Translate

Jumaat, 21 Mei 2010

Klasifikasi Kata Kerja Operasional Sesuai dengan Tingkat Berpikir
Berhubungan dengan mencari keterangan (dealing with retrieval)

1. Menjelaskan (describe)
2. Memanggil kembali (recall)
3. Menyelesaikan / menyempurnakan (complete)
4. Mendaftarkan (list)
5. Mendefinisikan (define)
6. Menghitung (count)
7. Mengidentifikasi (identify)
8. Menceritakan (recite)
9. Menamakan (name)


Memproses (processing):

1. Mengsintesisikan (synthesize)
2. Mengelompokkan (group)
3. Menjelaskan (explain)
4. Mengorganisasikan (organize)
5. Meneliti /melakukan eksperimen (experiment)
6. Membuat analog (make analogies)
7. Mengurutkan (sequence)
8. Mengkategorisasikan (categorize)
9. Menganalisis (analyze)
10.Membandingkan (compare)
11. Mengklasifikasi (classify)
12. Menghubungkan (relate)
13. Membedakan (distinguish)
14. Menyatakan sebab-sebab (state causality)


Menerapkan dan Mengevaluasi

1. Menerapkan suatu prinsip (applying a principle)
2. Membuat model (model building)
3. Mengevaluasi (evaluating)
4. Merencanakan (planning)
5. Memperhitungkan / meramalkan kemungkinan (extrapolating)
6. Meramalkan (predicting)
7. Menduga / Mengemukan pendapat / mengambil kesimpulan (inferring)
8. Meramalkan kejadian alam /sesuatu (forecasting)
9. Menggeneralisasikan (generalizing)
10.Mempertimbangkan /memikirkan kemungkinan-kemungkinan(speculating)
11. Membayangkan /mengkhayalkan (Imagining)
12.Merancang (designing)
13.Menciptakan (creating)
14. Menduga /membuat dugaan/kesimpulan awal (hypothezing)



Kata Kerja Operasional
sesuai dengan Karakteristik Obyek (Matapelajaran)

1. Perilaku yang Kreatif

a. Mengubah (alter)
b. Menanyakan (ask)
c. Mengubah (change)
d. Merancang (design)
e. Menggeneralisasikan (generalize)
f. Memodifikasi (modify)
g. Menguraikan dengan kata-kata sendiri (paraphrase)
h. Meramalkan (predict)
i. Menanyakan (question)
j. Menyusun kembali (rearrange)
k. Mengkombinasikan kembali (recombine)
l. Mengkonstruk kembali (reconstruct)
m. Mengelompokkan kembali (regroup)
n. Menamakan kembali (rename)
o. Menyusun kembali (reorder)
p. Mengorganisasikan kembali (reorganize)
q. Mengungkapkan kembali (rephrase)
r. Menyatakan kembali (restate)
s. Menyusun kembali (restructure)
t. Menceritakan kembali (retell)
u. Menuliskan kembali (rewrite)
v. Menyederhanakan (simplify)
w. Mengsintesis (synthesize)
x. Mengsistematiskan (systematize)

2. Perilaku-perilaku Kompleks, Masuk Akal, dan bisa mengambil /pertimbangan /keputusan (complex, logical, judgmental behaviors)

a. Menganalisis (analyze)
b. Menghargai (appraise)
c. Menilai (assess)
d. Mengkombinasikan (combine)
e. Membandingkan (compare)
f. Menyimpulkan (conclude)
g. Mengkontraskan (contrast)
h. Mengkritik (critize)
i. Menarik kesimpulan (deduce)
j. Membela/mempertahankan (defend)
k. Menunjukkan / menandakan (designate)
l. Menentukan (determine)
m. Mencari /menjelajah (discover)
n. Mengevaluasi (evaluate)
o. Merumuskan (formulate)
p. Membangkitkan/menghasilkan /menyebabkan (generate)
q. Membujuk/menyebabkan (induce)
r. Menduga/Mengemukan pendapat/mengambil kesimpulan (infer)
s. Merencanakan (plan)
t. Menyusun (structure)
u. Menggantikan (substitute)
v. Menyarankan (suggest)

3. Perilaku-perilaku yang Membedakan-bedakan secara umum (General Discrimination behaviors)

a. Memilih (choose)
b. Mengumpulkan (collect)
c. Mendefinisikan (define)
d. Menjelaskan sesuatu (describe)
e. Mendeteksi (detect)
f. Membedakan antara 2 macam (differentiate)
g. Membedakan/Memilih-milih (discriminate)
h. Membedakan sesuatu (distinguish)
i. Mengidentifikasi (identify)
j. Mengindikasi (indicate)
k. Mengisolasi (isolate)
l. Mendaftarkan (list)
m. Memadukan (match)
n. Meniadakan (omit)
o. Mengurutkan (order)
p. Mengambil (pick)
q. Menempatkan (place)
r. Menunjuk (point)
s. Memilih (select)
t. Memisahkan (separate)

4. Perilaku-perilaku Sosial

a. Menerima (accept)
b. Mengakui/menerima sesuatu (admit)
c. Menyetujui (agree)
d. Membantu (aid)
e. Membolehkan/menyediakan/ memberikan (allow)
f. Menjawab (answer)
g. Menjawab/mengemukakan pendapat dengan alasan-alasan (argue)
h. Mengkomunikasikan (communicate)
i. Memberi pujian/ mengucapkan selamat (compliment)
j. Menyumbang (contribute)
k. Bekerjasama (cooperate)
l. Berdansa (dance)
m. Menolak /menidaksetujui (disagree)
n. Mendiskusikan (discuss)
o. Memaafkan (excuse)
p. Memaafkan (forgive)
q. Menyambut/ menyalami (greet)
r. Menolong/membantu (help)
s. Berinteraksi/melakukan interaksi (interact)
t. Mengundang (invite)
u. Menggabung (joint)
v. Menertawakan (laugh)
w. Menemukan (meet)
x. Berperanserta (participate)
y. Mengizinkan/membolehkan (permit)
z. Memuji-muji (praise)
aa. Bereaksi (react)
ab. Menjawab/menyahut (reply)
ac. Tersenyum (smile)
ad. Berbicara (talk)
ae.Berterimakasih (thank)
af. Berkunjung (visit)
ag.Bersukarela (volunteer)


5. Perilaku-perilaku berbahasa

a. Menyingkat/memendekkan (abbreviate)
b. Memberi tekanan pada sesuatu /menekankan (accent)
c. Mengabjad/menyusun menurut abjad (alphabetize)
d. Mengartikulasikan/ mengucapkan kata-kata dengan jelas (articulate)
e. Memanggil (call)
f. Menulis dengan huruf besar (capitalize)
g. Menyunting (edit)
h. Menghubungkan dengan garis penghubung (hyphenate)
i. Memasukkan (beberapa spasi) /melekukkan (indent)
j. Menguraikan / memperlihatkan garis bentuk/ menggambar denah atau peta (outline)
k. Mencetak (print)
l. Mengucapkan/melafalkan/ menyatakan (pronounce)
m. Memberi atau membubuhkan tanda baca (punctuate)
n. Membaca (read)
o. Mendeklamasikan/ membawakan/menceritakan (recite)
p. Mengatakan (say)
q. Menandakan (sign)
r. Berbicara (speak)
s. Mengeja (spell)
t. Menyatakan (state)
u. Menyimpulkan (summarize)
v. Membagi atas suku-suku kata (syllabicate)
w. Menceritakan (tell)
x. Menerjemahkan (translate)
y. Mengungkapkan dengan kata-kata (verbalize)
z. Membisikkan (whisper)
aa. Menulis (write)

6. Perilaku-perilaku Musik

a. Meniup (blow)
b. Menundukkan kepala (bow)
c. Bertepuk (clap)
d. Menggubah /menyusun (compose)
e. Menyentuh (finger)
f. Memadankan/berpadanan (harmonize)
g. Menyanyi kecil/bersenandung (hum)
h. Membisu (mute)
i. Memainkan (play)
j. Memetik (misal gitar) (pluck)
k. Mempraktikkan (practice)
l. Menyanyi (sing)
m. Memetik/mengetuk-ngetuk (strum)
n. Mengetuk (tap)
o. Bersiul (whistle)

7. Perilaku-perilaku Fisik

a. Melengkungkan (arch)
b. Memukul (bat)
c. Menekuk/melipat/ membengkokkan (bend)
d. Mengangkat/membawa (carry)
e. Menangkap (catch)
f. Mengejar/memburu (chase)
g. Memanjat (climb)
h. Menghadap (face)
i. Mengapung (float)
j. Merebut/menangkap/ mengambil (grab)
k. Merenggut/memegang/ menyambar/merebut (grasp)
l. Memegang erat-erat (grip)
m. Memukul/menabrak (hit)
n. Melompat/meloncat (hop)
o. Melompat (jump)
p. Menendang (kick)
q. Mengetuk (knock)
r. Mengangkat/mencabut (lift)
s. Berbaris (march)
t. Melempar/memasangkan/ memancangkan/menggantungkan (pitch)
u. Menarik (pull)
v. Mendorong (push)
w. Berlari (run)
x. Mengocok (shake)
y. Bermain ski (ski)
z. Meloncat (skip)
aa. Berjungkirbalik (somersault)
ab. Berdiri (stand)
ac.Melangkah (step)
ad.Melonggarkan/merentangkan (stretch)
ae. Berenang (swim)
af. Melempar (throw)
ag. Melambungkan/melontarkan (toss)
ah.Berjalan (walk)


8. Perilaku-perilaku Seni

a. Memasang (assemble)
b. Mencampur (blend)
c. Menyisir/menyikat (brush)
d. Membangun (build)
e. Mengukir (carve)
f. Mewarnai (color)
g. Mengkonstruk/ membangun(construct)
h. Memotong (cut)
i. Mengoles (dab)
j. Menerangkan(dot)
k. Menggambar (draw)
l. Mengulang-ulang/melatih (drill)
m. Melipat (fold)
n. Membentuk (form)
o. Menggetarkan/memasang (frame)
p. Memalu (hammer)
q. Menangani (handle)
r. Menggambarkan (illustrate)
s. Mencair (melt)
t. Mencampur (mix)
u. Memaku (nail)
v. Mengecat (paint)
w. Melekatkan/menempelkan/ merekatkan (paste)
x. Menepuk (pat)
y. Menggosok (polish)
z. Menuangkan (pour)
aa. Menekan (press)
ab. Menggulung (roll)
ac.Menggosok/ menyeka(rub)
ad.Menggergaji (saw)
ae. Memahat (sculpt)
af. Menyampaikan/melempar (send)
ag. Mengocok (shake)
ah. Membuat sketsa (sketch)
ai. Menghaluskan (smooth)
aj. Mengecap/menunjukkan (stamp)
ak. Melengketkan (stick)
al. Mengaduk (stir)
am.Meniru/menjiplak (trace)
an. Menghias/memangkas (trim)
ao. Merengas/memvernis (varnish)
ap. Menyeka/menghapuskan/ membersihkan (wipe)
aq. Membungkus (wrap)

9. Perilaku-perilaku Drama

a. Berakting/berperilaku (act)
b. Menjabat/mendekap/ menggengam (clasp)
c. Menyeberang/melintasi/ berselisih (cross)
d. Menunjukkan/mengatur/ menyutradarai (direct)
e. Memajangkan (display)
f. Memancarkan (emit)
g. Memasukkan (enter)
h. Mengeluarkan (exit)
i. Mengekspresikan (express)
j. Meniru (imitate)
k. Meninggalkan (leave)
l. Menggerakkan (move)
m. Berpantomim/Meniru gerak tanpa suara (pantomime)
n. Menyampaikan/menyuguhkan/ mengulurkan/melewati(pass)
o. Memainkan/melakukan (perform)
p. Meneruskan/memulai/beralih (proceed)
q. Menanggapi/menjawab/ menyahut (respond)
r. Memperlihatkan/Menunjukkan (show)
s. Mendudukkan (sit)
t. Membalik/memutar/ mengarahkan/mengubah/ membelokkan (turn)

10. Perilaku-perilaku Matematika

a. Menambah (add)
b. Membagi dua (bisect)
c. Menghitung/mengkalkulasi (calculate)
d. Mencek/meneliti (check)
e. Membatasi (circumscribe)
f. Menghitung/mengkomputasi (compute)
g. Menghitung (count)
h. Memperbanyak (cumulate)
i. Mengambil dari (derive)
j. Membagi (divide)
k. Memperkirakan (estimate)
l. Menyarikan/menyimpulkan (extract)
m. Memperhitungkan (extrapolate)
n. Membuat grafik (graph)
o. Mengelompokkan (group)
p. Memadukan/mengintegrasikan (integrate)
q. Menyisipkan/menambah (interpolate)
r. Mengukur (measure)
s. Mengalikan/memperbanyak (multiply)
t. Menomorkan (number)
u. Membuat peta (plot)
v. Membuktikan (prove)
w. Mengurangi (reduce)
x. Memecahkan (solve)
y. Mengkuadratkan(square)
z. Mengurangi (substract)
aa. Menjumlahkan (sum)
ab. Mentabulasi (tabulate)
ac.Mentally (tally)
ad.Memverifikasi (verify)


