas untuk menggunakan paksaan yang kasar. Maka kapitalisme tidak hanya menjadi sekedar sistem ekonomi, pada saat yang sama, kapitalisme juga merupakan sistem politis, suatu cara menjalankan kekuasaan, dan suatu proses eksploitasi atas para pekerja.
Dibawah kapitalisme, ekonomi tampil kepada kita sebagai kekuatan alamiah. Parapekerja diberhentikan, upah dikurangi, pabrik-pabrik ditutup, itu semua karena ekonomi. Kita semua tidak melihat semua ini sebagai keputusan-keputusan sosial dan politis. Hubungan-hubungan antara penderitaan manusia dan struktur2 ekonomi dianggap tidak relevan. Tujuan Marx adalah untuk memperjelas aspek sosial dan politis dari ekonomi dengan memperlihatkan “hukum gerak ekonomi masyarakat modern”, selain itu Marx juga ingin memperlihatkan kontradiksi internal yang akan mengubah kapitalisme.
Marx sebenarnya menginginkan suatu keadaan masyarakat seperti pemikir sosialis utopian tentang suatu masyarakat yang hidup tanpa kelas. Untuk itu ia lebih memikirkan upaya untuk membantu mematikan kapitalisme. Ia yakin bahwa kontradiksi dan konflik dalam kapitalisme akan menyebabkan kehancuran.
Oleh karena itu untuk menciptakan sistem sosialisme orang harus bertindak pada waktu dan cara yang tepat, karena di sisi lain kapitalisme memiliki sumber daya yang kuat dalam mencegah munculnya sosialisme. Menurut Marx kapitalisme dapat dikuasai jika kaum proletariat dapat melakukan tindakan secara bersama mewujudkan suatu sistem sosialisme yang dalam pengertian masyarakat dimana orang mula-mula akan mendekati citra ideal. Walaupun dengan bantuan teknologi modern dalam masyarakat yang ideal itu tetap berinteraksi dengan alam dan orang lain secara selaras untuk menciptakan segala sesuatu yang mereka butuhkan dalam hidup. Dengan kata lain, dalam masyarakat manusia tidak lagi teralienasi.
Jadi dalam ekonomi politik, kita bisa menemukan anatomi masyarakat sipil. Struktur ekonomi masyarakat merupakan fondasi nyata yang menjadi dasar pendirian bangunan yuridis dan politik, serta menjadi jawaban atas bentuk-bentuk kesadaran sosial yang telah ditentukan, bukan kesadaran manusia yang menentukkan eksistensinya, malahan sebaliknya “eksistensi sosialnya yang menentukan kesadaran mereka”.

Perlukah menggunakan HERMENEUTIKA sebagai metode dalam setiap penafsiran kita dalam setiap masalah

Perlukah hermeneutika ini di gunakan dalam penafsiran dalam kehidupan kita...? padahal kita ketahui bahwa segala hal yang baik ada dalam islam. Lalu kenapa orang-orang islam selalu ingin menggunakan hermeneutik dalam setiap penafsirannya...
Sangat tidak setuju apabila hermeneutika ini di gunakan untuk menafsirkan Al-quran yang sebenarnya islam mempunyai caranya sendiri untuk menafsirkan Al-quran bahkan dengan metode yang lebih akurat ketimbang cara penafsiran hermeneutika yang di gunakan pada abad yunani kuno dulu.
Akan tetapi sangatlah asing istilah hermeneutika ini dikalangan umat islam, termasuk sebagian cendekiawan muslim di indonesia. Hal inilah yang digunakan sebagian orang untuk hanya sekedar ingin tenar ataupun ingin di pandang oleh seluruh orang bahwa dia adalah orang yang mampu menafsirkan al-quran dalam penafsiran hermeneutika tanpa ada rasa ketakutan mereka apabila salah menafsirkan al-quran. Mereka hanya ingin menafsirkan dengan apa yang sama dengan penafsiran orang-orang barat.
Apa sebenarnya dampak hermeneutika bagi umat Muslim ? Kalau hermeunetika ini dikaji dengan tidak kritis dan diadopsi begitu saja untuk menggantikan tafsir Alquran maka akan terjadi kesalahan penafsiran secara besar-besaran terhadap kesucian Alquran dan tafsir-tafsirnya, yang di anggap sangat sakrat.
Orang-orang ini memang belum menghasilkan tafsir baru sebab mereka tidak mengembangkan keilmuan sistematis namun hanya melakukanpenafsiran secara tekstual. Orang dibuat tidak percaya Alquran lantaran ada campur tangan manusia. Dari sini selanjutnya juga bakal lahir tafsir-tafsir yang 'tak terkendali'.
Ketika mulai keluar dari teks orang-orang tersebut sebenarnya tidak lagi percaya pada teks Alquran, maka yang terjadi siapa pun bisa menafsiran Alquran sesuai cara pandangnya. Misalnya saja orang-orang feminis dan pluralis tentu akan mencari ayat-ayat yang dapat mendukung sikap feminisnya atau pluralisnya.
Lalu bagaimanakah sikap kita dalam menghadapi persoalan ini ??? yang terbaik bagi umat, adalah adanya forum-forum yang mempelajari kembali tafsir dengan sebenar-benarnya dan hermeneutika.
Susahnya pendidikan di perguruan Islam jarang yang memberikan wacana kedua-duanya. Ada yang paham tafsir tidak paham hermeneutika atau sebaliknyapaham hermeneutika akan tetapi tidak paham dengan tafsir al-quran yang sebenarnya.
Sekiranya perlu dilakukan kajian secara serius dan mendalam. Dan bagaimana pun juga umat perlu merespon secara ilmiah dan akademis. Juga sebagai umat Muslim, sikap kita terhadap apapun, tidak hanya pada harmeunetika, masih banyak yang belum kita ketahui selain dari hermeneutika sendiri.
sesuatu yang asing adalah keharusan kita untuk menelaah dulu. Apa manfaatnya bagi umat, sesuai atau tidak dengan nilai-nilai Islam jangan menerima setiap apa yang di anggapnya medern ataupun di anggap sesuatu itu adaalah hal yang baru untuk di ketahui dan di lakukan tanpa adanya pertimbangan yang mendalam.

