Translate

Jumaat, 10 Disember 2010

5 Cara Membangun Percakapan Seru di
Kencan Pertama
Ada beberapa faktor yang menentukan suksesnya kencan
pertama. Salah satunya adalah kemampuan membangun
percakapan yang menyenangkan.
Untuk membuat sebuah percakapan yang menyenangkan, hal
yang harus diperhatikan bukanlah jawaban yang Anda berikan,
tetapi bagaimana cara Anda menjawabnya. Berikut ini cara-cara
agar si dia merasa nyaman menngobrol dengan Anda pada
kencan pertama, seperti yang dikutip dari sheknows.
Bahasa tubuh
Tak jarang kencan pertama menjadi kegiatan yang menegangkan.
Hal ini biasanya dikarenakan Anda ingin terlihat sempurna baik
secara fisik maupun mental.
Anda mungkin sudah berdandan semaksimal mungkin untuk
kencan ini, namun bagaimana dengan mental Anda? Terlalu
tegang karena tidak ingin terlihat buruk di depannya kadang
menjadi bumerang bagi diri sendiri.
Agar tidak terlihat tegang meskipun sebenarnya Anda cukup grogi
menghadapi si dia, maka jagalah kontak mata saat mengobrol.
Namun jangan terlalu berlebihan karena akan membuat suasana
kaku.
Ketika suara terasa gemetar, maka berhentilah berbicara sejenak
dan tarik napas dalam-dalam dan kembali berbicara. Perhatikan
juga sikap grogi yang Anda miliki, seperti mengetuk jari ke meja
atau menggoyangkan kaki.
Kenali lebih jauh teman kencan Anda
Kadang, karena terlalu ingin menarik perhatian si dia, maka Anda
berbicara tanpa henti mengenai diri sendiri. Padahal, Anda juga
perlu mengevaluasi dirinya, apakah ia seperti yang Anda harapkan
atau tidak.
Stop menceritakan tentang diri sendiri terus-menerus dan
tanyakanlah seputar kehidupannya. Ada banyak hal yang bisa
Anda tanyakan, mulai dari pekerjaan, keluarga hingga hal-hal yang
ia sukai.
Ringkas dan jelas
Pada kencan pertama, jangan terlalu banyak memberikan
informasi tentang diri Anda. Jika ia menanyakan tentang diri Anda,
jawablah dengan ringkas dan jelas.
Biarkan ia menilai Anda dan biarkan ia mencari tahu seperti apakah
Anda. Hal ini baik untuk membuatnya penasaran sehingga
mencari tahu sendiri lebih jauh, karena biasanya pria tertarik pada
wanita yang membuatnya penasaran.
Hindari keluhan dan topik sensitif
Banjir dan kemacetan kota merupakan masalah yang dialami
setiap warga di kota besar, khususnya Jakarta. Sedikit membahas
masalah ini memang tidak dilarang, namun jika Anda mengeluh
berlebihan tentang kemacetan, banjir dan bos yang menyebalkan,
maka jangan harapkan kencan kedua. Pria tidak ingin mengencani
wanita yang ingin dikasihani atau terlalu banyak mengeluh.
Ada beberapa topik yang sensitif, misalnya saja topik yang
berhubungan dengan agama. Hindari pembahasan seputar topik
tersebut karena tidak sesuai dengan situasi dan tempat. Topik lain
yang kurang menarik di bahas adalah masalah politik.
Buat kencan singkat
Meskipun Anda mempunyai topik yang seru untuk dibahas
dengan si dia, meskipun Anda merasakan ketertarikan yang luar
biasa dengan si dia, hindari kencan pertama berlangsung terlalu
lama. Hal ini merupakan taktik agar mendapatkan kencan kedua,
ketiga dan seterusnya. Buat si dia menginginkan Anda lebih dan
lebih lagi. Jadi pastikan Anda menyimpan pembahasan yang seru
untuk dibahas pada kencan selanjutnya.

Isnin, 29 November 2010

leadership

KEPEMIMPINAN ( LEADERSHIP )
K. Kepemimpinan
Menurut stoner kepemimpinan adalah sebagai proses
mengarahkan dan mempengaruhi kegiatan yang berhubungan
dengan tugas. Ada tiga implikasi penting, pertama, kepemimpinan
melibatkan orang lain ( bawahan atau pengikut ), kwalitas seorang
pemimpin ditentukan oleh bawahan dalam menerima pengarahan
dari pemimpin. Kedua, kepemimpinan merupakan pembagian
yang tidak seimbang diantara para pemimpin dan anggota
kelompok. Pemimpin mempunyai wewenang untuk
mengarahkan beberapa dari kegiatan anggota kelompok dan
sebaliknya anggota kelompok atau bawahan secara tidak langsung
mengarahkan kegiatan pimpinan. Ketiga kepemimpinan disamping
dapat mempengaruhi bawahan juga mempunyai pengaruh.
Dengan kata lain seorang pimpinan tidak dapat mengatakan
kepada bawahan apa yang harus dikerjakan tapi juga
mempengaruhi bagaimana bawahan melaksanakan perintah
pemimpin.
L. Pendekatan Studi Kepemimpinan
Untuk mempelajari kepemimpinan menggunakan tiga pendekatan.
Pendekatan pertama bahwa kepemimpinan itu tumbuh dari bakat,
kedua kepemimpinan tumbuh dari perilaku. Kedua pendekatan
diatas berasumsi bahwa seseorang yang memiliki bakat yang
cocok atau memperlihatkan perilaku yang sesuai akan muncul
sebagai pemimpin dalam situasi kelompok ( organisasi ) apapun
yang ia masuki. Pendekatan yang ketiga bersandar pada
pandangan situasi ( situasionar perspective ) pandangan ini
berasumsi bahwa kondisi yang menentukan efektifitas pemimpin.
Efektifitas pemimpin bervareasi menurut situasi tugas yang harus
diselesaikan, keterampilan dan pengharapan bawahan lingkungan
organisasi dan pengalaman masa lalu pemimpin dan bawahan.
Dalam situasi yang berbeda prestasi seorang pemimpin berbeda
pula, mungkin lebih baik atau lebih buruk. Pendekatan ini
memunculkan pendekatan kontingensi yang menentukan
efektifitas situasi gaya pemimpin.
M. Pendekatan Sifat-Sifat Kepemimpinan
Kelompok pertama yang bermaksud menjelaskan tentang aspek
kepemimpinan yaitu para teoritis kesifatan. Bahwa pemimpin
mempunyai sifat dan cirri tertentu.
Untuk mengenali karakteristik atau ciri pribadi dari para pemimpin,
para psikolog mengadakan penelitian. Mereka berpandangan
bahwa pemimpin ini dilahirkan bukan dibuat. Secara alamiah
bahwa orang yang mempunyai sifat kepemimpinan adalah orang
yang lebih agresif. Lebih tegas, dan lebih pandai berbicara dengan
orang lain serta lebih mampu dan cepat mengambil keputusan
yang akurat. Pandangan ini mempunyai implikasi bahwa jika ciri
kepemimpinan dapat dikenali. Maka organisasi akan jauh lebih
canggih dalam memilih pemimpin. Hanya orang-orang yang
memiliki ciri-ciri kepemimpinan sajalah yang akan menjadi
manajer, pejabat dan kedudukan lainnya yang tinggi.
Ukuran dalam pencarian ciri kepemimpinan menggunakan dua
pendekatan 1) membandingkan bawahan dengan pemimpin 2)
membandingkan ciri pemimpin yang efektif dengan yang tidak
efektif.
N. Perilaku Pemimpin
1. Fungsi-fungsi Kepemimpinan
Perilaku pemimpin mempunyai dua aspek yaitu fungsi
kepemimpinan (style leadership). Aspek yang pertama yaitu
fungsi-fungsi kepemimpinan menekankan pada fungsi-fungsi
yang dilakukan pemimpin dalam kelompoknya. Agar berjalan
efektif, seseorang harus melakukan dua fungsi utama yaitu : 1)
fungsi yang berkaitan dengan pemecahan masalah dan 2) fungsi-
fungsi pemeliharaan (pemecahan masalah sosial). Pada fungsi
yang pertama meliputi pemberian saran pemesahan dan
menawarkan informasi dan pendapat. Sedangkan pada fungsi
pemeliharaan kelompok meliputi menyetujui atau memuji orang
lain dalam kelompok atau membantu kelompok beroperasi lebih
lancar.
2. Gaya-gaya Kepemimpinan
Pada pendekatan yang kedua memusatkan perhatian pada gaya
kepemimpinan. Gaya kepemimpinan meliputi 1) Gaya dengan
orientasi tugas dan 1) Gaya berorientasi dengan karyawan. Pada
gaya yang pertama pemimpin mengarahkan dan mengawasi
melalui tugas-tugas yang diberikan kepada bawahannya secara
tertutup, pada gaya ini lebih memperhatikan pelaksanaan
pekerjaan daripada pengembangan dan pertumbuhan karyawan.
Sedangkan gaya yang berorientasi pada karyawan lebih
memperhatikan motivasi daripada mengawasi, disini karyawan
diajak untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan melalui
tugas-tugas yang diberikan.
O. Teori X Dan Teori Y Dari McGregor
Douglas McGrogor mengemukakan strategi kepemimpinan efektif
dengan menggunakan konsep manajemen partisipasi. Konsep ini
terkenal karena menggunakan asumsi-asumsi sifat dasar manusia.
Pemimpin yang menyukai teori X cenderung menyukai bergaya
kepemimpinan otoriter dan sebaiknya seorang pemimpin yang
menyukai teori Y lebih cenderung menyukai gaya kepemimpinan
demokratik.
P. Kisi-Kisi Manajerial Dari Blake Dan Mouton
Dua gaya manajemen ini mendasari dua pendekatan pada
manajemen yang efektif. Pada gambar dibawah menunjukkan
jaringan ( kisi-kisi ) dimana pada sumbu horizontal adalah
perhatian terhadap produksi-produski sedang pada sumbu vertical
adalah perhatian terhadap orang ( Karyawan ).
Q. Penelitian Di Universitas Ohio State Dan Michigan
Di universitas Ohio State, para peneliti mencoba mempelajari
efektifitas dari perilaku kepemimpinan untuk menentukan mana
yang paling efektif dari kedua
R. Pendekatan Situasional “ Contingency”
Pendekatan ini menggambarkan tentang gaya kepemimpian yang
tergantung pada faktor situasi, karyawan, tugas, organisasi dan
variabel lingkungan lainnya.
Mary Parker Follectt mengatakan bahwa ada tiga faktor utama
yang mempengaruhi kepemimpinan yaitu 1) pemimpin, 2)
bawahan 3) Situasi juga pemimpin harus berorientasi pada
kelompok.