11. Perilaku-perilaku Sains

a. Menjajarkan (align)
b. Menerapkan (apply)
c. Melampirkan (attach)
d. Menyeimbangkan (balance)
e. Mengkalibrasi (calibrate)
f. Melaksanakan (conduct)
g. Menghubungkan (connect)
h. Mengganti (convert)
i. Mengurangi (decrease)
j. Mempertunjukkan/ memperlihatkan (demonstrate)
k. Membedah (dissect)
l. Memberi makan (feed)
m. Menumbuhkan (grow)
n. Menambahkan/meningkatkan (increase)
o. Memasukkan/menyelipkan (insert)
p. Menyimpan (keep)
q. Memanjangkan (lenghthen)
r. Membatasi (limit)
s. Memanipulasi (manipulate)
t. Mengoperasikan (operate)
u. Menanamkan (plant)
v. Menyiapkan (prepare)
w. Menghilangkan (remove)
x. Menempatkan (replace)
y. Melaporkan (report)
z. Mengatur ulang (reset)
aa. Mengatur (set)
ab. Menentukan/menetapkan (specify)
ac. Meluruskan (straighten)
ad. Mengukur waktu (time)
ae. Mentransfer (transfer)
af. Membebani/memberati (weight)

12. Perilaku-perilaku Penampilan Umum, Kesehatan, dan Keamanan

a. Mengancingi (button)
b. Membersihkan (clean)
c. Menjelaskan (clear)
d. Menutup (close)
e. Menyikat/menyisir(comb)
f. Mencakup (cover)
g. Mengenakan/menyarungi (dress)
h. Minum (drink)
i. Makan (eat)
j. Menghapus (eliminate)
k. Mengosongkan (empty)
l. Mengetatkan/melekatkan (fasten)
m. Mengisi/memenuhi/melayani /membuat (fill)
n. Melintas/berjalan (go)
o. Mengikat tali/menyusuri (lace)
p. Menumpuk/menimbun (stack)
q. Berhenti (stop)
r. Merasakan (taste)
s. Mengikat/membebat (tie)
t. Tidak mengancingi (unbutton)
u. Membuka/menanggalkan (uncover)
v. Menyatukan (unite)
w. Membuka(unzip)
x. Menunggu (wait)
y. Mencuci (wash)
z. Memakai (wear)
aa. Menutup (zip)

13. Perilaku-perilaku Lainnya

a. Bertujuan (aim)
b. Mencoba (attempt)
c. Memulai (begin )
d. Membawakan (bring )
e. Mendatangi (come )
f. Menyelesaikanmemenuhi (complete)
g. Mengkoreksi/membenarkan (correct)
h. Melipat (crease)
i. Memeras buah/ menghancurkan (crush)
j. Mengembangkan (develop)
k. Mendistribusikan (distribute)
l. Melakukan (do)
m. Menjatuhkan (drop)
n. Mengakhiri (end)
o. Menghapus (erase)
p. Memperluas (expand)
q. Memperpanjang (extend)
r. Merasakan (feel)
s. Menyelesaikan (finish)
t. Menyesuaikan/ memadankan(fit)
u. Memperbaiki (fix)
v. Mengibas/melambungkan/ menjentik (flip)
w. Mendapatkan (get)
x. Memberikan (give)
y. Menggiling/ memipis/ mengasah (grind)
z. Membimbing /memandu (guide)
aa. Memberikan menyampaikan (hand)
ab. Menggantung (hang)
ac. Menggenggam/ memegang(hold)
ad. Mengail/memancing/menjerat /mengait (hook)
ae. Memburu (hunt)
af. Memasukkan/melibatkan (include)
ag. Memberitahu (inform)
ah. (keneel)
ai. Meletakkan/memasang (lay)
aj. Memimpin (lead)
ak. Meminjam (lend)
al. Membiarkan/memperkirakan (let)
am.Menyalakan/menerangi (light)
an. Membuat (make)
ao. Memperbaiki/menambal (mend)
ap. Tidak mengena/ tidak paham (miss)
aq. Menawarkan (offer)
ar. Membuka (open)
as. Membungkus/mengepak (pack)
at. Membayar (pay)
au. Mengupas/menguliti (peel)
av. Menyematkan/menjepit/ menggantungkan (pin)
aw.Menempatkan/mengatur posisi (position)
ax. Menyajikan/memperkenalkan (present)
ay. Menghasilkan (produce)
az. Mengusulkan (propose)
ba. Menyediakan (provide)
bb. Meletakkan (put)
bc. Mengangkat/membangkitkan (raise )
bd. Menghubungkan (relate)
be. Memperbaiki (repair)
bf. Mengulang (repeat)
bg. Mengembalikan (return)
bh. Mengendarai (ride)
bi. Menyobek/mengoyakkan (rip)
bj. Menyelamatkan (save)
bk. Menggaruk/menggores (scratch)
bl. Mengirim (send)
bm.Melayani/memberikan (serve)
bn. Menjahit (sew)
bo. Membagi (share)
bp. Menajamkan (sharpen)
bq. Menembak (shoot)
br. Memperpendek (shorten)
bs. Menyekop/menyodok (shovel)
bt. Menutup/membuang (shut)
bu.Menandakan/mengartikan / memberitahu (signify)
bv.Meluncur (slide)
bw.Menyelipkan (kertas) (slip)
bx.Membentangkan / menyebarkan (spread)
by. Memancangkan/ mempertaruhkan (stake)
bz. Memulai (start)
ca.Menyimpan (store)
cb.Memukul/menabrak/ menyerang (strike)
cc.Memasok (supply)
cd. Mendukung (support)
ce. Mengganti (switch)
cf. Mengambil (take)
cg. Merobek/mengoyak (tear)
ch. Menyentuh (touch)
ci. Mencoba (try)
cj. Memintal/memilin/menjalin (twist)
ck. Mengetik (type)
cl. Menggunakan (use)
cm.Memilihmemberi suara (vote)
cn.Memperhatikan/menonton (watch)
co. Menenun/menganyam/ merangkai/menyelip (weave)
cp. Mengerjakan (work)
A. Pengertian Transplantasi Organ Tubuh
Transplantasi organ tubuh ialah memindahkan salah satu organ tubuh orang lain yang masih mempunyai daya hidup sehat untuk menggantikan salah satu organ tubuh orang lain yang tidak sehat atau tidak berdaya secara optimal, setelah diobati dengan prosedur medis maupun non medis.
Pencangkokan organ tubuh yang menjadi pembicaraan pada waktu ini adalah : mata, ginjal, dan jantung, karena ketiga organ tubuh tersebut sangat penting fungsinya untuk manusia, terutama sekali ginjal dan jantung. mengenai donor mata pada dasarnya dilakukan, karena ingin membagi kebahagiaan kepada orang yang belum pernah melihat keindahan alam ciptaan Allah ini, ataupun orang yang menjadi buta karena penyakit.
Untuk mengembalikan orang yang buta karena penyakit,adalah merupakan suatu kebahagiaan juga bagi donor dan bagi si penerimanya (resipien).
Orang yang menderita penyakit mata (buta sejak lahir), ginjal dan penyakit jantung, tentu mengharapkan uluran tangan dari pada donor, yaitu donor mata, ginjal dan jantung.
B. Bentuk-bentuk Transplantasi Organ Tubuh
Dilihat dari segi bentuknya, transplantasi dapat dilakukan dalam tiga keadaan :

 Transplantasi dalam keadaan hidup. Transplantasi semacam ini memerlukan penelitian dan seleksi yang cermat, baik pada pendonor maupun yang didonor.
 Transplantasi dalam keadaan hidup koma. Transplantasi semacam ini, pencangkokan memerlukan alat bantu untuk menunjang kehidupan pendonor, misalnya alat pernafasan.
 Transplantasi dalam keadaan mati. Transplantasi semacam ini dinilai sangat ideal, karena secara medis pendonornya hanya tinggal menunggu kapan anggota badannya dianggap masih hidup atau telah mati agar dapat ditransplantasikan anggota badannya kepada orang lain yang memelukan.
kalangan agamawan memandang, ketiga organ tubuh dan ketiga bentuk transplantasi tersebut tidak dilakukan adalah ketika pendonor dalam keadaan hidup koma, dengan alasan tidak boleh membuat mudhorot pada dirinya dan tidak boleh pula membuat mudhorot orang lain. Transplantasi tipe ini lebih dominan mudhorotnya, karena mengambil organ tubuh orang yang dalam keadaan hidup koma berarti akan mempercepat kematiannya.
C. Hukum Transplantasi Organ Tubuh
Manusia wajib berikhtiar mencari obat untuk mengobati penyakit demi memprtahankan hidupnya, tetapi hidup dan mati adalah rahasia Allah. Justru itu manusia dilarang mencabut nyawa orang lain dengan jalan apapun, atau tidak berusaha mempercepat matinya orang lain. Pelaksanaan transplantasi tidak dalilnya didalam Al-qur’an (larangan atau bolehnya), sehingga secara logis hukum islam membolehka. kerenanya, islam membenarkan empat landasan hukum, yaitu : Al-qu’an, hadist, qiyas dan ijma’, namun qiyas dan ijma’ yang dihasilkan seseorang (ijtihad fardi) maupun yang dihasilkan secara kolektif (ijtihad ummah).
Transplantasi organ tubuh tidak ada dalilnya di dalam al-quan dan hadist (perintah atau larangan), maka dimungkinkan menggunakan kaidah ushul untuk dijadikan acuan dalam pelaksanaannya ,
“Pada dasarnya segala sesuatu boleh sehingga ada dalilyang menunjukan keharamannya”.
“Disamping itu, pelaksanaan transplantasi bertujuan untuk kamaslahatan”.
kedua kaidah tersebut kiranya dapat dijadikan landasan antisipasi terhadap masalah-masalah yang timbul di tengah-tengah masyarakat islam sebagai konsekuensi modernisasi dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, sementara dalilnya di dalam al-qur’an ddan hadist tidak ditemukan. dengan demikian jalan satu-satunya adalah kaidah ushul. karena pelaksanaan transplantasi berdampak positif dan bernuansa tolong menolong, maka hukum islam tetap membolehkan. dalam konteks itu Allah berfiman yang artinya: dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan taqwa, dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. (Q.S. 5:3)
dilihat dari sisi lain dapat dikemukakan sebuah hadis yang nuansanya sama dengan ayat diatas yaitu:
“ Dari Abi hurairoh ra. Rasulullah Saw. bersabda sebaik-baik manusia ialah yang member manfaat kepada manusia lainnya”. (HR. Bukhari)
“ Dari syuraikh ra. rasulullah Saw. bersabda : Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, sahabat bertannya siapa hai Rasulullah, Rasulullah Saw, menjawab, yaitu seseorang yang tidak memberikan rasa aman kepada tetangganya”
(HR. Bukhari).
Subtansi kedua hadist diatas tersebut menjelaskan bahwa pelaksanaan transplantasi dimaksudkan agar organ tubuh yang di trasplantasi itu memberikan manfaat kepada orang lain, tidak memberikan komplikasi penyakit yang justru lebih para dari sebelumnya. Di samping itu, organ tubuh yang tidak memberikan gangguan kejiwaan bagi sipendonor. karenanya, menurut hukum islam ada dua syarat yang wajib dipenuhi dalam melakukan transplantasi yaitu :
• Penerima pendonor berada dalam kondisi darurat, namun sebelumnya ia telah berusaha melakukan pengobatan melalui medis maupun nonmedis.
• Pelaksanaan transplantasi tidak mengakibatkan komplikasi penyakit bagi sipendonor dan tidakmemberikan gangguan kejiwaan bagi sipendonor dan todak memberikan gangguan kejiwaan bagi sipendonor.
mengacu pada kedua syarat tersebut secara analog terakomodasi dalam ayat berikut
               •      
Artinya : “Ayat mana saja yang Kaminasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya, tidaklah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah kuasa atas segala sesuatu. (Q.S Al-baqoroh : 106).
Terminology genetik Hadist dan ayat diatas dapat dijadikan dalil terhadap pelaksanaan transplantasi organ tubuh, seperti mengganti/ membuang organ tubuh yang tidak berfungsi dengan organ tubuh yang masih berfungsi jika hal itu dibutuhkan. Sementara menurut indikasi medis berada dalam kondisi yang prima, bahkan berada pada salah satu dari kondisi diatas.
Kemudian ada lagi persoalan lain yang dipertimbangkan, yaitu mengenai donor dan resipien yang berlainan agama,dan organ tubuh yang dicangkokan itu berasal dari hewan yang diharamkan seperti babi.
Kekhawatiran orang yang mendonorkan organ tubuhnya kepada orang berlainan agama ataupun kepada orang yang berbuat maksiat, memang cukup beralasan. Sebab, bila resipien dapat tertolong dengan organ tubuh itu, berarti perbuatan maksiatnya akan berkelanjutan. menolong orang yang berlainan agama juga demikian. Orang yang selama ini buta, tetapi karena dia menerima mata, kemungkinan ia akan melihat yang maksiat. Dosa-dosa inilsh dikhawatirkan akan dipikul oleh oleh para donor itu.
Kekhawatiran itu akan terjawab oleh ayat-ayat berikut, Allah berfirman :
       •         
Artinya : Dan bahwa manusia itu tidak memperoleh selain apa yang ia usahakan. Dan bahwa usahanya itu kelak kan diperlihatkan. Kemudian akan diberi balasannya dengan balasan yang paling sempurna (An-najm : 39-41).
Allah berfirman :
     
Bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain ( An-Najm : 38)
Berdasarkan ayat-ayat tersebut di atas, bahwa seorang akan mendapat balasan sesuai dengan balasannya di dunia. Demikian juga, dosa orang lain pun tidak menjadi tanggung jawabnya.
Disamping itu hendaknya diingat pula, bahwa yang salah bukannya tubuh itu, tetapi pusat pengendali, yaitu pusat urat saraf.
Adapun mengenai organ tubuh binatang yang diharamkan yang dicangkokkan kepada manusia, ada dua pendapat, yaitu haram dan tidak haram dalam keadaan darurat.
Hukumnya halal (mubah), karena darurat dan tidak ada jalan lain lagi, yang dapat ditempuh, sejalan dengan kaidah hukum islam yaitu : “ (keadaan) darurat itu membolehkan (hal-hal) yang dilarang.
Nabi bersabda : “Dari Syuraikh ra Rasulullah Saw. bersabda : Berobatlah kamu hai hamba-hamba Allah, karena sesungguhnya Allah tidak meletakkan sesuatu penyakkit, kecuali dia juga meletakkan penyenbuhannya selain penyakit tua”. (HR. Hambal).
D. Kesimpulan
Jadi, seperti yang kita ketahui mengenai pencangkokan organ tubuh, tidak perlu mempersoalkan para pendonor dan resipiennya, karena tujuannya untuk kemanusiaandan dilakukan dalam keadaan darurat. Sama halnya dengan tranfusi darah, tidak persoalkan pendonor dan juga resipiennya.
Pemikiran Politik Imam Al-Ghazali
Oleh: Kholili Hasib
Pendahuluan
Corak pemikiran politik Imam Al-Ghazali di latar belakangi oleh pengalaman-pengalaman Al-Ghazali dengan dunia kekuasaan pada masanya dan latar belakang keilmuannya yang mendunia. Hal yang menonjol dari sosok al-Ghazali adalah kepakarnnya dalam tasawwuf dan peningkatan spiritualitas. Di zaman al-Ghazali, praktik-praktik politik banyak yang menyimpang dari jalur syari’at, seperti korupsi, penyalah gunaan kekuasaan dan krisi ulama’. Kritik tajam Imam al-Ghazali pada ulama’ pada waktu itu adalah adanya ulama’-ulama’ yang terikat oleh ambisi duniawi. Ulama yang berfungsi sebagai penasihat penguasa tidak menjalankan misinya dengan baik.[1] Kritik-kritik tajam al-Ghazali dituangkan dalam beberapa karyanya, sepertiAl-Tibr al-Masbuk fii Nashihat al-Muluk, Ihya’ Ulumuddin, Al-Iqtishad fi al-I’tiqad danFadhaih al-Batiniyah.
Kitab Al-Tibr al-Masbuk fii Nashihat al-Muluk adalah karya utama tentang politik beliau yang berisi nasihat-nasihat untuk penguasa. Karya itu adalah kumpulan tulisan beliau yang dihadiahkan kepada Sultan Muhammad Ibnu Malik dari dinasti Saljuk. Menurut Imam al-Ghazali, khalifah adalah pelindung pelaksanaan syari’at. Perjalanan hukum ilahi menjadi tanggung jawab seorang penguasa. Maka, menurut beliau keberadaan negara adalah sangat urgen. Dalam hal ini pandangannya tidak banyak berbeda dengan pemikiran Ibnu Taimiyah. ”Keteraturan agama tidak bisa dihasilkan kecuali dengan seorang Imam (pemimpin negara) yang ditaati”, kata al-Ghazali[2]. Oleh karena itu, seorang sultan beserta perangkat-perangkat politiknya harus menjalankan tugas sesuai dengan adab berpolitik. Jika seorang sultan yang menjaga adab berpolitik, menurut al-Ghazali, maka sebenenarnya politik, dalam hal ini adalah tugas mulia. Jika penguasa dan pejabat negara berbuat dzalim, hendaknya dijauhi[3].
Kegelisahan Imam al-Ghazali terhadap penyimpangan penguasa Buwyhids waktu itu, menyimpulkan dalam pikirannya, bahwa krisis penguasa sebenarnya berakar dari krisis ulama. Dalam Kitab Ihya Ulumuddin, beliau berpesan:
Sesungguhnya, kerusakan rakyat disebabkan oleh kerusakan para penguasanya, dan kerusakan penguasa disebabkan oleh kerusakan ulama, dan kerusakan ulama disebabkan oleh cinta harta dan kedudukan, dan barang siapa dikuasai oleh ambisi duniawi ia tidak akan mampu mengurus rakyat kecil, apalagi penguasanya. Allah lah tempat meminta segala hal[4].
Di samping krisis ulama’ dan penguasa, pada masa al-Ghazali sempat berkuasa pemimpin yang beraliran menyimpang dari Ahlussunnah wal Jamaah. Pada masa kekuasaan Buwaihiyah, tidak saja mereka beraliran Syi’ah, akan tetapi mereka juga bersikap oposan terhadap kekhalifahan Abbasiyah dan melakukan tindakan korupsi dan politik kotor. Mereka jelas tidak mengakui kekhalifahan Abbasiyah yang Sunni. Ironisnya, beberapa khalifah Abbasiyah seperti al-Mustakfi (333-334), al-Muti’ (334-363), al-Ta’i (363-381) menggantungkan pada hegemoni Buwaihiyah[5].
Kondisi ini mendorong al-Ghazali menulis kitab Fadaih Batiniyyah yang sarat kritik terhadap doktrin Syi’ah batiniah dan konsep Imamah Syiah. Pada bab tujuh kitabFadaih Batiniyyah Imam al-Ghazali menuangkan kritik-kritiknya tentan kebatalan konsep Imamah dan membongkar kelemahan argumen mereka yang mendasarkan konsepnya dengan nas-nash al-Qur’an[6].
Dari karya-karya beliau dalam Ihya Ulumuddin, Al-Tibr al-Masbuk fii Nashihat al-Muluk, Ihya’ Ulumuddi, dan Fadaih Batiniyyah kita bisa menangkap bahwa sosok al-Ghazali adalah ilmuan yang menerapkan integralitas ilmu, sehingga sebagai seorang yang pernah masuk ranah politik juga menerapkan integralitas antara ulama-umara, dan agama-politik. Corak pemikirannya yang anti-dikotomis ini menarik untuk direlevankan pada dunia politik saat ini yang pada satu sisi menghadapi krisis moral.
Latar Belakang Sosio-Historis Imam al-Ghazali
Imam al-Ghazali dilahirkan pada tahun 450 H/1058 M. Nama aslinya Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al Ghazali (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191). Para ulama nasab berselisih dalam penyandaran nama Imam Al Ghazali. Sebagian mengatakan, bahwa penyandaran nama beliau kepada daerah Ghazalah di Thusi, tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al Fayumi dalam Al Mishbah Al Munir. Penisbatan pendapat ini kepada salah seorang keturunan Al Ghazali. Yaitu Majdudin Muhammad bin Muhammad bin Muhyiddin Muhamad bin Abi Thahir Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin Ubaidillah anaknya Situ Al Mana bintu Abu Hamid Al Ghazali yang mengatakan, bahwa telah salah orang yang menyandarkan nama kakek kami tersebut dengan ditasydid (Al Ghazzali)[7].
Sebagian lagi mengatakan penyandaran nama beliau kepada pencaharian dan keahlian keluarganya yaitu menenun. Sehingga nisbatnya ditasydid (Al Ghazzali). Demikian pendapat Ibnul Atsir. Dan dinyatakan Imam Nawawi, “Tasydid dalam Al Ghazzali adalah yang benar.” Bahkan Ibnu Assam’ani mengingkari penyandaran nama yang pertama dan berkata, “Saya telah bertanya kepada penduduk Thusi tentang daerah Al Ghazalah, dan mereka mengingkari keberadaannya.”[8] Ada yang berpendapat Al Ghazali adalah penyandaran nama kepada Ghazalah anak perempuan Ka’ab Al Akhbar, ini pendapat Al Khafaji.
Al-Ghazali muda hidup dan berkembang di lingkungan yang sangat kondusif bagi peningkatan keintelektualnya. Ayahnya, meskipun bukan orang ‘alim akan tetapi Muhammad Ath Thusi, ayah beliau, adalah orang yang sangat mencintai ilmu dan ulama’, ayahnya sering mengunjungi majelis-majelis ilmu di negerinya. Ayahnya adalah seorang penenun wol yang meski dengan penghasilan yang biasa ia suka mendermakan sebagaian hartanya untuk kegiatan-kegiatan keilmuan[9]. Tradisi ayahnya inilah yang membentuk karakter Imam al-Ghazali dalam kelananya mencari ilmu.
Pergulatan al-Ghazali dalam dunia keilmuan dimulai pada saat usianya masih 15 tahun. Di usianya yang masih remaja ia menunjukkan tekadnya untuk memburu ilmu kepada Syekh Abu Nasr al-Ismaili – yang berada di negeri Jurjan. Usai berguru kepada Abu Nasr al-Ismaili selanjutnya ia meneruskan pengembaraan ilmunya kepada al-Juwaini di Madrasah Nisabur.
Di Madrasah inilah, bakat keilmuan yang luar biasa dimulai. Ia belajar dan berdialektika dengan pemikiran-pemikiran yang berkembang saat itu. Bahkan dengan bekal ilmu fikih, teologi, tafsir, hadis, ushul fikih, logika dan perangkat ilmu yang lain ia sudah berijtihad – dan sesekali melakukan perdebatan. Diusia yang baru menginjak tiga puluhan, al-Ghazali mampu menjawab dan mengkritik tantangan-tangan pemikiran logika dan filsafat Yunani dan mematahkan pendapat-pendapat lawan-lawannya.[10]
Sepeninggal gurunya al-Juwaini, al-Ghazali berkelana lagi bergelut dengan dunia keilmuan. Ia perkgi ke daerah Muaskar dan bertemu dengan Nizam al-Mulk. Nizam yang menjadi wazir di Daulah Abbasiyah menyamput baik dan menempatkan al-Ghazali sebagai guru besari di Madrasah Nizamiyah –Baghdad yang telah berdiri sejak 1065. [11] Jabatan sebagai Guru Besar di perguruan Nizamiyah ini menjadi awal bagi al-Ghazali untuk menjadi ilmuan Islam yang terkenal di negeri Irak. Bahkan ia disini ia mengkader seiktar 300-an siswa yang akan menjadi ulama. Bahkan, kemasyhurannya hampir mengalahkan popularitas penguasa Abbasiyah[12]. Di madrasah ini al-Ghazali banyak bergelut dengan dunia pemikiran, ia mempelajari filsafat baik filsafat Yunani maupun dari filsafat Islam. Ia menulis buku Maqashid al-Falasifah dan Tahafut Falasifah.[13]
Salah satu yang menarik pada masa ini adalah, hubungan pemerintah yang mendukung dalam jalan dakwah al-Ghazali. Pada masa Khalifah al-Mustazhir billah, pihak pemerintah sangat peduli dengan perkembangan pemikiran Islam saat itu. Pemikiran yang keluar dari garis Sunni, berusaha ditolak. Pada saat itu berkembang madzhab Syi’ah Batiniyah. Melihat pergerakan yang mereka yang tidak baik akhirnya, Imam Ghazali didukung penuh untuk mengkounter pemikiran – pemikiran Batiniyah. BukuFadaih al-Batiniyah wa Fada’il Mustazhiriyyah yang ditulis oleh Ghazali khusus untuk mengkounter madzhab Syi’ah didukung, bahkan diberi biaya untuk menuntaskan penulisan buku tersebut.[14]
Latar Belakang Perpolitikan Semasa al-Ghazali
Sebelum al-Ghazali (450-505 H/1058-1111 M) lahir peta perpolitikan terpecah dalam beberapa faksi yang berakar dari perbedaan madzhab kalam. Dalam wilayah Daulah Abbasiyah (132-656 H) berkembang aliran Mur’jiah, Syiah dan Ahlussunnah. Kelompok besar yang berkonflik adalah Syiah dan Ahlussunnah. Di samping itu kekuasaan Daulah Umaiyah di Andalusia masih terdapat sisa-sisa yang terpecah-pecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Sedangkan di Mesir, berkuasa Daulah yang dipimpin kelompok Syiah Isma’iliyah.[15]
Ketika kekuasaan Abbasiyah mengalami kemerosotan, dinasti Buwaihi (333-447) di bawah Mu’iz al-Daulah ibn Buwaihi memaksa menguasai kekuasaan Abbasiah. Dinasti Buwihi masuk perpolitikan Abbasiyah. Mereka mendirikan institusi Sultan, yang sebelumnya tidak ada dalam Abbasiyah. Institusi Sultan berhasil memperdayai Khalifah di tubuh Daulah Abbasiyah. Peran Khalifah seakan tidak berdaya, yang berkuasa penuh adalah Sultan – dari orang Buwaihi yang berpaham Syi’ah. Bahkan Khalifah Al-Fadal tidak memiliki kekuatan apapun, ia bahkan samapi dikurung oleh orang-orang Buwaihi. Khalifah pada masa itu seperti sekedar menjadi boneka orang-orang Buwaihi.[16]
Akhirnya, kekhalifahan dikuasai oleh Dinasti Buwaihi selama 110 tahun. Di samping melakukan penyimpangan-penyimpangan ajaran Islam, yang juga memprihatinkan adalah kalangan pejabat pemerintah banyak melakukan korupsi[17]. Di bawah penguasaan pejabat Buwaihi spiritual umat mengalamai kemerosotan. Di antara ulama juga banyak terjangkit penyakit-penyakit hati.
Bahkan Buwaihi bercita-cita mengubah kerajaan Abbasiah menjadi kerajaan Syi’ah Zaidiyah, bahkan salah seorang sultannya, Abu Kalijar mengungumkan bahwa Abbasiah berafiliasi ke Dinasti Fatimi Mesir yang berpaham Syi’ah Ismailiyah[18]. Namun pada tahun 1055 dinasti Seljuk yang Sunni berhasil menguasai Baghdad. Dinasti Buwaihid pun menjadi lemah. Meskipun otoritas politik Daulah Saljuk dipegang oleh sulatan yang dilimpahkan kepada wazir bukan Khalifah, namun yang menjadi dinasti ini berjaya adalah perhatian sulatan dalam peningkatan keilmuan warganegara dan memperbaiki pemikiran umat Islam. Hal itu dibuktikan dengan mendirikan madrasah Nizamiyah yang salah satunya menyebarkan paham Sunni.[19] Bahkan menurut al-Subki, Nizam al-Muluk mendirikan 9 madrasah selain madrasah Nizamiyah.