DEVELOPMEN DAN GLOBALISASI ( pemikiran masyarakat pedesaan yang masih tertinggal )

Menakjubkan, indonesia adalah termasuk negara yang mengalami perkembangan yang signifikan dalam bidang pembangunan, berbagai gedung telah berdiri tegak dan tinggi, mall mulai di bangun di setiap penjuru kota. infrastruktur yang mulai memadai, berdirinya pertokoan 24 jam non stop yang menyediakan berbagai keperluan sehingga lebih memudahkan kita untuk mendapatkannya, berdirinya industri perusahaan yang menciptakan lapangan pekerjaan di hampir setiap kota yang dahulunya adalah kota tertinggal sehingga kota tersebut secara perlahan mulai ramai.
Akan tetapi pembangunan yang di alami negara indonesia ini, apakah memang benar2 pembangunan yang berpihak kepada rakyat indonesia...?
Peter Berger berpandangan bahwa teori pembangunan itu di bagi menjadi dua. Yaitu pembangunan yang berciri kapitalistik; dan pembangunan yang berciri sosialistik. Akan tetapi Peter Berger terlalu cepat untuk mengatakan bahwa jika dalam sebuah negara terdapat ciri kepemilikan aset produktif ditangan individu maka disebutnya kapitalisme.
Akan tetapi Arief Budiman mencoba memahami kembali teori yang telah di rumuskan oleh peter berger, bahwa teori pembangunan itu terbagi lagi menjadi tiga kategori, yaitu: teori modernisasi, dependensi dan pascadependensi.
Teori modernisasi lebih menekankan pada faktor manusia dan budayanya yang dinilai sebagai elemen fundamental dalam proses pembangunan.
Teori dependensi = 1 keadaan bergantung kepada orang lain karena belum dapat hidup sendiri (tentang orang); ketergantungan; 2 keadaan tidak merdeka, di bawah kekuasaan atau pengaruh negara lain (tentang negara); keadaan dijajah; 3 Ling hubungan antara unsur-unsur gramatikal dengan salah satu sebagai penguasa dan lainnya sebagai unsur bergantung (dikuasai), misal frasa verba menguasai frasa nomina pd tataran klausa, vokal (inti) menguasai konsonan pd tataran suku kata
Teori pascadependensi: keadaan dimana seseorang sudah tidak tergantung lagi pada orang lain, bisa dikatakan mandiri.
Sungguh ironis apabila kita mengetahui di balik percepatan pembangunan itu mengakibatkan penderitaan bagi sebagian orang yang tidak tahu menahu tentang misi pembangunan itu sendiri. Sehingga, apabila mereka diberikan sesuatu hal yang lebih mereka segera menerimanya dengan lapang dada tanpa adanya pemikiran untuk kedepannya apakah baik untuk anak dan cucu mereka. Mereka hanya menjalankan apa yang telah ada dan apa yang akan dilakukannya, dan tidak bisa di pungkiri juga apabila mereka sangat memerlukan pekerjaannnya guna menghidupi kebutuhan mereka dan anak-anak mereka. Mereka beranggapan bahwa mereka menerima keadaannya akan tetapi mereka menginginkan agar anak mereka bisa sekolah tinggi dan berharap bahwa anak mereka tidak sama dengan nya.
Jika dilihat dari perkembangan indonesia sekarang sulit memastikan bahwa indonesia ini berada dalam perkembangan atau malah ketergantungan dan jajahan dari negara lain.
Perlu adanya peran rakyat langsung dalam kepemerintahan untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi rakyat indonesia ini