Sabtu, 12 Jun 2010

Apakah Al-Qur'an Memerlukan Hermeneutika?

Dalam seminar di UMY, (10/4/03) lalu, panelis, Dr. Ugi Suharto secara tegas menolak aplikasi 'hermeneutika' untuk tafsir al-Quran. Saat itu pendukung 'hermeneutika' adalah Dr. Amin Abdullah. Inilah pendapatnya Oleh Dr. Ugi Suharto *)

Hermeneutika, yang meminjam perkataan Inggris hermeneutics, dan yang juga berasal dari perkataan Greek hermeneutikos bukan merupakan suatu istilah netral yang tidak bermuatan pandangan hidup (world-view; weltanschauung). Apabila perkataan ini dikaitkan dengan al- Qur'an, ataupun dengan Biblical Studies, arti hermeneutika telah berubah dari pengertian bahasa semata menjadi istilah yang memiliki makna tersendiri. Oleh sebab itu, sebelum kita membahas lebih lanjut mengenai hermeneutika al-Qur'an, lebih baik kita bahas dahulu perbedaan arti bahasa (linguistic meaning) dan arti istilah (technical meaning) hermeneutika itu sendiri. Dari segi bahasa misalnya Aristotle pernah menggunakan perkataan itu untuk judul karyanya Peri Hermeneias yang kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Latin sebagai De Interpretatione yang lantas dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai On the Interpretation.

Namun, jauh sebelum terjemahan dalam bahasa Latin, al-Farabi (w. 339/950), seorang ahli filsafat Muslim terkemuka, telah menerjemahkan dan memberi komentar karya Aristotle itu terlebih dahulu ke dalam bahasa Arab dengan judul Fi al-'Ibarah.

Aristotle sendiri ketika menggunakan perkataan hermeneias tidak bermaksud mengemukakan arti istilah seperti yang berkembang di zaman modern kini. Hermeneias yang dia kemukakan, menyusuli karyanya Kategoriai, sekedar membahas peranan ungkapan dalam memahami pemikiran, dan juga pembahasan tentang satuan-satuan bahasa seperti kata benda (noun), kata kerja (verb), kalimat (sentence), ungkapan (proposition), dan lain-lain yang berkait dengan tata bahasa. Ketika Aristotle membicarakan hermeneias, dia tidak mempermasalahkan teks atau membuat kritikan terhadap teks. Jadi topik yang dibahas oleh Aristotle adalah mengenai bidang interpretasi itu sendiri, tanpa mempersoalkan teks yang diinterpretasikan itu. Dari segi bahasa, al-Farabi sangat tepat mengalihbahasakan hermeneuias sebagai 'ibarah yang memberi konotasi ungkapan bahasa dalam menunjukkan makna-makna tertentu. Begitulah pengertian hermeneutika yang pada asalnya hanya merujuk kepada makna bahasanya semata.

Perpindahan makna hermeneutika dari pengertian bahasa kepada pengetian istilah merupakan satu perkembangan kemudian. Sumber-sumber perkamusan sepakat bahwa peralihan makna istilah itu dimulai dari usaha para ahli teologi Yahudi dan Kristen dalam mengkaji ulang secara kritis teks-teks dalam kitab suci mereka. Sebuah kamus filsafat, misalnya, menyatakan:

Hermeneutics. . . .Originally concerned more narrowly with interpreting sacred texts, the term acquired a much broader significance in its historical development and finally became a philosophical position in twentieth century German philosophy.

Sebuah thesis Ph.D. mengenai hermeneutika juga menyatakan hal itu:

Originally, the term 'Hermeneutics' was employed in reference to the field of study concerned with developing rules and methods that can guide biblical exegesis. During the early years of the nineteenth century, 'Hermeneutics' became 'General Hermeneutics' at the hands of philosopher and Protestant theologian Friedrich Schleiermacher. Schleiermacher transformed Hermeneutics into a philosophical field of study by elevating it from the confines of narrow specialization as a theological field to the higher ground of general philosophical concerns about language and its understanding.

Jadi istilah 'hermeneutika' kemudian telah beralih makna dari sekedar makna bahasa, menjadi makna teologi, dan kini menjadi makna filsafat. Menarik untuk menelusuri sedikit latar belakang mengapa hermeneutika digunakan oleh para teolog Yahudi dan Kristen untuk memahami teks-teks Bible. Encyclopaedia Britannica menyatakan dengan jelas bahwa tujuan utama hermeneutika adalah untuk mencari "nilai kebenaran Bible."

For both Jews and Christians throughout their histories, the primary purpose of hermeneutics, and of the exegetical methods employed in interpretation, has been to discover the truths and values of the Bible.

Mengapa dengan hermeneutika itu para teolog tersebut bertujuan mencari nilai kebenaran Bible? Jawabannya adalah karena mereka memiliki sejumlah masalah dengan teks-teks kitab suci mereka. Mereka mempertanyakan apakah secara harfiah Bible itu bisa dianggap Kalam Tuhan atau perkataan manusia. Aliran yang meyakini bahwa lafaz Bible itu Kalam Tuhan mendapat kritikan keras dan dianggap ekstrim dalam memahami Bible. Encyclopaedia Britannica menyatakan lagi:

Literal interpretation asserts that a biblical text is to be interpreted according to the "plain meaning" conveyed by its grammatical construction and historical context. The literal meaning is held to correspond to the intention of the authors. This type of hermeneutics is often, but not necessarily, associated with belief in the verbal inspiration of the Bible, according to which the individual words of the divine message were divinely chosen. Extreme forms of this view are criticized on the ground that they do not account adequately for the evident individuality of style and vocabulary found in the various biblical authors.