Dinasti Seljuk pun menguasai hampir seluruh negeri, meski di bebarapa wilayah Buwaihi memiliki kekuasaan. Di bawah Tughrul Beg, kekacauan masyarakat dan pejabat negera diakhiri dan mendirikan perubahan penting terutama dalam peningkatan pengetahuan masyarakat. Yang utama adalah mereka berjasa mendirikan perguruan Nizamiyah.[20] Di perguruan Nizamiyah inilah karir keilmuan al-Ghazali memuncak, setelah dingkat Khalifah sebagai Guru Besar di perguruan Nizamiyah.
Kepedulian Sultan Saljuk terhadap ilmu ternyata membawa angin positif bagi masa depan perpolitikan Nizam al-Muluk. Beberapa kerajaan bergabung diantaranya, Gaznawi India, kerajaan di Sudan. Dan pada saat yang sama dengan sendirinya pengaruh Syiah merosot hingga ke negeri mesir. Hal inilah yang menyebabkan Dinasti Fatimi Mesir merosot drastis menuju keruntuhan. Fatimiyah diliputi krisis multidimensional, mulai ekonomi, politik, dan sosial. Masa ini merupakan era kejayaan Sunni dan kemerosotan Syiah. Di samping dinasti Fatimi, di selatan kerajaan Ismili Yaman yang berkuasa mulai tahun 438-569 H di bawah Bani Sulaihi pun juga menyusut.[21]
Seluruh komunitas Sunni di hampir seluruh negeri menolak kehadiran syiah batiniyah, yang disamping menyimpang, mereka juga menunjukkan gerakan militan radikal. Atas dasar inilah Nizam Muluk melarang aliran batiniyah berkembang di wilayah negerinya. Di sini imam Ghazali memainkan peranannya sebagai ilmuan Islam. Ia menulis bukuFadaih al-Batiniyah yang mengkritik pemikiran syiah batiniyah.
Gerakan politik Syiah di Irak bukan berarti mati, ketika kerajaan-kerajaan Syi’ah mulai menyusut, militan syiah bergerak di bawah tanah. Pada tahun 1092 mereka bahkan tiba-tiba mulai tunjukkan kekuatan yang dipimpin oleh Hasan Ibn al-Sabbah. Bahkan secara mengjutkan, syiah batiniyah membantai Nizam Muluk.
Pasca wafatnya Nizam al-Muluk inilah kebesaran Abbasiah mulai turun pada tahun 485 H. Hal ini membawa dampak buruk bagi kehidupan perpolitikan dan keilmuan di negeri Irak. Kejatuhan khalifah berdampak pada kembalinya budaya korupsi di kalangan pejabat, munculnya ulama’ suu’ (jahat) dan pertikaian dengan kelompok sempalan.[22] Situasi seperti ini yang menjadi tantangan besar bagi Imam al-Ghazali. Ia mempunyai dua tugas besar yang harus diemban, pertama, memperbaiki pemahaman ilmu masyarakat dan kedua ia memiliki kewajiban politik untuk mengingatkan pejabat, sebagaimana yang sudah ia lakukan pada pejabat-pejabat dinasti Saljuk.
Pengalaman-pengalaman dalam situasi sosial politik seperti tersebut di atas ditambah dengan corak keilmuan Imam al-Ghazali inilah yang membentuk karakter pemikiran al-Ghazali tentang politik Islam. Al-Ghazali telah menunjukkan sebagai ulama yang memiliki pemikiran cemerlang yang disegani dan diteriman oleh para pejabat negara serta para ulama lainnya. Penulis menilai corak pemikiran politiknya sangat benuansa etika dan adab politik. Pemikiran yang cukup menarik adalah dalam teorinya bagaimana cara menjalankan sebuah sistem kenegaraan yang mempertimbangkan moralitas untuk kemaslahatan bersama dengan pemimpin yang mempunyai integritas tinggi ditopang dengan kekuatan moral yang memenuhi beberapa kriteria yang al-Ghazali idealkan[23]. Pemikiran seperti ini sangat relevan untuk dijadikan referensi bagi para pejabat saat ini.
Etika Kuasa Menurut al-Ghazali
a. Amar Ma’ruf Nahi Munkar dalam Perpolitikan
Pikiran-pikiran utama al-Ghazali tentang politik dituangkan dalam buku al-Tibr al-Masbuk fii Nasihati al-Muluk. Buku ini adalah kumpulan nasihat yang ditujukan kepada Sultan Muhammad ibn Malik Syak dari dinasti Saljuk. Kumpulan nasehat ini ditujukan kepada Sultan Muhammad Ibnu Malik Syah dari dinasti Seljuk.
Sebagai ilmuan yang memiliki pemikiran dan jiwa yang tajam, al-Ghazali berusaha menempatkan diri sebagai agen perubahan dalam perbaikan pemerintahan. Yang menarik, beliau tidak terjun langsung di dalam praktisi pemerintahan, namun ia berposisi sebagai ulama yang berkewajiban amar ma’ruf nahi munkar kepada umara, bukan sebagai oposisi akan tetapi sebagai mitra menyebarkan ma’ruf dan menjegah yang munkar. Karena al-Ghazali melihat, dinasti saljuk – di luar sisi-sisi negatifnya seperti penyalahgunaan wewenang dan ketidaksiplinan moral – sultan masih sangat memperhatikan perkembangan pendidikan dan keilmuan warga negara dan pada taraf perbenturan teologis, sultan bertempat pada posisi yang tepat.[24] Oleh karena itu, al-Ghazali melihat pemerintahan masih dapat dipertahankan dan diperbaiki. Itulah sebabnya ia menulis surat-surat yang berisi nasihat.
Dengan mengkaji pemikirannya dalam al-Tibr al-Masbuk fii Nasihati al-Muluk al-Ghazali hendak melakukan reformasi moral terhadap pemerintahan. Reformasi moral ini bagi al-Ghazali menjadi kewajiban bagi ’alim dan cendekiawan ahli syari’ah. Ia mengatakan:
Seorang faqih adalah orang yang menguasai aturan-aturan politik Islam dan mengetahui cara sebagai mediator diantara manusia (pejabat negara) jika berselisih dengan hukum yang tidak benar. Maka seorang fakih hendaknya menjadi guru dan membimbing sultan.[25]
Kandungan utama kumpulan surat-surat nasihat itu dapat dikelompokkan ke dalam dua poin besar. Pembahasan pertama, al-Ghazali memprioritaskan pada kekuatan akidah tauhid, yang kedua berisi naihat-nasihat moral, keadilan keutamaan ilmu, dan ulama. Dua pembahasan utama tersebut lahir dari pemikiran al-Ghazali kemungkinan karena desakan situasi sosial, keagamaan dan politis saat itu. Atas dasar itu, al-Ghazali merasa memiliki kewajiban untuk memperbaiki ilmu masyarakat dan pejabat negara.
Kegelisahan yang membuat al-Ghazali memeras pikiran adalah fenomena Syiah Batiniyah[26] yang pelan-pelan merebak. Meskipun Sultan dan Khalifah tidak terpengaruh oleh ideologi Batiniyah – akan tetapi al-Ghazali merasa nasihat-nasihat tentang tauhid sangat perlu bagi pejabat negara dalam situasi seperti itu.
Dalam awal naskah nasihatnya, al-Ghazali memulai dengan kaidah-kadiah Iman. Dalam bab ini, disamping menginginkan sultan tetap loyal pada keimanan yang benar, al-Ghazali ingin mengingatkan sultan bahwa kekuasaan tertinggi di dunia ini adalah al-Khalik (Allah SWT). Dalam hal ini, tampaknya juga secara implisit al-Ghazali memberi peringatan bahwa kekuasaan sultan hanyalah titipan Allah SWT. Allah memberi amanah kepada sultan untuk menstabilkan negeri sesuai dengan syariat-Nya. Dalam sub-sub babnya, al-Ghazali menulis tentang Keesan-Nya, tiada satu pun yang menyamai-Nya, sifat-sifat Allah, mengingatkan tentang akhirat, dan tugas Nabi Muhammad.[27]
Pembahasan tersebut adalah pembahasan utama dalam rangka menjaga basicfaithpara pejabat negara agar stabil loyal dalam pandangan hidup Islam. Disamping itu, untuk mempertahankan basicfaith warga negara saat itu al-Ghazali melakukannya dengan mengkritik dan menjawab syubhat-syubhat Syi’ah. Hal itu diwujudkan dengan menulis kitab al-Fadaih al-Batiniyyah. Al-Ghazali merupakan pemikir aktif. Di satu sisi ia memberi penguatan iman baik kepada pejabat negara maupun kepada masyarakat dengan mengajar ilmu di madrasah Nizamiyah juga melakukan kritik terdapat pemikiran yang menyimpang. Penguatan dan kritik (istbat wa nafyu ) ini merupakan dua kewajiban yang memang mestinya berjalan sinergis.
Nasihat tauhid ini penting karena, demi melindungi pejabat-pejabat negara agar tidak terpengaruh denga pemikiran Syi’ah Batiniyah sekaligus juga membentengi rakyat dari pemikiran menyimpang tersebut. Sebab, Batiniyah terkenal sebagai kelompok sempalan yang radikal. Kalau kita mencoba merujuk kembali kepada sejarah aliran-aliran pemikiran Islam klasik, maka akan kita temukan bahwa gerakan Bathiniyah merupakan kelompok atau aliran yang terisolir dan sangat dimusuhi oleh seluruh aliran pemikiran lainnya, baik dari kalangan Ahli Sunah Asy’ariah, Maturidiyah, ataupun dari kalangan Mu’tazilah. Dan bahkan dari kalangan Syi’ah sendiri ikut mengkafirkan mereka, seperti Syi’ah Imamiyah (Itsna ’asyariah), atau golongan Syi’ah Zaidiyah yang merupakan aliran Syi’ah yang memiliki kedekatan dengan Ahli Sunnah.[28]
Oleh karena itu al-Ghazali menentang setiap klaim-klaim golongan Batiniyah baik klaim teologis maupun politis. Klaim teologis Batiniyah sangat jelas bertolak belakang dengan keyakinan mayoritas umat Islam. Mereka meyakini bahwa semua teks-teks al-Qur’an tanpa terkecuali mengandung makna lahir dan batin.[29] Batiniyah sebenarnya adalah kelompok yang bertopengkan Islam. berasumsi bahwa teks-teks agama mengandung makna lahir dan batin.[30] Klaim politis – yang sebenarnya juga berkait dengan telogi Syi’ah yang mengatakan bahwa keimamahan itu diwariskan yang harus dipegang oleh para Imam keturuunan Ali r.a. Jika imam telah meninggal dunia maka, yang menggantikan adalah wakil imam.
Selain itu, pemikiran Batiniyah lain yang ditentang mayoritas ulama adalah bahwa mereka percaya al-Qur’an memiliki arti tersembunyi yang berbeda dari arti zahirnya. Menurut mereka, yang mengetahui kebenaran dan mengkoreksi pemahaman al-Qur’an baik yang eksplisit maupun implisit. Memahami al-Qur’an seperti itu diperoleh melalui ta’lim (pengajaran oleh yang memiliki otoritas yaitu Imam, wakil imam atau orang yang diberikan oleh Imam).[31]
b. Politik Beradab dan Kewajiban Khalifah
Nasihat-nasihat al-Ghazali sangat berpengaruh terhadap kestabilan politik sultan Seljuk. Terutama sekali meredam gerakan Syi’ah Batiniyah. Nizam al-Muluk menyatakan bahwa Batiniyah adalah kelompok sesat. Menurut sultan tujuan utama gerakan mereka sebenarnya adalah untuk menyingkirna Islam Sunni.[32]
Selanjutnya di pembahasan berikutnya, al-Ghazali memulai dengan adab dan etika seorang pemimpin. Yang pertama-tama harus dipahami, menurut al-Ghazali adalah mengetahui hakikat kepemimpinan (al-wilayah) dan bahaya-bahayanya – jika tidak amanah.
Al-Wilayah adalah kenikmatan yang diberikan oleh Allah SWT jika digunakan untuk kemaslahatan umat manusia. Maka apabila seseorang diberi kenikmatan tersebut dalam hidupnya, akan tetapi tidak mengetahui hakikat nikmat tersebut dan justru sebalikanya ia berbuat dzalim dengan kukuasaannya serta mengikuti hawa nafsunya, maka pemimpin yang demikian, menurut al-Ghazali telah menempatkan posisinya sebagai musuh Allah.[33]
Jika seseorang telah menempatkan posisinya sebagai musuh Allah SWT sebagaiman tersebut di atas, maka inilah titik bahayanya seorang pemimpin. Sebagaimana peringatan Rasulullah SAW bahwa seorang pemimpin harus memperhatikan tiga perkara, pertama, apabila rakyat meminta/membutuhkan belas kasih, maka sang khalifah wajib berbagi kasih kepada mereka, kedua, apabila menghukumi mereka maka berbuatlah adil, ketiga, lakasanakan apa yang telah kamu katakan (tidak menyalahi janji)[34]. Imam al-Ghazali mengingatkan sultan bahwa jika tiga perkara tersebut ditinggalkan maka bahaya negara akan mengancam.
Untuk menghindari hal tersbut, al-Ghazali mengingatkan seorang sultan atau khalifah tidak boleh meninggalkan Ulama. Namun, seorang sultan juga harus cermat, tidak sembarang ulama yang harus diminta nasihat. Ulama Suu’ (ulama jahat) justru menjerumuskan negara pada kerusakan. Cirinya, mereka selalu memuji-muji raja secara tidak wajar, tujuan dakwahnya selalu mengarah pada duniawi. Sebalikanya seorang ulama sejati (ulama al-akhirah) ia sama sekali tidak mengharapkan balasan uang dari tangan seorang raja, ia memberi nasihat murni ikhlas karena meminginginkan perbaikan dalam diri raja, negara dan masyarakat.[35]
Imam al-Ghazali tampak tidak ingin memisahkan negara dan urusan agama. Dari usaha-usaha nasihatnya kepada khalifah terlihat bahwa memang, negara yang ideal adalah negara yang orang-orangnya memiliki basicfaith Islam yang kuat, sehingga negara diurus dengan parameter syari’ah. Usaha al-Ghazali menuai hasil yang bagus, kadaan negara stabil, syari’ah diamalkan, dan pemikiran-pemikiran menyimpang tidak dihirau oleh warga negara, dan banyak kerajaan-kerajaan kecil yang bergabung, mendukung Nizam Muluk.
Setelah seorang pemimpin itu memiliki basicfaith yang kokoh, mengetahui hakikat kekuasaan, maka hal yang juga penting adalah, menghindari sifat takabbur. Karena, menurut al-Ghazali, biasanya setiap pejabat pasti dicoba dengan rasa takabbur. Takabbur seorang pemimping adalah penyakit hati yang sangat berbahaya, karena akan mendorong pada perbuatan saling bermusuhan yang tentu menarik pada pertumpahan darah[36].