ANTONIO GRAMSCI dengan teori HEGEMONI-nya




ANTONIO GRAMSCI lahir di Ales, Italia, 22 Januari 1891 meninggal 27 April 1937 pada umur 46 tahun, Ia merupakan anak keempat dari tujuh anak lelaki Francesco Gramsci, seorang perwira tingkat rendah. Gramsci merupakan keturunan Albania, keluarga ayahnya merupakan Arbëreshë dan nama keluarganya memiliki hubungan dengan Gramsh, sebuah kota di Albania. Kesulitan ekonomi Francesco dan masalahnya dengan polisi memaksa keluarganya untuk pindah beberapa kali melewati beberapa desa di Sardinia hingga mereka akhirnya menetap di Ghilarza. Saat ia tinggal di Rusia, ia bertemu seorang violin wanita bernama Julia Schucht yang kelak menjadi istrinya kemudian memiliki dua orang anak lelaki. Kemudian ia kembali berkiprah di dunia politik Itali hingga pada rezim Mussolini ia ditangkap dan penjara tahun 1926. Hingga tahun 1934 Gramsci dibebaskan karena kemunduran kondisi kesehatannya. Namun sayang, di usia 46 tahun ia meninggal tak lama setelah bebas dan dimakamkan.
Ia adalah filsuf Italia, penulis, dan teoritikus politik. Anggota pendiri dan pernah menjadi pemimpin Partai Komunis Italia, Gramsci sempat menjalani pemenjaraan pada masa berkuasanya rezim Fasis Benito Mussolini. Tulisan-tulisannya menitikberatkan pada analisa budaya dan kepemimpinan politik. Ia dianggap sebagai salah satu pemikir orisinal utama dalam tradisi pemikiran Marxis. Ia juga dikenal sebagai penemu konsep hegemoni budaya sebagai cara untuk menjaga keberlangsungan negara dalam sebuah masyarakat kapitalisme.
Istilah hegemoni berasal dari bahasa Yunani, yaitu hegeishtai. Istilah tersebut berarti yang berarti memimpin, kepemimpinan, atau kekuasaan yang melebihi kekuasaan yang lain. Konsep hegemoni menjadi sangat populer setelah digunakan sebagai penyebutan atas pemikiran Gramsci yang dipahami sebagai ide yang mendukung kekuasaan kelompok sosial tertentu, Adapun teori hegemoni yang dicetuskan Gramsci adalah: Sebuah pandangan hidup dan cara berpikir yang dominan, yang di dalamnya sebuah konsep tentang kenyataan disebarluaskan dalam masyarakat baik secara institusional maupun perorangan; (ideologi) mendiktekan seluruh cita rasa, kebiasaan moral, prinsip-prinsip religius dan politik, serta seluruh hubungan-hubungan sosial, khususnya dalam makna intelektual dan moral.
Ia menjelaskan bahwa hegemoni merupakan sebuah proses penguasaan kelas dominan kepada kelas bawah, dan kelas bawah juga aktif mendukung ide-ide kelas dominan. Di sini penguasaan dilakukan tidak dengan kekerasan, melainkan melalui bentuk-bentuk persetujuan masyarakat yang dikuasai.
Bentuk-bentuk persetujuan masyarakat atas nilai-nilai masyarakat dominan dilakukan dengan penguasaan basis-basis pikiran, kemampuan kritis, dan kemampuan-kemampuan afektif masyarakat melalui konsensus yang menggiring kesadaran masyarakat tentang masalah-masalah sosial ke dalam pola kerangka yang ditentukan lewat birokrasi (masyarakat dominan). Di sini terlihat adanya usaha untuk menaturalkan suatu bentuk dan makna kelompok yang berkuasa .
Dengan demikian mekanisme penguasaan masyarakat dominan dapat dijelaskan bahwa, kelas dominan melakukan penguasaan kepada kelas bawah menggunakan ideologi. Masyarakat kelas dominan merekayasa kesadaran masyarakat kelas bawah sehingga tanpa disadari, mereka rela dan mendukung kekuasaan kelas dominan. Sebagai contoh dalam situasi kenegaraan, upaya kelas dominan (pemerintah) untuk merekayasa kesadaran kelas bawah (masyarakat) adalah dengan melibatkan para intelektual dalam birokrasi pemerintah serta intervensi melalui lembaga-lembaga pendidikan dan seni.
Yang pasti bahwa Sebuah kondisi proses di mana kelas dominan tidak hanya mengatur namun juga mengarahkan masyarakat melalui pemaksaan “kepemimpinan” moral dan intelektual. Hegemoni terjadi pada suatu masyarakat di mana terdapat tingkat konsensus yang tinggi dengan ukuran stabilitas sosial yang besar di mana kelas bawah dengan aktif mendukung dan menerima nilai-nilai, ide, tujuan dan makna budaya yang mengikat dan menyatukan mereka pada struktur kekuasaan yang ada.
Maksudnya bahwa bagaimana kita bisa merasa rela saat ada orang lain membeli tanah sawah (tanah resapan), yang akan dibangun mall atau perumahan elit. Dan kita hanya menerima saja dan pasrah bahwa orang kaya itu bisa melakukan apa aja asal ada uangnya.