Perhatikan frasa terakhir yang berbunyi "individuality of style and vocabulary found in the various biblical authors" (gaya dan kosakata masing-masing yang ditemukan pada berbagai pengarang mengenai Bible). Adanya perbedaan pengarang itulah yang menyebabkan Bible tidak bisa dikatakan Kalam Tuhan (the Word of God) secara harfiah (literal). Oleh sebab itu para teolog Kristen memerlukan hermeneutika untuk memahami Kalam Tuhan yang sebenarnya. Mereka hampir sepakat bahwa Bible secara harfiahnya bukan Kalam Tuhan. Oleh sebab itu mereka merasa perlu untuk membaca Bible "between the line" demi memahami firman Tuhan yang sebenarnya. Disinilah peranan hermeneutika dalam membantu memahami Bible bagi para teolog Kristen.

Keadaan itu berbeda dengan kaum Muslimin, yang bisa memahami Kalam Tuhan dari al- Qur'an baik "on the line" atau pun "between the line." Kaum Muslimin sepakat bahwa al- Qur'an itu adalah Kalam Allah yang ditanzilkan kepada Rasulullah Muhammad (s.a.w.). Kaum Muslimin juga sepakat bahwa secara harfiah al-Qur'an itu dari Allah. Juga, kaum Muslimin sepakat, membaca al-Qur'an secara harfiah adalah ibadah dan diberi pahala; menolak bacaan harfiahnya adalah kesalahan; membacanya secara harfiah dalam salat adalah syarat, dan memahami al-Qur'an secara harfiah juga dibenarkan, sementara terjemahan harfiah dan alihbahasanya tidak dikatakan sebagai al-Qur'an. Ibnu Abbas misalnya pernah menyatakan bahwa diantara pemahaman al-Qur'an itu adalah sejenis tafsir yang semua orang dapat memahaminya (la ya'dziru ahad fi fahmihi). Pemahaman yang seperti ini sudah tentu merujuk pada pemahaman lafaz harfiahnya. Oleh sebab itu kaum Muslimin, berbeda dengan Yahudi dan Kristen, tidak pernah merasa bermasalah dengan lafaz-lafaz harfiah al-Qur'an.

Perbedaan selanjutnya adalah, bahwa Bible kini ditulis dan dibaca bukan lagi dengan bahasa asalnya. Bahasa asal Bible adalah Hebrew untuk Perjanjian Lama, Greek untuk Perjanjian Baru, dan Nabi Isa sendiri berbicara dengan bahasa Aramaic. Bible ini kemudian diterjemahkan keseluruhannya dalam bahasa Latin, lantas ke bahasa-bahasa Eropah yang lain seperti Jerman, Inggris, Perancis dan lain-lain, termasuklah bahasa Indonesia yang banyak mengambil dari Bible bahasa Inggris. Teks-teks Hebrew Bible pula mempunyai masalah dengan isu originality, sepertimana dinyatakan oleh seorang pengkaji sejarah Bible:

The Hebrew text now in our possession has one special peculiarity: notwithstanding its considerable age, it comes to us in relatively late manuscripts which are therefore far removed in time from the originals (sometimes by more than a thausand years). . . .none of these manuscripts is earlier than the ninth century C.E.

Begitu juga Kitab Perjanjian Baru, mempunyai masalah yang sama dengan Kitab Perjanjian Lama:

The New Testament scriptures also reflect similar problems as those of the Hebrew Bible. These scriptures, particularly the gospels, were written after the period of Jesus, in the Greek language, that he most probably did not speak. Moreover, it is acknowledged by prominent Christian authorities that the purpose of the gospel writers was not to write objective history but for evangelical purpose, which in part led to the profusion of allegorical commentaries.

Mengenai bahasa Hebrew Bible pula, karena tidak ada seorangpun kini yang native dalam bahasa Hebrew kuno, maka untuk memahami bahasa Hebrew Bible itu para teolog Yahudi dan Kristen memerlukan bantuan bahasa yang serumpun dengan Hebrew (Semitic languages). Dan bahasa yang dapat memberikan harapan untuk dapat mengungkap bahasa Hebrew kuno itu tidak lain adalah bahasa Arab, karena bahasa Arab masih hidup hingga ke hari ini.

. . . the search for the 'original Semitic language' was on. . . and Arabic with its 'primitive' inflections soon became the firm favourite as the primary witness to what that original language must have looked like.

Kita tahu bahwa bahasa Arab itu hidup karena pengaruh yang dihidupkan oleh al-Qur'an itu sendiri. Jadi al-Qur'an lah yang menyelamatkan bahasa Arab, sedangkan dalam kasus Bible, mereka mesti menyelamatkan dahulu bahasa Hebrew sebelum dapat menyelamatkan Bible. Oleh sebab itu dengan ketiadaan bahasa asal Bible pada hari ini, maka wajarlah kalau para teolog Yahudi dan Kristen mencari jalan dan metodologi untuk memahami kembali Bible melalui hermeneutika. Dalam hal ini hermeneutika kemungkinannya dapat membantu suatu karya terjemahan, lebih-lebih lagi apabila bahasa asalnya sudah tidak ditemukan lagi. Schleiermacher sendiri dikait-kaitkan dengan pendapat yang mengatakan bahwa diantara tugas hermeneutika itu adalah untuk memahami teks "sebaik atau lebih baik daripada pengarangnya sendiri," atau "to understand the author better than he understood himself." Maka wajarlah apabila Bible yang dikarang oleh banyak orang itu memerlukan hermeneutika untuk memahaminya dengan cara yang lebih baik dari para pengarang Bible itu sendiri.

Adapun al-Qur'an, bagaimana mungkin terfikir oleh kaum Muslimin bahwa mereka dapat memahami al-Qur'an lebih baik dari Allah s.w.t. atau Rasulullah s.a.w.? Oleh sebab itu, dalam upaya pemahaman yang lebih mendalam mengenai al-Qur'an, kaum Muslimin sebenarnya hanya memerlukan tafsir, dan bukan hermeneutika, karena mereka telah menerima kebenaran harfiah al-Qur'an sebagai Kalam Allah. Kalau diperlukan pemahaman yang lebih mendalam lagi, contohnya untuk ayat-ayat yang mutasyabihat, yang diperlukan adalah ta'wil. Perlu ditegaskan bahwa dalam tradisi Islam, ta'wil juga tidak sama dengan hermeneutika, karena ta'wil mestilah berdasarkan dan tidak bertentangan dengan tafsir, dan tafsir berdiri di atas lafaz harfiah al-Qur'an. Jadi sebagai suatu istilah, ta'wil dapat berarti pendalaman makna (intensification of meaning) dari tafsir.

Al-Jurjani (w. 816/1413), misalnya, dalam kamus istilahnya yang terkenal, Kitab al-Ta'rifat, menyatakan hubungan makna tafsir dan ta'wil sebagai berikut:

Ta'wil secara asalnya bermakna kembali. Namun secara syara' ia bekmakna memalingkan lafaz dari maknanya yang zahir kepada makna yang mungkin terkandung di dalamnya, apabila makna yang mungkin itu sesuai dengan [semangat] Kitab dan Sunnah. Contohnya seperti firman Allah "Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati" (al-Anbiya': 95), apabila yang dimaksudkan disitu adalah mengeluarkan burung dari telur, maka itulah tafsir. Tetapi apabila yang dimaksudkan disitu adalah mengeluarkan orang beriman dari orang kafir, atau orang berilmu dari orang yang bodoh, maka itulah ta'wil.

Dari keterangan di atas jelaslah bahwa ta'wil itu lebih dalam dari tafsir, dan tafsir itu berdasarkan kepada makna zahir lafaz harfiah ayat-ayat al-Qur'an. Walaupun ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama mengenai makna tafsir dan ta'wil, namun mereka tidak pernah mempersoalkan teks al-Qur'an sebagai Kalam Allah. Tegasnya, "textual criticism" untuk al-Qur'an tidak ada dalam tradisi Islam. Oleh sebab itu, dalam hal ini, tetap tidak bisa disamakan antara tafsir ataupun ta'wil dengan hermeneutika yang berangkat dari "textual criticism" pada Bible. Sebuah buku Hermeneutika terbitan Kanisius Yogyakarta, misalnya, sempat menyamakan al-Qur'an dengan Bible dan kitab agama yang lain, dan menyatakan bahwa tafsir sama dengan hermeneutika. Penulis buku tersebut mengatakan:

Disiplin ilmu yang pertama yang banyak menggunakan hermeneutik adalah ilmu tafsir kitab suci. Sebab semua karya yang mendapatkan inspirasi Ilahi seperti al-Quran, kitab Taurat, kitab-kitab Veda, dan Upanishad supaya dapat dimengerti memerlukan interpretasi atau hermeneutik.