Untuk itulah, seorang raja harus rela berdekatan dengan rakyat kecil, melepas baju kesombongan. Begitu pentingnya memenuhi kebutuhan rakyat kecil, al-Ghazali bahkan berfatwa bahwa mendatangi rakyat untuk memberi sesuap kebutuhannya adalah lebih baik daripada menyibukkan diri beribadah sunnah. Mereka rakyat kecil adalah lemah, maka harus deperlakukan denga lembut dan penuh kasih. Ia juga mengingatkan sultan agar jangan sekali-kali menerima suap dari rakyatnya dengan meninggalkan syariat[37].
Ada dua penting yang ditekankan oleh al-Ghazali dalam nasihat-nasihatnya. Yaitu penguatan akidah dan adab. Dua hal ini tampaknya bagi al-Ghazali merupakan faktor utama menjadi hamba Allah SWT sejati. Dengan istilah lain basicfaith yang ingin dikokohkan kepada para pejabat negara adalah al-tasawwur al-Islamiy (pandangan hidup Islam). Karena al-tasawwur al-Islamiy adalah asas bagi setiap perilaku manusia, termasuk aktifitas-aktifitas ilmiyah dan teknologi. Setiap aktifitas manusia akhirnya dapat dilacak pada pandangan hidupnya, dan dengan begitu aktifitasnya itu dapat direduksi kedalam pandangan hidup.[38] Maka seorang khalifah yang memiliki pandangan hidup Islam yang kokoh, maka semua kebijakannya tak terlepas dari pola fikir Islam.
Sedangkan adab menjadi penting karena manusia yang beradab (Insan adabi) adalah orang yang menyadari sepenuhnya tanggung jawab dirinya kepada Tuhan Yang Maha Benar, yang memahami dan menunaikan keadilah terhadap dirinya sendiri dan orang lain dalam masyarakatnya; yang terus berupaya meningkatkan setiap aspek dalam dirinya menuju kesempurnaan manusia.[39] Pemikiran tersebut lahir dikarenakan tantangan besar yang dihadapai al-Ghazali pada masa itu. Tantangan perang pemikiran dan degradasi moral. Maka perbaikannya pun dengan menawarkan konsep adab dan menjawab tantangan pemikiran Syi’ah Batiniyah.
Kesimpulannya, al-Ghazali dalam teori kenegaraannya mengutamakan perpaduan moral dengan kekuasaan. Negara dan pemerintahan dipimpin oleh manusia biasa, akan tetapi harus memiliki moral yang baik. Demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara universal, kebahagian dunia dan akhirat. Maka ia memandang, agama dan negara tidak bisa dipisahkan, agama adalah pondasi sedangkan pemerintahan adalah penjaga.
Urgensi Negara Menurut al-Ghazali
Sebagaimana para pemikir muslim sunni lainnya, al-Ghazali berpendapat bahwa wujud sebuah pemerintahan yang syar’i harus ada. Jika tidak ada pemerintahan yang memegang otoritas publik, maka hal tersebut menyebabkan kekacauan, permusuhan, pertumpahan darah, kemiskinan, dan tidak stabilnya ekonomi masyarakat[40]. Apalagi sebagaimana disebut di atas bahwa tidak ada dikotomi antara agama dan negara. Maka keberadaan pemerintahan sangat signifikan dalam mewujudkan masyarakat dan perdamaian.
Ketertiban merupakan keniscayaan bagi keberlangsungan kehidupan beragama. Dan kestabilan kehidupan beragama sangat penting untuk mencapai kesejahteraan dunia akhirat. Negara adalah suatu prasyarat penting bagi berlangsungnya hukum-hukum Allah SWT untuk ditegakkan di muka bumi. Tanpa pemerintahan, kehidupan masyarakat tidak dapat diwujudkan dengan baik.
Bagi al-Ghazali, politik juga tidak hanya bertujuan untuk menghindarkan pergolakan sosial melalui pemberlakukan hukum dan ketertiban dan manajemen publik oleh agen negara, tetapi juga bertujuan untuk menghindarkan pergolakan sosial melalui bimbingan dan kepemimpiann yang diberikan oleh penguasa dengan pelayanan menarik[41].
Oleh karena itu, al-wilayah (kepemimpinan) adalah profesi yang ditipkan oleh Allah SWT yang dibutuhkan oleh warga negara. Karean begitu pentingnya profesi ini, al-Ghazali berpendapat bahwa, seorang pemimpin harus memiliki kompetensi yang cakap[42].
Mengenai pemimpin ideal, pendapat al-Ghazali hampir sama dengan al-Mawardi tentang kriteria pemimpin yang ideal. Yakni seorang yang mampu berbuat adil di antara masyarakat (tidak nepotis), melindungi rakyat dari kerusakan dan kriminalitas, dan tidak dzalim (tirani). Selain itu, seorang pemimpin harus memiliki integritas, penguasaan dalam bidang ilmu Negara dan agama, agar dalam dalam menentukan kebijakan ia bisa berijtihad dengan benar, sehat panca inderanya (mata, pendengaran, lisan tidak terganggu yang dapat menghalangi ia menjalankan tugas), keempat, anggota badannya normal tidak cacat yang dapat mengganggu tugas, pemberani memiliki keahlian siasat perang, dan kemampuan intelektual untuk mengatur kemaslahatan rakyat.[43] Selain itu, bagi al-Ghazali tujuan pendirian kekhalifahan adalah untuk dalam rangka memenuhi kebahagian akhirat manusia. Dalam hal ini al-Ghazali cenderung perpadangan jauh ke depan[44]. Namun, jika seorang sultan itu dzalim dan sudah membahayakan agama, maka harus dilihat lagi keabsahan kekuasaannya. Baik itu diberhentikan atau harus berhenti sendiri.[45]
Ia menerangkan bahwa, selama sultan itu masih menerpakan hukum Islam, hanya saja etika politiknya kurang baik maka sultan harus diingatkan – dan belum perlu untuk diberhentikan, apalagi jika pemberhentian itu akan melahirkan kekacauan. Sedapat mungkin rakyat memperkecil hubungan dengannya dalam arti memboikot sampai ia kembali baik.
Negara, berkewajiban menyediakan bantuan kepada rakyat untuk memasksimalkan kehidupan di bumi dengan penuh tanggung jawab. Kondisi jiwa dan fisik harus dilindungi dengan bijaksana, dengan bantuan ulama menjaga kestabilan sosial spiritual berdasarkan keimanan. Kehidupan dunia adalah sementara, maka manusia perlu dipersiapkan secara matang untuk menuju kehidupan yang hakiki. Karena kebahagiaan sejati itu hanya didapat ketika di akhirat (surga) kelak.[46]
Hal tersebut menunjukkan secara jelas bahwa urusan agama dan dunia tidak dapat dipisahkan. Korelasi ini oleh al-Ghazali dikuatkan dengan sebuah hadis Nabi SAW bahwa dunia adalah bagaikan ladang yang manusia dapat memanen hasilnya di akhirat kelak. Sedangkan untuk menjaga kestabilan dunia diperlukan sebuah sistem pemerintahan yang berdasarkan syari’ah. Negara adala penjaga bagi terlaksananya hukum-hukum agama Islam[47]. Berarti, pemikiran politik yang ditawarkan bukanlah pemikiran pragmatis, karena al-Ghazali konsisten bahwa pendirian negara tidak sekedar demi terlaksananya kepentingan individu atau kelompok, akan tetapi ia menginginkan perbaikan semua umat manusia di dunia. Ia tidak hanya mengarahkan pendidikan fisik dan moralitas akan tetapi lebih jauh al-Ghazali semuanya itu menurut beliau adalah dianggap sangat penting agar dapat selamat dan bahagia di akhirat.
Maka, mengangkat pemimpin (imamah) adalah wajib. Beliau memberi argumentasi:
لايحصل نظام الدين إلا بإمام مطاع، صاحب الشرع هو الإمام المطاع، ونظام الدين لا يحصل إلابنظام الدنيا ونظام الدنيا لايحصل إلا بإمام مطاع، نظام الدين لايحصل إلا بإمام مطاع[48]
Oleh karena itu al-Ghazali berpendapat, peraturan syara’ tidak berjalan sempurna dan efektif kecuali didukung oleh adanya pemerintahan yang Islami, menurut beliaunidzamu al-dunya syartun li nidzami al-diin[49]. Argument-argumen al-Ghazali tentang pentingnya imamah dan Negara sekaligus menjawab terhadap ide-ide sekularisme dan konsep imamah Syi’ah[50].
Pemisahan iman dan dunia – yang berarti sekularisme – menurut al-Ghazali adalah dikarenakan oleh kesalahan memahami konsep iman dan konsep imamah. Sesuai dengan ciri khas pemikiriannya, al-Ghazali menjelaskan bahwa kehidupan dunia dengan segala kesenangannya adalah sementara dan berlebihan hidup mewah dapat merusak jiwa dan moral. Hidup adalah cukup untuk memenuhi kebutahan dasar manusia. Orang yang memahami hal tersebut disebut orang beradab, dan orang beradab adalah orang yang sebenar-benarny mu’min. Pendirian negara, bukanlah sekedar memenuhi kebutuhan manusia di duni saja tapi juga untuk kepentingan di akhirat. [51]
Untuk itulah, imam al-Ghazali menekankan pentingnya penguasaan ilmu-ilmu yang benar. Hal itu tidak bisa dicapai dengan efektif kecuali manusia dalam kondisi yang memadai terpenuhi kebutuhan dasarnya, dapat perlindungan dan kondisi yang damai.
Maka pendirian sisitem dunia yang terorganisir akan lebih jelas jika dilengkapi dengan sistem hukum dan aturan yang benar sehingga bisa memberi bimbingan tepat bagai warga negara, yang berarti ikut menstabilkan spiritual rakyat. Menurut al-Ghazali menjadi muslim yang baik bukanlah orang yang tidak menyisakan sama sekali harta duniawi. Baginya, seorang zahid bukanlah orang yang tidak mengharapkan kekayaan sama sekali, akan tetapi zahid adalah orang yang tidak terobsesi dan hatinya tidak terlalu dikuasai oleh kekayaan, meskipun ia ditakdirkan menjadi orang terkaya di dunia.
Semuanya harus terlaksana dengan mengamalkan syari’ah. Pelaksanaa syariat sangat membutuhkan penopang yaitu legitimasi negara. Dan agama meliputi aspek sosial, ekonomi, politik dan budaya termasuk aspek moral dan spiritual kehidupan. Sehingga dengan demikian agama dipandan sangat penting dan tidak bisa dikesampingkan untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan kekal di akhirat.[52]
Dengan demikian emikian, pendirian negara dan mengangkat imam menurut al-Ghazali tujuan utamanya adalah menghasilkan kebahagiaan hakiki – yakni kebahagiaan di akhirat. Hal ini sebenarnya sejalan dengan misi kenabian. Negara dan politik merupakan bagian penting terutama dalam tema sentralnya, baik di dunia maupun di akhirat.
Merupakan sebuah keharusan bahwa agama adalah poros, dan penguasa adalah penjaga, dan sesuatu yang tidak ada penjaganya pasti akan hancur[53]. Syari’ah yang tidak mendapat legitimasi dari negara untuk diterapkan, maka syariah tersebut kehilangan keefektifan dan kesempurnaan. Pernyataan al-Ghazali tersebut jelas menunjukkan bahwa sekularisme tidak mendapat tempat di dalam Islam. Karena sekulerisme menceraikan antara agama dan politik. Yang berarti mereduksi syariah untuk diterapkan dalam masyarakat Islam.
Penutup
Pemikiran-pemikiran Imam al-Ghazali memiliki corak bahwa konsepsi etika politik al-Ghazali adalah suatu teori sistem pemerintahan yang berisikan masyarakat dan aparatur negara yang mempunyai moral yang baik dengan ditopang oleh agama sebagai dasar negara. Hal yang menarik dan patut menjadi referensi politisi muslim adalah, al-Ghazali mementingka ilmu dan adab yang benar dalam berpolitik. Dengan ilmu dan adab yang benar, akan melahirkan pemerintahan yang baik, termasuk unsur-unsur yang sangat penting seperti keadilan, transparansi dan integritas.
Usaha-usaha perbaikan perpolitikan al-Ghazali dilakukan dengan konsep amar ma’ruf nahi munkar. Tahapan usaha yang dilakukan adalah, peringatan, kemudian nasehat. Al-Ghazali sangat komitmen terhadap faktor perbaikan dan pembaharuan. Baginya, seorang ulama atau ilmuan tidak semestinya melakukan reformasi konstruktif di dalam arena politik. Karena ini merupakan bentuk dari amar ma’ruf nahi munkar.
Dalam memenuhi tugas tersebut, perbaikan harus dimulai dari diri lebih dulu, terutama memperbaiki basicfaith – karena hal itu mempengaruhi model perilaku manusia. Politik, moral, pemikiran dan tindakan harus benar-benar memiliki keterkaitan antara satu dan yang lainnya dalam sistem yang integratif.
Ilmu dan adab yang ditekankan al-Ghazali dalam perbaikan politik adalah model perbaikan integratif. Seorang pemimpin atau pejabat negara tidak saja menguasai teori-teori politik akan tetapi mereka juga harus faqih. Yang ditekankan adalah tidak saja seorang politikus itu paham ilmu-ilmu fardlu kifayah akan tetapi ia juga harus menguasai ilm-ilmu fardlu ’ain.[54]
Poin penting lainnya yang bisa disimpulkan dari pemikiran politik al-Ghazali adalah seorang pemimpin negara dan pejabatnya mesti membina hubungan baik dengan ulama. Karena dari mereka akan diperolah kebaikan-kebaikan. Ulama tidak boleh ditinggalkan, sebagaimana agama tidak boleh ditinggalkan oleh negara. Ulama, juga harus memberikan kontribusinya dengan nasihat dan peringatan terutama nasihat-nasihat akidah dan moral.