Pendapatnya yang mengatakan bahwa al-Qur'an adalah "karya yang mendapat inspirasi Ilahi" seperti juga Bible, jelas tidak dapat diterima oleh kaum Muslimin. Orang-orang Islam tidak pernah memahami bahwa al-Qur'an itu sebuah "karya" sehingga memerlukan hermeneutika untuk memahami karya tersebut. Sebaliknya, pemikiran itu datang dari kaum Orientalis yang mengecoh kaum Muslimin agar menganggap bahwa al-Qur'an itu karya Muhammad dan menyatakan bahwa Islam juga agama buatan Muhammad alias Muhammadanism. Padahal orang-orang Kristen sendiripun, yang masih mempunyai masalah dengan teks-teks Bible, tidak pernah mengatakan bahwa Injil itu karya Nabi Isa.

Jadi, tradisi tafsir dalam Islam tidak sama dengan tradisi hermeneutika dalam Kristen. Seorang sarjana Muslim terkemuka, Syed Muhammad Naquib al-Attas, secara jelas menyatakan perbedaan antara tafsir dan hermeneutika:

Indeed, it was because of the scientific nature of the structure of the language that the first science among the Muslims - the science of exegesis and commentary (tafsir) became possible and actualized; and the kind of exegesis and commentary not quite identical with Greek hermeneutics, nor indeed with the hermeneutics of the Christians, nor with any 'science' of interpretation of sacred scripture of any other culture and religion.

Singkatnya, hermeneutika yang digunakan dalam teologi Kristen itu mempunyai latar belakang yang tersendiri yang berbeda dengan tafsir dalam tradisi Islam. Boleh jadi penemuan-penemuan melalui hermeneutika Bible itu nantinya akan lebih menunjukkan lagi kebenaran al-Qur'an. Sehingga apa yang hilang pada Bible dapat ditemukan dalam al-Qur'an.

Kembali kepada makna istilah hermeneutika, seperti yang dinyatakan sebelum ini, perpindahan makna hermeneutika dari ruang lingkup teologi kepada ruang lingkup filsafat dibidani oleh filosof berbangsa Jerman, Friedrich Schleiermacher. Filosof yang berfahaman Protestan ini dianggap sebagai pendiri 'hermeneutika umum' yang dapat diaplikasikan kepada semua bidang kajian. Namun, seperti dinyatakan oleh Aref Nayed, perpindahan hermeneutika dari teologi ke filsafat itu pun tidak terlepas dari motif teologi Kristen yang dianut oleh Schleiemacher. "He founded general hermeneutics for theological reasons." Schleiermacher yang Protestan sudah tentu tidak setuju dengan interpretasi-interpretasi Katolik terhadap Bible yang didominasi oleh Gereja dan lembaga kepausannya. Baginya interpretasi Protestan terhadap Bible itu lebih mendekati ajaran Nabi Isa yang sebenarnya.

The theological concerns that made Schleiermacher undertake the project of general hermeneutics are made very clear in his: Brief Outline of the Study of Theology. . . .In his work, General Hermeneutics is supposed to supply the basis for a biblical hermeneutics that would make knowledge of primitive Christianity possible, and vindicate Protestant claims to being more faithful to the original teachings of Christ.

Sudah tentu ketika teks-teks Bible menjadi masalah, maka interpretasi-nya pun akan lebih bermasalah. Tidak mengherankan dalam hal ini jika Werner G. Jeanroad pernah berbicara mengenai "krisis interpretasi Bible" dan berharap bahwa hermeneutika dapat memberikan andil dalam mengatasinya. Dia katakan:

Hermeneutics, the study of proper means of text-interpretation, is not the cause of the current biblical studies, rather it may point indirectly to some ways out of this crisis.

Apabila kemudian hermeneutika menjadi subjek filsafat, maka lahirlah berbagai macam aliran pemikiran. Walaupun Schleiermacher (1768-1834) merupakan sarjana pertama yang membawa hermeneutika dari tataran teologi ke tataran filsafat, namun hermeneutika Schleiermacher pada akhirnya hanyalah menjadi salah satu aliran hermeneutics yang ada. Disana ada Hermeneutics of Betti yang digagaskan oleh Emilio Betti (1890-1968) seorang sarjana hukum Romawi berbangsa Itali; ada Hermeneutics of Hirsch yang digagaskan oleh Eric D. Hirsch (1928- ) seorang pengkritik sastra berbangsa Amerika; ada Hermeneutics of Gadamer yang digagaskan oleh Hans-Georg Gadamer (1900- ) seorang ahli filsafat dan bahasa, dan ada lagi aliran-aliran hermeneutika yang lain seperti aliran Dilthey (m. 1911), Heidegger (m. 1976), dan lain-lain.

Jika hermeneutika-hermeneutika itu ingin diterapkan untuk kajian al-Qur'an, hermeneutika yang mana yang ingin diambil? Lalu, mengapa hanya mengambil hermeneutika tertentu dan menolak yang lain? Kemudian, apa jaminannya hermeneutika yang diambil itu betul-betul menunjukkan pengertian yang sebenarnya mengenai al-Qur'an? Bukankah apabila mengambil hermeneutika tertentu, berarti itu pun sudah masuk dalam "school of thought" tertentu? Kalau begitu dimana objektifitasnya? Dan masih banyak lagi persoalan-persoalan yang lain.

Ambil contoh Fazlur Rahman. Dia lebih setuju kepada hermeneutika Betti ketimbang hermeneutika Gadamer. Namun dia juga tidak setuju dengan Betti yang mengatakan bahwa makna asli suatu teks itu terletak pada akal pengarang teks. Bagi Rahman, makna asli teks itu terletak pada konteks sejarah ketika teks itu ditulis. Kalau begitu, apa pula pendapat Fazlur Rahman mengenai kesimpulan filsafat hermeneutika yang mengesahkan adanya satu problem besar yang disebut "hermeneutic circle", yaitu sejenis lingkaran setan pemahaman objek-objek sejarah yang mengatakan bahwa "jika interpretasi itu sendiri juga berdasarkan interpretasi, maka lingkaran interpretasi itu tidak dapat dielakkan." Akibatnya adalah pemahaman seseorang tentang teks-teks dan kasus-kasus sejarah yang tidak akan pernah sampai, karena apabila seseorang dapat memahami konteksnya, maka konteks sejarah itu pun adalah interpretasi juga. Apabila hal ini diterapkan untuk studi al-Qur'an, maka selama- lamanya al-Qur'an tidak akan pernah dapat dimengerti dan difahami.

Hermeneutic circle: The problem in the process of interpretation that arise when one element, for instance in a text, can only be understood in terms of the meanings of others or of the whole text, yet understanding these other elements, or the whole text, in turn presupposes understanding of the original element. Each can only be understood in the light of the others. . . . . The phenomenon has preoccupied German thinkers from Schleiermacher and Dilthey through Heidegger and Gadamer.

Di dalam al-Qur'an ada ayat-ayat yang muhkamat, ada usul ajaran Islam, ada hal-hal yang bersifat tsawabit, semua ayatnya adalah , dan bahagian- bahagiannya ada yang menunjukkan qat'iyy al-dilalah, ada perkara-perkara yang termasuk dalam al-ma'lum min al-din bi al-darurah, ada sesuatu yang ijma' mengenai al-Qur'an, dan ada yang difahami sebagai al-Qur'an yang disampaikan dengan jalan mutawatir, yang semuanya itu dapat difahami dan dimengerti oleh kaum Muslimin dengan derajat yakin bahwasannya itu adalah ajaran al-Qur'an yang dikehendaki oleh Allah. Apabila filsafat hermeneutika digunakan kepada al-Qur'an maka yang muhkamat akan menjadi mutasyabihat, yang usul menjadi furu', yang thawabit menjadi mutaghayyirat, yang qat'iyy menjadi zanniyy, yang ma'lum menjadi majhul, yang ijma' menjadi ikhtilaf, yang mutawatir menjadi ahad, dan yang yaqin akan menjadi zann, bahkan syakk. Alasannya sederhana saja, yaitu filsafat hermeneutika tidak membuat pengecualian terhadap hal-hal yang axiomatic di atas.

Dalam posisi yang lebih ekstrim, filsafat hermeneutika telah memasuki dataran epistemologis yang berakhir pada pemahaman sophist yang bertentangan dengan pandangan hidup Islam (Islamic weltanschauung). Filsafat hermeneutika berujung pada kesimpulan universal bahwa "all understanding is interpretation" dan karena interpretatsi itu tergantung kepada orangnya, maka hasil pemahaman (understanding, verstehen) itu pun menjadi subjektif. Dengan perkataan lain, tidak ada orang yang dapat memahami apa pun dengan secara objektif.

Aqidah al-Nasafi, misalnya, pada paragraf pertamanya menyatakan: haqa'iq al-asya' thabitatun wa al-'ilmu biha mutahhaqqiqun, khilafan li al-sufata'iyyah (semua hakikat segala perkara itu tsabit adanya, dan pengetahuan akan dia [adalah yang] sebenarnya, bersalahan dengan [pendapat] kaum sufasta'iyyah). Salah satu golongan sufasta'iyyah (sophist) itu adalah golongan 'indiyyah (epistemological subjectivist) yang menganut faham bahwa tidak ada kebenaran objektif dalam ilmu; semua ilmu adalah subjektif; dan kebenaran mengenai sesuatu hanyalah semata-mata pendapat seseorang. Apabila semua ini dikaitkan dengan kajian al-Qur'an, maka akibatnya tidak ada kaum Muslimin yang mempunyai pemahaman yang sama mengenai al-Qur'an, karena semua pemahaman itu tergantung pada interpretasi masing-masing. Tentu kaum Muslimin tidak bermaksud begitu apabila manafsir atau mena'wil al-Qur'an.

Surat al-Ikhlas dalam al-Qur'an, misalnya, dapat difahami dengan mudah oleh kaum Muslimin bahwa Allah itu Esa, Allah tidak beranak dan diperanakkan, dan tidak ada yang setanding dengan Dia. Walaupun terdapat perbedaan pendalaman pemahaman mengenai tauhid antara orang awam dan ulama, namun tidak ada seorang Muslim-pun yang mengatakan Allah itu satu di antara yang tiga atau tiga di antara yang satu. Seorang Muslim awam yang memahami keesaan Allah dengan "mathematical oneness" tidak keluar dari aqidah Islam yang benar, walaupun kurang halus pemahamannya. Untuk memperhalusnya, Muslim tidak perlu pada hermeneutika. Sebaliknya, konsep trinity itu memerlukan hermeneutika untuk memahaminya, karena pada tataran lafaz yang zahir sekalipun, trinity itu memang susah difahami.

Sebagai kesimpulan, hermeneutika itu berbeda dengan tafsir atau pun ta'wil dalam tradisi Islam. Hermeneutika tidak sesuai untuk kajian al-Qur'an, baik dalam arti teologis atau filosofis. Dalam arti teologis, hermeneutika akan berakhir dengan mempersoalkan ayat-ayat yang zahir dari al-Qur'an dan menganggapnya sebagai problematik. Diantara kesan hermeneutika teologis in adalah adanya keragu-raguan terhadap Mushaf Utsmani yang telah disepakati oleh seluruh kaum Muslimin, baik oleh Muslim Sunni ataupun Syi'ah, sebagai "textus receptus." Keinginan Muhammad Arkoun, misalnya, untuk men-"deconstruct" Mushaf Utsmani, adalah pengaruh dari hermeneutika teologis ini, selain dari pengaruh Jacques Derrida. Dalam artinya yang filosofis, hermeneutika akan mementahkan kembali akidah kaum Muslimin yang berpegang bahwa al-Qur'an adalah Kalam Allah. Pendapat almarhum Fazlur Rahman yang mengatakan bahwa al-Qur'an adalah "both the Word of God and the word of Muhammad" adalah kesan dari hermeneutika filosofis ini. Semua itu tidak menguntungkan kaum Muslimin, dan hanya menurunkan derajat validitas al-Qur'an seolah- olah sama dengan kitab yang lain. Sebenarnya memang ada kemungkinannya orang Kristen semakin maju dengan hermeneutika, tetapi kaum Muslimin hampir pasti akan mundur ke belakang dengan hermeneutika itu. Sepertimana bahasa Arab telah menjadi standar bahasa Hebrew dan bahasa-bahasa Semit yang lain, maka al-Qur'an semestinya juga menjadi benchmark bagi kitab suci yang lain, karena al-Qur'an adalah kitab suci yang terakhir dan yang authentic di antara kitab-kitab yang lain. Dengan perkataan lain, kajian al-Qur'an, terutamanya mengenai penafsirannya, tidak memerlukan hermeneutika. Kita khawatir akhir- akhir ini kita begitu bergairah mengimpor istilah hermeneutika untuk kajian al-Qur'an tanpa menyelidiki dahulu latar belakang istilah itu sendiri yang mempunyai muatan pandangan hidup berlainan dengan pandangan hidup Islam. Sebenarnya jika akan digunakan bahasa asing juga, maka istilah exegesis atau pun commentary yang selama ini digunakan sudah cukup memadai untuk al-Qur'an. Kenapa kini exegesis atau commentary mesti ditukar dengan hermeneutics?

Saya akan mengakhiri makalah ini dengan satu peringatan dari Hadis Rasulullah s.a.w. yang berbunyi:

Kamu akan mengikuti jalan-jalan kaum sebelum kamu, sehasta demi sehasta, sejengkal demi sejengkal, sehingga apabila mereka masuk lubang biawak sekali pun kamu akan mengikutinya juga. Kemudian Rasulullah s.a.w. ditanya: "Apakah mereka [yang diikuti] itu kaum Yahudi dan Nasara?" Rasulullah menjawab: "Siapa lagi [kalau bukan mereka]." (H.R. Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, Ahmad)

*). Penulis adalah Peneliti INSIST, Dosen di ISTAC-UIA Kuala Lumpur. Tulisan ini diambil dari INSIST.Com.