Daftar Pustaka
Abu Hamid Muhammad bin Muhamma al-Thusi al-Ghazali, Al-Iqtishad fii al-‘Itiqad,(Beirut: Dar al-Qutaibah, 2003)
_______Ihya’ Ulumuddin,(Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyah)
_______ _Fadaih al-Batiniyah, (Beirut: Maktabah al-‘Ashriyah, 2001)
_______ Al-Tibr al-Masbuk fii Nasihat al-Muluk
_______ Al-Mustasfa fi Ilmi al-Ushul (Intisyarat Dar al-Dzakhoir, 1368H)
Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab (Jakarta: Logos, 1997)
Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman (Bandung: Pustaka, 1997)
Ahmad Syarbasi, Al-Ghazali wa al-Tasawwuf al-Islami (Kairo: Dar al-Hilal)
Al-Syahrastani, Al-Milal wa al-Nihal (Beirut: Dar al-Ma’rifah)
Al-Qashandi, Ma’tsir Inafah fi Ma’alim al-Khalifah (Kuwait: Wizarat al-Irsyad, 1964)
Ahmad bin Sulaiman, Haqaaiq al-Ma’rifah fi ‘Ilmi al-Kalam (San’a: Muassasah Zeid bin Ali at-Tsaqaafi, 2003)
Alparslan Acikgence, The Framework for A History of Islamic Philosophy, Al-Shajarah,Journal of The International Institute of Islamic Though and Civilization (ISTAC) 1996,VOL.1 No 1&2)
Busthami M. Said, Pembaharu dan Pembaharuan dalam Islam (Ponorogo: Trimurti, 1992)
Dhiauddin Rais,Teori Politik Islam,Terjemahan al-Nadzariat al-Siyasah al-Islamiyah(Jakarta: Gema Insani Press, 2001)
Khoiruddin al-Zarikli, al-A’laam Qamus Tarjuman (Beirut: Dar al-Ilmi li al-Malayin, 1992)
Kamaluddin Nurdin Murjani, “Mauqif az-Zaidiyah wa Ahli Sunnah min al-Aqidah al-Isma’iliyah wa Falsafatuha (Bierut: Darul Kutub al-Ilmiyah, Bairut-Lebanon, 2009)
Ibnu Khaldun,Kitab al’Ibar wa Daiwa al-Mubtada wa al-Khabar (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah)
Ibnu Jauzi, Talbis al-Iblis (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabiy, 1985)
Mohammad Baharun, Epistemologi Antagonisme Syi’ah dari Imamah sampai Mut’ah(Malang: Pustaka Bayan, 2008)
Saeful Anwar, Filsafat Ilmu Al-Ghazali Dimensi Ontologi dan Aksiologi (Bandung: Pustaka Setia,2007)
Seyyed Hossein Nasr dan Iliver Leaman(ed),Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2003)
Sibawaihi,Eskatologi al-Ghazali dan Fazlur Rahman (Yogyakarta: Islamika, 2004)
Sulaiman Dunya, al-Haqiqah fi al-Nazr Ind al-Ghazali (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1971)
Tajuddin Abi Nasr ‘Abd al-Wahhab ibn Ali ibn Abd al-Kafi as-Subki,Tabaqat asy-Syafi’iyyah al-Kubra (Kairo: Isa al-Babi al-Halabi, 1968)
________________________________________
[1] Busthami M. Said, Pembaharu dan Pembaharuan dalam Islam (Ponorogo: Trimurti, 1992), p.55
[2] Abu Hamid al-Ghazali, Al-Iqtishad fii al-‘Itiqad, (Beirut: Dar al-Qutaibah, 2003, cet. 1 ) p. 69
[3] Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin juz II ,(Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyah ) p.151
[4]Ibid, p.381
[5]Lihat Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos, 1997), p. 123 dan Mohammad Baharun, Epistemologi Antagonisme Syi’ah dari Imamah sampai Mut’ah (Malang: Pustaka Bayan, 2008 cet ke-3), p.76
[6]Lebih lengkap tentang kritikannya baca Abu Hamid al-Ghazali, Fadaih al-Batiniyah,(Beirut: Maktabah al-‘Ashriyah, 2001)
[7] Abdul Wahab bin Ali al-Subki, Thabaqat al-Syafi’iyyah al-Kubra (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah) jilid 6, p.191 lihat juga Khoiruddin al-Zarikli, al-A’laam Qamus Tarjuman (Beirut: Dar al-Ilmi li al-Malayin, 1992), juz VII, p. 247-248
[8]Abu Hamid al-Ghazali, Fadaih al-Batiniyah, (Beirut: Maktabah al-‘Ashriyah, 2001) p. 7
[9] Lihat Tajuddin Abi Nasr ‘Abd al-Wahhab ibn Ali ibn Abd al-Kafi as-Subki,Tabaqat asy-Syafi’iyyah al-Kubra (Kairo: Isa al-Babi al-Halabi, 1968), p. 194
[10]Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman (Bandung: Pustaka, 1997), 148
[11]Sulaiman Dunya, al-Haqiqah fi al-Nazr Ind al-Ghazali (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1971),
[12]Sibawaihi,Eskatologi al-Ghazali dan Fazlur Rahman (Yogyakarta: Islamika, 2004), p.37
[13]Sulaiman Dunya, Maqasid al-Falasifah, p. 24
[14]Ahmad Syarbasi, Al-Ghazali wa al-Tasawwuf al-Islami (Kairo: Dar al-Hilal), p. 33
[15]Al-Syahrastani, Al-Milal wa al-Nihal (Beirut: Dar al-Ma’rifah), jilid I, p. 23-33
[16] Al-Qashandi, Ma’tsir Inafah fi Ma’alim al-Khalifah (Kuwait: Wizarat al-Irsyad, 1964), jilid I, p. 217
[17]Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam, ISLAMIA, Vol. V no. 2, thn 2009
[18] Saeful Anwar, Filsafat Ilmu Al-Ghazali Dimensi Ontologi dan Aksiologi (Bandung: Pustaka Setia,2007), p.37
[19] Ibid
[20] Ibid.
[21] Ibnu Khaldun,Kitab al’Ibar wa Daiwa al-Mubtada wa al-Khabar (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah), jld III, p.482-571
[22] Saeful Anwar,Filsafat Ilmu al-Ghazali Dimensi Ontologi dan Aksiologi (Bandung: Pustaka Setia, 2007), p.39
[23] Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam, ISLAMIA, Vol. V no. 2, thn 2009, p. 56-57
[24] Sultan Saljuk menolak kelompok-kelompok sempalan radikal Batiniyah yang kadang kerap melakukan tidakan pembunuhan kepada musuh-musuhnya. Kebijakan Sultan yang menolak kelompok Batiniyah bukan semata-mata murni karena perbedaan pandangan politik akan tetapi lebih banyak dikarenakan kelompok Batiniyah melakukan banyak penyimpangan ideologi, melakukan tindak kekerasan dan berusahan menggulingkan Sultan dengan cara-cara politik adu domba.
[25] Ihya Ulumu al-Din, jilid. I, p.30
[26] Syi’ah Batiniyah adalah aliran dari Syi’ah Ismailiyah – yaitu sekte Syiah yang meyakini keimamahan hanya sampai Ismail bin Ja’far al-Shadiq sebagai imam ke-7. Perbedaan dengan Syi’ah Itsna ‘Asyariyah adalah bahwa, Syiah Itsna Asyariyah tidak mengakui Ismail bin Ja’fa al-Shadiq sebagai imam. Manurut Istna Asyariyah iman yang ke-7 adalah Musa bin Ja’far al-Kadzim. Ismailiyah hanya meyakini tuhuh iman –bukan dua belas imam sebagaimana diyakini Syiah Itsna Asyariyah – dan imam yang ke-7 atau terakhir adalah Ismail bin Ja’far al-Shadiq. Mereka dinamakan Batiniyah karena mereka adalah golongan yang lahiriyahnya mengaku diri Islam, namun hakikat batinnya kufur. Lihat Muhammad Abu Zahrah, Tarikhu al-Madzahib al-Islamiyah, p. 265 dan Ahmad bin Sulaiman, Haqaaiq al-Ma’rifah fi ‘Ilmi al-Kalam (San’a: Muassasah Zeid bin Ali at-Tsaqaafi), p. 500
[27]Abu Hamid al-Ghazali,Al-Tibr al-Masbuk fii Nasihat al-Muluk, p.1-4
[28] Lihat Kamaluddin Nurdin Murjani, “Mauqif az-Zaidiyah wa Ahli Sunnah min al-Aqidah al-Isma’iliyah wa Falsafatuha (Bierut: Darul Kutub al-Ilmiyah, Bairut-Lebanon, 2009).
[29] Ibid
[30] Ibnu Jauzi, Talbis al-Iblis (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabiy, 1985), p. 124
[31] Abu Hamid al-Ghazali, Fada’ih al-Batiniyah, p.11.
[32] Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam, ISLAMIA Vol. V no. 2 th 2009, p.57
[33] Ibid, p. 4
[34] Abu Hamid al-Ghazali,Al-Tibr al-Masbuk fii Nasihat al-Muluk, p. 4
[35] Ibid, p. 6
[36] Ibid, p.8
[37] Ibid, p.9
[38] Lihat Alparslan Acikgence, The Framework for A History of Islamic Philosophy, Al-Shajarah, Journal of The International Institute of Islamic Though and Civilization (ISTAC) 1996,VOL.1 No 1&2), p.6
[39] Wan Mohd Nor Wan Daud,Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M.Naquib al-Attas (Bandung: Mizan,2003), p.174
[40] Abu Hamid al-Ghazali, Al-Iqtishad fi al-I’tiqad (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1983), p.148
[41] Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, jilid I, p. 22
[42] Ibid.
[43] Ibid
[44] Ibid, p. 21
[45] Dhiauddin Rais,Teori Politik Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), p. 279
[46] Fadaih al-Batiniyah, p. 205 dan lihat juga Abu Hamid al-Ghazali, Kimiyat al-Sa’adah, p.52
[47] Al-Iqtishad fi al-I’tiqad, p. 149 lihat juga Fadaih al-Batiniyah, p. 155
[48] Ibid, p. 169
[49] Ibid, p. 170
[50] Uraian lebih lengkap dapat dibaca di Al-Iqtishad fi al-I’tiqad bab fi al-Imamah
[51] Ibid.
[52] Al-Iqtishad fi al-I’tiqad, p. 149
[53] Dhiauddin Rais,Teori Politik Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), p.102
[54] Dalam Ihya Ulumuddin al-Ghazali membagi ilmu menjadi ilmu fardlu ain yaitu ilmu-ilmu syariat dan ilmu fardlu kifayah seperti ilmu matematika, kedokteran, biologi, sosiologi dalan lain sebagainya. Lihat Ihya Ulumuddin, Juz I p. 16
Menilik Metode Qiyas Syafi’i
Oleh Abd Moqsith Ghazali
Sekian banyak metodologi telah disusun untuk menafsirkan al-Qur`an dimaksud. Dalam lanskap itu, Imam Syafi’i dipandang sebagai orang pertama yang memancangkan fondasi metodologi pembacan teks melalui masterpiecenya, al-Risalah. Akan tetapi, dalam perkembangan kontemporer, kitab-kitab ushul fikih lama itu diduga keras sedang mengidap sejumlah persoalan yang kronis. Kelemahan epistemologis ini, saya kira, merupakan utang intelektual yang mesti ditebus oleh ushul fikih (qiyas) model Syafi’i ini.
Al-Qur`an terus dikunjungi oleh umat manusia untuk dibaca dan ditafsirkan. Menafsirkan al-Qur`an berarti upaya untuk menjelaskan dan mengungkapkan maksud dan kandungan al-Qur`an. Proses pembacaan dan penafsiran yang lama berlangsung telah menghasilkan beratus-ratus kitab tafsir sejak masa lampau hingga sekarang. Banyak kitab tafsir dengan corak dan ragamnya yang berbeda itu, di samping sebagai bukti prihal ketidakberhinggaan kerja penafsiran, juga di dalam kerangka untuk membunyikan aksara al-Qur`an dalam tataran masyarakat yang terus berubah.
Sekian banyak metodologi telah disusun untuk menafsirkan al-Qur`an dimaksud. Dalam lanskap itu, Imam Syafi’i dipandang sebagai orang pertama yang memancangkan fondasi metodologi pembacan teks melalui masterpiecenya, al-Risalah. Bangunan ushul fikih Syafi’i kemudian mencapai fase kematangannya dari para pengikut Syafi’i, di antaranya adalah al-Subki dengan bukunya Jam’u al-Jawami’. Di situ al-Subki berbicara sangat detail tentang teori lafzd. Dari kalangan madzhab Maliki, al-Syathibi menyusun sebuah buku monumental yang bertitel al-Muwafaqat fiy ushul al-Syari’ah. Dalam buku tersebut, al-Syathibi banyak mengelaborasi konsep maqashid al-syari’ah. Kitab-kitab ushul fikih itu berdiri demikian kokoh dan mapan sehingga mayoritas para ahli ushul belakangan tidak bisa keluar dari jeratan metodologi al-salaf al-shalih. Ushul fikih purba begitu dimanja dan disakralkan oleh para pembacanya.
Akan tetapi, dalam perkembangan kontemporer, kitab-kitab ushul fikih lama itu diduga keras sedang mengidap sejumlah persoalan yang kronis. Pertama, ushul fikih Syafi’i beraroma Arab-sentris. Arabisme merupakan ideologi yang lekat dalam tembok ushul fikih lama. Kedua, kaidah yang banyak dilansir oleh kitab ushul fikih Syafi’iyah ”al-’ibrah bi ‘umum al-lafdz la bi khushush al-sabab” terkesan terlalu memberhalakan teks dan mengabaikan konteks. Pembahasan tentang lafdz(kata) dengan porsi yang demikian luas merupakan indikasi kuat betapa ushul fikih lama sangat menekankan teks dan nyaris menafikan konteks. Pendeknya, ushul fikih konvensional lebih menitikberatkan pada lafdz (kata) dan bukan padamaqashid (ideal moral).
Ketiga, menyangkut konsep qiyas (analogi) yang terutama diusung oleh Syafi’ i.. Per definisi, qiyas dikatakan sebagai menganalogikan sesuatu yang belum jelas ketentuan hukumnya (furu’) dengan yang sudah jelas hukumnya dalam al-Qur`an dan al-Sunnah (ashal) karena ada kesamaan illat. Model qiyas seperti ini bermasalah setidaknya karena dua hal berikut. [a] bahwa tidak ada dua peristiwa yang persis sama, sehingga hukum keduanya bisa diparalelkan. Persamaan illatyang menjadi alasan pengoperasian qiyas sesungguhnya merupakan tindakan simplifikasi. menyangkut hal-hal yang bersifat sosial, qiyas Syafi’i tampak mengabaikan konteks yang melandasi kehadiran hukum ashal. Betapa, pengetahuan terhadap konteks hukum ashal tidak pernah menjadi rukun dari qiyas.
Kelemahan epistemologis ini, saya kira, merupakan utang intelektual yang mesti ditebus oleh ushul fikih (qiyas) model Syafi’i ini. Apa yang dilakukan oleh pemikir-pemikir muslim kontemporer dengan kerangka dan metodologi barunya, seperti Nashr Hamid Abu Zaid, Arkoun, Adonis, Hasan Turabi, Masdar F. Mas’udi, dan lain-lain kiranya untuk melengkapi
kekurangan-kekurangan tadi. Mengubah ushul fikih lama tentu saja teramat absah dari sudut akademis-intelektual, karena ia seutuhnya merupakan kreasi para ulama. Ushul fikih memiliki status epistemologis yang relatif, tidak mutlak. (Abdul Moqsith Ghazali)
PETA PEMIKIRAN POLITIK SUNNI KLASIK
Dalam pemikiran politik Sunni, pemerintahan adalah suatu keniscayaaan demi memungkinkan manusia bekerjasama guna menggapai meraih tujuan hidupnya yang sejati, hidup berdasarkan syariah dan kebahagiaan di akhirat.
Perdebatan teoritis dalam pemikiran politik Sunni adalah apakah keniscayaan pemerintahan merupakan suatu kewajiban keagamaan atau suatu kebutuhan yang bersifat rasional? Menurut Mu’tazilah (salahsatu mazhab rasional Islam) dan Khawarij (kelompok politik yang keluar dari barisan khalifah Ali bin Abi Thalib karena kecewa atas arbitrase Ali dengan Muawiyah) adalah kewajiban keagamaan. Sedangkan bagi Abu al-Hasan Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Mawardi/Alboacen (972-1058 M), Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali/Algazel (1058-1111 M), Taqi al-Din Abu al-Abbas Ahmad ibn Abd al-Halim ibn Abd al-Salam ibn Taymiyah al-Harrani (1263-1328 M) adalah kebutuhan yang bersifat rasional.
Isu sentralnya sendiri adalah masalah: imam, pemimpin. Lambton, berdasarkan risetnya atas pemikiran Abu Yusuf, al-Baqillani, al-Baghdadi, al-Juwaini, al-Ghazali,dan Fahr al-Din al-Razi, berkesimpulan bahwa, seluruh otoritas dan kekuasaan dipusatkan pada person imam sebagai pemimpin kaum beriman, dan tak ada otoritas atau kekuatan dianggap sah kecuali dilaksanakan sebagai hasil delegasi darinya, baik langsung maupun tidak.
Pada periode Abbasiyah, otoritas imamah berasal dari legitimasi ilahi. Hal ini mementahkan teori al-Baqillani, al-Baghdadi (ummah adalah sumber legitimasi kekuasaan imam), dan al-Juwaini (ahl hal wa al-aqd sebagai sumber legitimiasi). Bahkan, Ibn Taymiyah menyebut penguasa sebagai “bayangan tuhan di bumi” dan kedaulatannya adalah refleksi kemahakuasaan Tuhan.
Melemahnya kekuasaan Abbasiyah, membuat pemikir politik seperti al-Mawardi, menegaskan keniscayaan kepemimpinan imam, memulihkan legitimasi kekhalifahan Abbasiyah. Disintegrasi Abbasiyah, yang memunculkan sejumlah penguasa lokal, seperti Dinasti Saljuk Turki dan Buwaihiyah yang membutuhkan legitimasi. Al-Ghazali berperan di sini. Menurutnya, kekuasaan temporal dan spiritual dapat dipisahkan dan tidak mesti bernaung dalam satu kekuasaan tunggal. Jika dua sisi, penguasa temporal dan spiritual, tidak mungkin terhimpun pada satu orang, maka perlu bisa dipisahkan. Al-Ghazali pun tidak terlalu percaya pada rakyat kebanyakan, sedangkan Ibn Taymiyah mengedepankan musyawarah.
Setelah kekhalifahan betul-betul runtuh, terjadi modifikasi teori politiki yang memungkinkan transfer kepemimpinan umat dari khalifah ke penguasa temporal (sultan) selama sang sultan mengakui universalitas syariah. Bahkan, umat tidak boleh berontak kepada kekuasaan meski memiliki akhlak yang buruk. Tentang masalah ini, Mu’tazilah dan Khawarij (termasuk Syiah Zaidiyah) berpandangan: seorang yang bukan terbaik dalam memenuhi persyaratan kepemimpinan (mafdhul ) diperbolehkan menjadi pemimpin jika situasi tidak memungkinkan orang yang terbaik (afdhal) menempati jabatan tersebut.
Dari “pandangan burung’ tentang pemikiran politik Sunni ini, tampak pergeseran dari ujung ekstem yang satu ke ujung ekstrem lainnya, yakni dari konsep khilafah sebagai pemimpin ideal yang menempatkan pemimpin sebagai “pilihan Allah” dengan segenap keunggulannya, hingga konsep imamah yang memberi jabatan kepemimpinan umat kepada sekedar seorang yang berhasil merebut kekuasaan (dengan kekuataan militer, misalnya), yang akhirnya melahirkan kekecewaan terhadap realitas politik sepanjang sejarah dimana pemimpin yang jauh dari ideal—dikembalikan kepada model ideal filosofis a la al-Farabi dan dibatasi hanya pada empat khalifah pertama (Khulafa al-Rasyidin), kembali ditawarkan sebagai alternatif.
Disarikan dari:
Yamani, Antara al-Farabi dan Khomeini: Filsafat Politik Islam, Bandung: Mizan, 2002
Ditulis dalam FALSAFAH
PETA PEMIKIRAN POLITIK SUNNI KLASIK
Dalam pemikiran politik Sunni, pemerintahan adalah suatu keniscayaaan demi memungkinkan manusia bekerjasama guna menggapai meraih tujuan hidupnya yang sejati, hidup berdasarkan syariah dan kebahagiaan di akhirat.
Perdebatan teoritis dalam pemikiran politik Sunni adalah apakah keniscayaan pemerintahan merupakan suatu kewajiban keagamaan atau suatu kebutuhan yang bersifat rasional? Menurut Mu’tazilah (salahsatu mazhab rasional Islam) dan Khawarij (kelompok politik yang keluar dari barisan khalifah Ali bin Abi Thalib karena kecewa atas arbitrase Ali dengan Muawiyah) adalah kewajiban keagamaan. Sedangkan bagi Abu al-Hasan Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Mawardi/Alboacen (972-1058 M), Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali/Algazel (1058-1111 M), Taqi al-Din Abu al-Abbas Ahmad ibn Abd al-Halim ibn Abd al-Salam ibn Taymiyah al-Harrani (1263-1328 M) adalah kebutuhan yang bersifat rasional.
Isu sentralnya sendiri adalah masalah: imam, pemimpin. Lambton, berdasarkan risetnya atas pemikiran Abu Yusuf, al-Baqillani, al-Baghdadi, al-Juwaini, al-Ghazali,dan Fahr al-Din al-Razi, berkesimpulan bahwa, seluruh otoritas dan kekuasaan dipusatkan pada person imam sebagai pemimpin kaum beriman, dan tak ada otoritas atau kekuatan dianggap sah kecuali dilaksanakan sebagai hasil delegasi darinya, baik langsung maupun tidak.
Pada periode Abbasiyah, otoritas imamah berasal dari legitimasi ilahi. Hal ini mementahkan teori al-Baqillani, al-Baghdadi (ummah adalah sumber legitimasi kekuasaan imam), dan al-Juwaini (ahl hal wa al-aqd sebagai sumber legitimiasi). Bahkan, Ibn Taymiyah menyebut penguasa sebagai “bayangan tuhan di bumi” dan kedaulatannya adalah refleksi kemahakuasaan Tuhan.
Melemahnya kekuasaan Abbasiyah, membuat pemikir politik seperti al-Mawardi, menegaskan keniscayaan kepemimpinan imam, memulihkan legitimasi kekhalifahan Abbasiyah. Disintegrasi Abbasiyah, yang memunculkan sejumlah penguasa lokal, seperti Dinasti Saljuk Turki dan Buwaihiyah yang membutuhkan legitimasi. Al-Ghazali berperan di sini. Menurutnya, kekuasaan temporal dan spiritual dapat dipisahkan dan tidak mesti bernaung dalam satu kekuasaan tunggal. Jika dua sisi, penguasa temporal dan spiritual, tidak mungkin terhimpun pada satu orang, maka perlu bisa dipisahkan. Al-Ghazali pun tidak terlalu percaya pada rakyat kebanyakan, sedangkan Ibn Taymiyah mengedepankan musyawarah.
Setelah kekhalifahan betul-betul runtuh, terjadi modifikasi teori politiki yang memungkinkan transfer kepemimpinan umat dari khalifah ke penguasa temporal (sultan) selama sang sultan mengakui universalitas syariah. Bahkan, umat tidak boleh berontak kepada kekuasaan meski memiliki akhlak yang buruk. Tentang masalah ini, Mu’tazilah dan Khawarij (termasuk Syiah Zaidiyah) berpandangan: seorang yang bukan terbaik dalam memenuhi persyaratan kepemimpinan (mafdhul ) diperbolehkan menjadi pemimpin jika situasi tidak memungkinkan orang yang terbaik (afdhal) menempati jabatan tersebut.
Dari “pandangan burung’ tentang pemikiran politik Sunni ini, tampak pergeseran dari ujung ekstem yang satu ke ujung ekstrem lainnya, yakni dari konsep khilafah sebagai pemimpin ideal yang menempatkan pemimpin sebagai “pilihan Allah” dengan segenap keunggulannya, hingga konsep imamah yang memberi jabatan kepemimpinan umat kepada sekedar seorang yang berhasil merebut kekuasaan (dengan kekuataan militer, misalnya), yang akhirnya melahirkan kekecewaan terhadap realitas politik sepanjang sejarah dimana pemimpin yang jauh dari ideal—dikembalikan kepada model ideal filosofis a la al-Farabi dan dibatasi hanya pada empat khalifah pertama (Khulafa al-Rasyidin), kembali ditawarkan sebagai alternatif.
Disarikan dari:
Yamani, Antara al-Farabi dan Khomeini: Filsafat Politik Islam, Bandung: Mizan, 2002
Ditulis dalam FALSAFAH
SUNAN DRAJAT