MANUSIA DAN KEINDAHAN

PENDAHULUAN
Keindahan, kesejukan, kehalusan dan keserasian setiap hari di rasakan oleh kita sebagai manusia yang normal. Keindahan itu bisa kita dapatkan secara langsung dari sumber keindahan itu ataupun melalui media atau perantara.Untuk bisa melihat dan menikmati keindahan kita sering membuang waktu, uang dan tenaga yang seringkali tidak sedikit jumlahnya. Ketika kita pergi ketempat wisata yang indah misalnya, hal itu kita lakukan tidak lain karena pada dasarnya manusia menyukai keindahan. Sampai-sampai ada satu istilah bahwa semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang, semakin tinggi pula hasrat dan keinginan untuk menghargai suatu keindahan.
PEMBAHASAN
I. PENGERTIAN KEINDAHAN
Pada dasarnya konsep keindahan keindahan adalah abstrak dan tidak dapat dikomunikasikan sebelum diberi bentuk sehingga sulit menentukan batasan-batasannya. Namun demikian dada beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli dibidang sosial yang kiranya bisa kita ambil.
Liang Gie dalam bukunya garis Besar Estetik (Filsafat Keindahan) dalam bahasa inggrisnya diterjemahkan dengan beautiful, kemudian dalam bahasa perancis beuau, sedangkan dalam bahasa itali dan spanyol bello. Kata-kata tersebut bersumber pada bahasa latin bellum dengan akar kata bonum yang berarti kebaikan. Oleh karena keindahan bersifat abstrak, maka dalam bahasa inggris sering digunakan kata beauty untuk istilah keindahan dan the beautiful untuk sesuatu yang indah.
Jika ditarik keranah filsafat pengertian keindahan dibedakan menjadi 3. pertama Dalam arti luas, keindahan diartikan sebagai ide kabaikan. Misalnya plato menyebut watak yang indah dan hukum yang indah. Sedangkan aristoteles merumuskan keindahan sebagai sesuatu yang baik juga menyenangkan. Atau dengan kata lain pengertian keindahan seluas-luasnya adalah keindahan seni, keindahan alam, keindahan moral, keindahan intelektual. Kedua Dalam arti estetik murni, mengandung pengertian bahwa keindahan adalah pengalaman estetik seseorang dalam hubungannya dengan segala sesuatu yang diserapnya. Ketiga, dalam arti yang terbatas mempunyai arti yang lebih disempitkan sehungga hanya dapat diserap dengan penglihatan, yaitu berupa keindahan bentuk dan warna.
II. NILAI ESTETIK
Secara sederhana nilai estetik adalah nilai yang berhubungan denngan segala sesuatu yang berhubungan dengan segala sesuatu yang tercakup dalam pengertian keindahan. Dalam “Dictionary of sociology andi Related Science” dijelaskan bahwa nilai estetik adalah kemampuan yang dianggap ada pada suatu benda yang dapat memuaskan keinginan manusia; sifat dari suatu benda yang menarik seseorang atau kelompok.
Bisa doartikan bahwa nilai adalah nilai adalah realitas psikologi yang harus dibedakan secara tegas dari kegunaannya, karena hal ini terdapat pada jiwa manusia dan bukan pada benda itu sendiri.
Nilai digolongkan menjadi 2, nilai ekstrinsik dan nilai intrinsik. Nilai eksrinsik adalah sifat baik dari suatu benda sebagai alat atau sarana untuk suatu hal lainnya. Nilai intrinsik adalah sifat baik dari benda yang bersangkutan, atau sebagai suatu tujuan, atau demi kepentingan benda itu sendiri. Berikut ini adalah contohnya dalam bentuk puisi ;
“Bagi Sahabatku Yang Tertindas”
Wahai engkau yang dilahirkan diatas ranjang kesengsaraan, diberi makan pada dada penurunan nilai, yang bermain sebagai seorang anak dirumah-rumah tirani,engkau yang memakan roti basimu dengan keluhan dan meminiumair keruhmu bercampur dengan air mata yang getir.
-----
Kebenaran akan memngoyak kerudung air mata yang menyembunyikan senyumanmu. Saudaraku, kuucapkan selamat datang padamu dan kuanggap hina para penindasmu.
Gibran
Nilai ekstrinsik dari sajak/puisi tersebut adalah bentuk bahasa, irama, baris, dan puisi itu sendiri. Sedangkan nilai intrinsiknya adalah maksud atau pesan yang ingin disampaikan oleh Gibran melalui puisi itu. Misalnya,-penafsiran pribadi- bahwa Gibran ingin memberi dukungan moral kepada rakyat jelata yang selalu ditindas pada zamannya dengan memposisikan dirinya sama dengan mereka melalui kata “selamat datang”. Dia juga menyampaikam pesan bahwa orang-orang yang menindas mereka adalah orang yang hina.
III. MANUSIA MENCIPTA KEINDAHAN

IV. KEINDAHAN DALAM ISLAM
Yang dimaksud keindahan (al-jamal) dalam islam adalah kesempurnaan illahi. Kepunya-Nya-lah keindahan dan kesempurnaan. Seluruh nama-Nya baik dan semua sifat-Nya sempurna. Allah maha sempurna, dan Dia mencintai orang yang berusaha untuk memperoleh kesempurnaan.
Allah itu indah,bukti dari keindahan itu adalah kasih sayang dan kelembutanNya dalam memberi tugas kepada manusia yang ringan dengan imbalan pahala yang banyak.
Firman-Nya :
Kalau sekiranya allah menyiksa manusia karena kesalahan yang diperbuatnya, niscaya tidak ada makhluk yang bergerak pun yang tinggal dimuka bumi itu, namun allah menangguhkan siksa mereka sampai pada batas massanya yang telah ditentukan.
V. RENUNGAN
Renungan berasal dari kata dasar renung, merenung berarti memikirkan sesuatu secara mendalam dan teliti. Renungan adalah hasil dari kegiatan merenung tersebut.
Merenung dapat juga disebut dengan berfilsafat, ketika objek yang direnungkan dan dievaluasi adalah pengalaman-pengalaman yang telah lalu. Namun demikian berfikir kefilsafatan memiliki beberapa ciri ;
1. Menyeluruh, artinya pemikiran yang luas, bukan hanya ditinjau dari sudut pandang tertentu. Peemikiran kefilsafatan ingin mengetahui hubungan antara ilmu yang satu dengan ilmu-ilmu yang lain, hubungan dengan moral, seni, dll.
2. Mendasar,artinya pemikiran yang dalam sampai pada hasil yang fundamental (keluar dari gejala), sehingga dapat dijadikan dasar berpijak bagi segenap bidang keilmuan.
3. Spekulatif,artinya hasil pemikiran yang didapat dijadikan dasar untuk pemikiran-pemikiran selanjutnya.
Renungan yang berhubungan dengan keindahan didasarkan atas tiga teori yaitu ;
• Teori pengungkapan, teori ini mengatakan bahwa seni merupakan pengungkapan kesan kesan keindahan
• Teori metafisika, teori ini mengatakan bahwa seni merupakan duni tiruan dari suatu realitas
• Teori Psikologi menyatakan bahwa proses penciptaan seni adalah pemenuhan keinginan bawah sadar seorang seniman
Setiap hasil seni yang kemudian memiliki keindahan lahir dari hasil renungan penciptanya. Tanpa direnungkan, hasil seni tidak mencapai keindahan.
Allah SWT telah member dorongan kepada manusia untuk memikirkan alam semesta,mengadakan keindahan ciptaan-Nya dan mengungkapkan hukum-Nya di alam semesta.
Firman Allah SWT
Al-angkabut 20
Yunus 101
Al-a’raf 185
Termaktub disana bahwa dengan tegas Allah menyerukan kepada kita untuk senantiasa mererung, memikirkan, dan meneliti terhadap apa-apa yang terdapat dilaangit dan dibumi, semua makhluk, dan semua fenomena alam semesta. Selain itu al-quran juga member dorongan kepada manusia untuk merenungkan dan memikirkan dirinya.
Ar-rum 8
At-thariq 5-7
VI. KESERASIAN
Keserasian bersal dari kata serasi, berarti cocok, sesuai, atau kene benar. Kata cocok, serasi atau kena mengandung pengertian perpaduan, pertentangan, ukuran dan seimbang. Keserasian sangat berhubungan dengan keindahan, sesuatu yang serasi akan tampak indah. Dalam keselarasan seseorang memiliki perasaan seimbang, dan mempunyai cita rasa akan sesuatu yang berakhir dan merasa hidup sesaat ditengah-tengah kesempurnaan yang menyenangkan hati . Hal-hal yang demikian itu sering disebut dengan kualitas atau pokok tertentu yang terdapat pada suatu benda.
Kualitas-kualitas yang sering disebut ketika membicarakan keindahan adalah kesatuan (unity), keselarasan (harmony), kesetangkupan (symmetry), keseimbangan (balance), dan pertentangan (contrast)
Allah maha kuasa dan maha pencipta dalam menciptakan sesuatu, dalam keselarasan dan keseeimbangan, misalnya menciptakan sesuatu beserta pasangannya laki-perempuan, baik-buruk, siang-malam, langit-bumi dan lain sebagainya.
Firman allah
Asy syura 11
VII. KEHALUSAN
Kehalusan dalam bertingkah laku berhubungan dengan perbuatan lemah lembut, sopan santun, dan budi pekerti yang baik. Manusia yang tidak memiliki kehalusan dalam tingkah laku dapat membawa kearah hipokrit, munafik, tidak bertangung jawab, fiodal, kamuflase, berwatak plin plan, boros, tukang tipu dll. Dengan demikian sikap halus atau lembut merupakan gambaran yang tulus serta cinta kasih terhadap sesama. Sikap halus harus dimulai dari keluarga karna dari sinilah akan mampu diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat, hingga bisa mewujudkan ketentraman dan kesejahtraan. Jadi pada intinya kehalusan seseorang dalam bertingkah laku sangat menekankan pada kejujuran, kesetian, kesopan dan keramah tamahan
Bila dikaitkan dengan kehidupan bernegara seorang pejabat negara dan warga negaranya harus mempunyai kehalusan dalam melakukan hubungan, dengan kata lain harus saling menghormati. Tindakan pejabat publik yang mendahulukan kepentingan pribadi dan mengabaikan kepentingan masyarakat banyak sangat bertentangan dengan kehalusan, cinta kasih baik kepada negaranya maupun rakyatnya. Pejabat seperti ini mencerminkan bahwa mereka tidak beradab dan tidak berbudi.

PENUTUP
REFERENSI
www.harunyahya.com
kahlil Gibran,bagi sahabatku yang tertindas,2002,Yogyakarta,Penerbit Bentang

MENJAGA IMAN

Menurut Ibnu Qoyyim al-Jauzi : Bahwa iman yang menempat pada hamba Allah SWT dibagi menjadi empat macam yaitu:

1- لا يزيد ولا ينقص imannya para Malaikat
2- يزيد ولا ينقص imannya para nabi dan Rasul
3- قد يزيد وينقص imannya Orang awam
4- لا يزيد وينقص imannya orang kafir & munafik
Cabang-cabang Iman
عن أبى هريرة رضي الله عنه عن البي ص م. قال : " الإيمان بضع وستون شعبة والحياء شعبة من الإيمان". رواه البخاري.

Artinya : Hadis dari Abu Hurairah RA. Dari Nabi Muhammad SAW. Bersabda : Iman terbagi menjadi 60 cabang, dan malu cabang dari pada iman. HR. Buhkari.
Manisnya Iman
عن أنس عن البي ص م. قال : " ثلاث من كن فيه وجد حلاوة الإيمان : أن يكون الله ورسوله أحب إليه مما سواهما، وأن يحب المرء لا يحبه إلا لله، وأن يكره أن يعود فى الكفر كما يكره أن يقذ ف فى النار". رواه البخارى.

Artinya : Hadis dari Anas dari Nabi Muhammad SAW bersabda : “ Ada tiga perkara barang siapa yang memperoleh dari tiga perkara tersebut maka orang tersebut akan memperoleh manisnya iman, yaitu pertama menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari pada selainnya, kedua mencintai orang (sesama manusia) semata-mata hanya karena Allah, ketiga dia tidak suka kembali pada kekafiran sebagaimana dia tidak suka kalau dilemparkan kedalam api neraka. HR. Bukhari.

Peran Psikologi Agama Terhadap PAI

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang.
Akhlaq peserta didik di tingkatan pelajar mulai dipertanyakan, banyak kasus kenakalan pelajar yang sudah menyimpang dari koridor agama. Menyimak penyimpangan tersebut keberadaan PAI yang di dapat oleh si anak dapat di pertanyakan. Anak yang banyak menghabiskan waktu disekolah mulai kurang menyenangi mata pelajaran PAI, padahal mata pelajaran PAI adalah salah satu tempat dimana anak mendapatkan pengetahuan dan peneneman tentang agama.
  BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendidikan Agama Islam.
Pendidikan sebagai sebuah proses adalah suatu aktivitas yang dilakukan manusia secara sadar dalam mencapai kematangan intelektual, social dan spiritual. Pendidikan dalam arti luas adalah berkaitan dengan upaya untuk mengembangkan pada diri seseorang tiga aspek dalam kehidupannya, yakni pandangan hidup, sikap hidup dan keetrampilan hidup. Upaya untuk mengembangkan ketiga aspek terseebut bisa dilaksanakan di sekolah, di luar sekolah dan di lingkungan kluarga. Dengan kata lain, lingkup dan sifat pendidikan yang dilakukan dalam dunia pendidikan biasa disebut dengan pendidikan formal (sekolah), non formal (luar sekolah), kesemuanya ini termasuk para pendidik, guru dan dosen, sebenarnya tengah terlibat dalam suatu pengumpulan politik atau ideology.
Secara umum Pendidikan Agama Islam (PAI) adalah Aktifitas, kegiatan atau usaha yang sadar, sistematis dan berkesinambungan untuk mengembangkan kemampuan rasa beragama, memberi sifat beragama, dan memberi kecakapan beragama sesuai tujuan pendidikan agama.

B. Keadaan PAI Pada Saat Ini
Pai pada saat ini hanya berpusat pada ilmu atau materi-materi keagamaan yang di sampaikan pada peserta didik, tanpa tau ilmu tersebut akan berdampak setelah dipelajari atau tidak. Praktek pengajaran PAI hanya berputar pada ranah kognisi pada peserta didik, tidak sampai afektif, jadi dari uraian tersebut PAI hanya di kaji secara umum di kelas tanpa diterapkan ataupun di biasakan kepada peserta didik. Sehingga berkesimpulan bahwa PAI tidak sampai dicintai oleh peserta didik.

C. Psikologi Agama
 Psikologi Agama menurut bahasa adalah Ilmu Jiwa Agama. Psikologi pada umumnya terbagi atas tiga bagian; a). Kognisi (berfikir), b). Afektif (Merasa) dan c). Psikomotorik (Berkehendak).
Psikologi agama memiliki arti lebih luas yaitu: Ilmu yang mempelajari tentang jiwa yaitu aktivitas dalam diri manusia yang mendorong prilaku manusia yang mencangkup 7 aspek jiwa.
7 aspek jiwa tersebut adalah:
a). Kognisi adalah gejala aktivitas jiwa yang terkai dengan proses memperoleh pengetahuan.
b). Motivasi adalah semua energi dari dalam diri yang mendorong manusia untuk mencapai tujuan yang di inginkan.
c). Emosi adalah reaksi jiwa secara tiba-tiba, spontanitas terhadap stimulus yang dating secara tiba-tiba.
d). Sosial adalah hubungan antara manusia satu dengan yang lainnya.
e). Moral adalah dorongan untuk taat pada aturan.
f). Estetika adalah dorongan manusia dalam hal keindahan atau kerapian.
g). Agama secara umum agama adalah hubungan antara manusia dengan tuhannya.
Pengertian Rasa Beragama menurut W H Clark.
 Secara ringkas menurut clark rasa beragama adalah pengalaman yang berada dalam diri yang terdalam atau mendalam dalam individu tentang rasa bertuhan.
 Dalam teks asli clark menggunakan kata Experience karena maksudnya bukan hanya dengan kognisi (berfikir) tapi lebih diperdalam karena melalui pengalaman dan bernilai.
 Menurut clark ada dua ranah yang di maksud :
 Rasa bertuhan : Belive = Yakin
 Ras ta’at : Faith = Ta’at
Rasa agama : Kristal-kristal nilai agama dalam diri manusia sebagai produk dari proses internalisasi nilai agama melalui pengalaman semenjak dini, secara continyu, konsisten dalam berkelanjutan.
D. Peran Psikologi Agama Terhadap PAI.
Dalam kondisi yang demkian PAI harus diajarkan dengan cara yang berbeda dengan model pengajaran yang lain. PAI harus diajarkan dengan makna yang terkandung dalam Psikologi Agama. Jadi PAI harus diajarkan dengan pengalaman yang ditanamkan oleh pendidik kepada peserta didik sehingga PAI memberi kesan tersendiri oleh peserta didik dan membuat peserta didik cinta terhadap PAI.








Kesimpulan
Pendidikan Agama Islam (PAI) adalah Aktifitas, kegiatan atau usaha yang sadar, sistematis dan berkesinambungan untuk mengembangkan kemampuan rasa beragama, memberi sifat beragama, dan memberi kecakapan beragama sesuai tujuan pendidikan agama.
Psikologi agama memiliki arti lebih luas yaitu: Ilmu yang mempelajari tentang jiwa yaitu aktivitas dalam diri manusia yang mendorong prilaku manusia yang mencangkup 7 aspek jiwa.
Rasa agama : Kristal-kristal nilai agama dalam diri manusia sebagai produk dari proses internalisasi nilai agama melalui pengalaman semenjak dini, secara continyu, konsisten dalam berkelanjutan.
 Peran Psikologi Agama Terhadap PAI.
Dalam kondisi yang demkian PAI harus diajarkan dengan cara yang berbeda dengan model pengajaran yang lain. PAI harus diajarkan dengan makna yang terkandung dalam Psikologi Agama. Jadi PAI harus diajarkan dengan pengalaman yang ditanamkan oleh pendidik kepada peserta didik sehingga PAI memberi kesan tersendiri oleh peserta didik dan membuat peserta didik cinta terhadap PAI.