Sunan Drajat (lahir di Ampel tahun 1470 dan wafat di Sedayu Gresik pertengahaan abad ke-16). Nama aslinya Raden Kosim atau Syarifuddin. Hal yang paling menonjol dalam dakwah Sunan Drajat adalah perhatiannya yang sangat serius pada masalah masalah sosial sehingga ia terkenal berjiwa sosial. Ia juga terkenal sebagai pencipta tembang Jawa, yaitu tembang Pangkur, yang sampai sekarang masih banyak digemari masyarakat.
Pemikiran kesufian Sunan Drajat yang menonjol adalah upaya menyadarkan kepada manusia dari ambisi jabatan dan kedudukan, yang keduanya ini akan mendorong manusia untuk menikmati dunia itu dengan pola hidup berpoya poya dan pemuasan nafsu perut. Padahal menurutnya perut adalah sumber segala syahwat dan penyakit jasmani dan rohani. Jika perut di isi makanan dan minuman enak maka timbullah nafsu serakah, dan kemudian timbullah nafsu nafsu lain, seperti syahwat kelamin, pemabokan, perjudian dan lain lain.
Oleh karena pola hidup mewah itu harus dicapai dengan jalan menguasai pangkat dan kedudukan, maka orang berlomba mengejar pangkat dan kedudukan, meski dengan jalan kezhaliman, kecurangan dalam politik dan makar. Untuk itulah Sunan Drajat selalu menyuruh santrinya agar memelihara perutnya, makan minum sekedar yang dibutuhkan bagi kesehatan jasmani dan rohani tanpa berlebihan.
Makan dan minum tidak sembarangan tetapi yang suci dan halal agar zat zat darah yang terbentuk dari makanan dan minuman ini menjadi bersih bagi perbuatan anggota badan serta menumbuhkan kejernihan berpikir. Diingatkan, bahwa perut yang kekenyangan menjadi sumber segala macam penyakit, membikin berat badan dan bau busuk ketika mati. Perut kekenyangan juga menyebabkan otak menjadi tumpul dan mati, malas berpikir serta segan mejalankan ibadah. Sunan Drajat mengingatkan bahwa orang Islam layak makan hanya satu porsi sekedar menghilangkan lapar. Konsep pemikiran seperti ini kelihatannya mirip dengan pemikiran tasawuf al-Ghozali.
Kepada pembesar negara, Sunan Drajat seperti halnya al-Ghozali menasehati mereka untuk selalu memperhatikan kesejahteraan rakyat. Untuk itu ia selalu mengajarkan sikap kasih sayang dan al-Birru: bersedia memberi pertolongan kepada orang lain, rela berkorban, berlaku adil, dan takut berbuat serakah dalam mengejar duniawi.
Orang Terkaya Di Negara Indonesia 2010


10 Orang Terkaya Di Negara Indonesia !!!
Ini dia, daftar 10 orang terkaya di indonesia thn 2009. Ternyata Bakrie merosot jauh dari posisi pertama. seru ya, posisi orang terkaya ganti-ganti terus.



1.
nama : Sukanto Tanoto (Tan Kang Hoo)
menjabat : CEO perusahaan Raja Garuda Mas (RGM),
kekayaan : $2.8 Billion
Umur : 58 thn
Saat ini perusahaannya RGM International masih bergerak dalam bidang produksi kertas, minyak kelapa dan sumber daya energi



2.
nama : Putera Sampoerna
perusahaan : Putera Sampoerna - Sampoerna Tbk
kekayaan : $ 2.1 Billion
umur : 58 thn
Produksi rokok kretek ketiga terbesar sebelum kemudian sahamnya
dikuasai oleh Philip Morris.

3.
nama : Eka Tjipta Widjaja
perusahaan : Sinar Mas
kekayaan : $2.0 billion
umur : 80 thn
Sekarang perusahaan sinar mas di pegang dia (Eka) dan keluarganya


4.
nama : Rachman Halim
perusahaan : Gudang garam
kekayaan : $1.8 Billion
umur : 59 thn
Saat ini pabrik rokok merk Gudang Garam merupakan yang terbesar di Indonesia.

5.
nama : R. Budi Hartono
perusahaan : Djarum
kekayaan : $1.4 Billion
umur : 64 thn
Mempunyai pabrik rokok kretek merek Djarum, yang juga diekspor ke luar negeri.

6.
nama : Aburizal Bakrie
perusahaan : Bakrie Group
kekayaan : $1.2 Billion
umur : 59 thn
Saat ini bergerak di bidang infrastruktur.

7.
nama : Eddy William Katuari
perusahaan : Wings Group
kekayaan : $1.0 Billion
umur : 60 thn
Usaha sabun cuci detergen merek Wing. Juga saat ini bergerak dibidang
penjualan kebutuhan rumah tangga. Juga dalam bidang real estate dan kimia.

8.
nama : Trihatma Haliman
perusahaan : Agung Podomoro
kekayaan : $900 Million
umur : 54 thn
Bergerak di bidang real estate developer antara lain komplek perumahan dan apartemen Agung Podomoro.Juga bergerak dibidang retail.

9.
nama : Arifin Panigoro
perusahaan : Medco Energy International
kekayaan : $815 Million
umur : 61 thn
Memiliki perusahaan minyak Medco Energy International, dan juga bergerak di bidang pengeboran minyak di Sumatera Selatan.

10.
nama : Liem Sioe Liong
perusahan : Bogasari, Indomobil, Indofood, etc
kekayaan : $800 Million
umur : 91 thn
Membangun Salim Group dalam usaha di bidang makanan, pelayaran dan semen.
Memiliki Bank Central Asia dan Bank First Pacific