Isnin, 7 Jun 2010

Pendidikan Masih Diskriminatif Terhadap Kaum Miskin

3 dari 3 Kompasianer menilai Bermanfaat.

Seorang siswa SMPN Nguling, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur nekat coba bunuh diri dikarenakan orang tuanya tidak mampu untuk membiayainya ke Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA), Berita waspada (harian lokal sumut) 5 April 2010.

Sangat prihatin sekali saat membaca berita tersebut di atas. Di saat puluhan milyard atau ratusan milyard atau bahkan trilyunan uang rakyat dijarah oleh para abdi negara diberbagai institusi mereka untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Padahal, jika uang tersebut digunakan untuk pendidikan tentunya sudah berapa ratus gedung sekolah yang akan terbangun, serta berapa puluh juta anak-anak akan tetap melanjutkan sekolah dan lain sebagainya.

Namun itu semua cuma khayalan saja karena ternyata pendidikan masih diskriminatif terhadap kelompok masyarakatnya terutama kaum fakir miskin. Padahal di dalam Undang-Undang Sisdiknas pasal 4 dijelaskan bahwa “pendidikan diselenggarakan secara demokratis, berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia”. Ini juga diatur di dalam UU Perlindungan Anak No 23 Tahun 2002 dan Konvensi Hak Anak pasal 28 yang menyatakan bahwa pendidikan itu adalah gratis.

Dengan adanya kasus ini seharusnya negara dalam hal ini dinas pendidikan dan kepala daerahnya atau bahkan presiden sekalipun dapat dituntut karena telah menyebabkan warganya menderita dikarenakan tidak mendapatkan hak pendidikan tersebut. Karena ini pelanggaran negara terhadap hak-hak warga negaranya khususnya hak anak untuk tetap mengeyam pendidikan gratis dan berkualitas.

Berdasarkan PP Nomor 48 Tahun 2008 pasal 2, pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat. Pembagian tanggungjawab ini harus jelas antara pemerintah pusat dan daerah agar masyarakat tidak lagi menjadi pihak yang dikorbankan dengan banyaknya kutipan liar yang diberlakukan sekolahnya masing-masing. Terminologi pendidikan gratis itu seharusnya mencakup semuanya mulai dari pembebasan uang operasional/administratif, penyediaan buku-buku pelajaran dan lain sebagainya. Bila perlu seragam sekolahnya juga harus disediakan oleh negara khusus bagi mereka yang fakir miskin.

Memang kalau berbicara permasalahan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya selalu saja Undang-Undang menyertakan masyarakat sebagai pihak yang juga bertanggungjawab. Namun kalau sudah berbicara masalah cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Begitu juga dengan bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya juga dikuasai oleh negara dan katanya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Untuk itu sudah saatnya negara menepati janjinya sebagaimana tertulis di dalam UUD 1945 yakni memberikan kemakmuran kepada rakyatnya dalam hal ini kemakmuran terhadap dunia pendidikan agar setiap warga negara tanpa terkecuali mampu mengakses dan menikmati pendidikan yang berkualitas untuk meningkatkan sumber daya bangsa ini ke depan.

OPINI
Taufik Hidayat


Program Pendidikan kaum Sosialis Indonesia akan dilaksanakan

Selama lebih dari dua tahun terakhir, kaum muda (buruh, mahasiswa, dan kaum miskin kota) di Indonesia telah berjuang keras melawan kediktatoran Suharto dan penerusnya yaitu Jusuf Habibie. Mereka telah berkali-kali menunjukkan keinginan mereka untuk membebaskan diri dari penindasan dan eksploitasi kaum kapitalis.

Mengapa perlu diadakan program pendidikan bagi kaum Sosialis Indonesia?

Selama lebih dari dua tahun terakhir, kaum muda (buruh, mahasiswa, dan kaum miskin kota) di Indonesia telah berjuang keras melawan kediktatoran Suharto dan penerusnya yaitu Jusuf Habibie. Mereka telah berkali-kali menunjukkan keinginan mereka untuk membebaskan diri dari penindasan dan eksploitasi kaum kapitalis. Hal ini termanifes dalam berbagai demonstrasi massa, pemogokan, perang batu di jalanan, dan penempatan diri secara terang-terangan menentang kekuatan militer negara dan oligarti pusat dari Jakarta.

Hal ini telah menyebabkan banyak sekali aktivis dicederai, terbunuh, diculik, dan disiksa. Telah juga terjadi proses pematangan yang terus menerus di antara mahasiswa-mahasiswa muda dan kaum buruh yang bergelut mempersiapkan ide-ide dan program-program tepat untuk membawa perjuangan tersebut melangkah lebih maju. Terbentuknya begitu banyak komite, kelompok-kelompok buruh, forum-forum, front, dan partai-partai (dalam hal ini khususnya PRD) di tahun-tahun belakangan ini cukup dapat mengilustrasikannya. situasi ini digambarkan oleh sebuah koran di Indonesia sebagai "musim semi bagi ide-ide kiri".

Para mahasiswa yang terbaik juga telah mengarahkan usaha mereka untuk mengorganisir buruh, kaum tani, dan kaum miskin kota. Pengalaman ini mulai membawa pelajaran pada beberapa grup pemuda bahwa kekuatan untuk mengalahkan rezim dan untuk merubah masyarakat terletak di tangan perkasa 90 juta kelas buruh di Indonesia dalam aliansinya dengan kaum petani miskin. Para mahasiswa hanya dapat memainkan satu peran penting dalam pergerakan tetapi dengan usaha mereka sendiri mereka telah tidak mampu menjalankan tuntutan mereka, seperti contohnya penghapusan dwi fungsi angkatan bersenjata. Para mahasiswa haruslah menyadari pentingnya bergabung dengan kaum buruh dan menempatkan diri mereka sebagai sayap pemuda dari gerakan buruh. Hal itu akan mempercepat proses penjernihan ide-ide politik di tengah kaum pemuda.

Dahaga akan ide-ide

Tidak diragukan lagi bahwa di Indonesia, ketertarikan pada marxisme begitu besar. Adalah hal vital bagi para aktivis di Indonesia untuk mempelajari Marxisme secara sistematis. Namun, hal ini harus tidak dilakukan dalam cara yang abstrak dan akademis sifatnya. Mempelajari teori haruslah digabungkan dengan parisipasi aktiv dalam proses perjuangan kelas.

Pengalaman esensial dari kelas buruh yang membentuk seluruh cara pandang mereka adalah pengalaman tereksploitasi dari hari ke hari di tempat kerja mereka di bawah telapak kaki majikan. Dengan berpartisipasi dalam kehidupan yang nyata, dalam perjuangan, dan dalam organisasi para buruh, para mahasiswa akan mengembangkan kapasitas revolusioner mereka hingga maksimal. Di saat yang bersamaan, mereka akan melihat dengan lebih kongkrit bagaimana sistem Dwi Fungsi ABRI, KKN, dan penindasan politik itu jalin menjalin dengan kapitalisme sendiri dan bahwa kemiskinan, pengangguran, dll., hanya dapat diselesaikan di atas basis suatu perekonomian yang direncanakan dan dinasionalisasikan di bawah kontrol dan manajemen demokratis yang dilakukan oleh para buruh sendiri.

Hal ini akan membantu para mahasiswa untuk mengerti perjuangan demi demokrasi sebagai satu elemen - satu elemen sentral - dari sebuah program kaum sosialis terhadap terjadinya revolusi.

Apa yang disebur sebagai era "reformasi", yang kini memasuki babakan baru dengan pemerintahan "Persatuan Nasional" baru di bawah pimpinan Gus Dur dan Megawati, sekarang telah menempatkan berbagai tantangan baru pula bagi gerakan. Pemerintahan memang telah berganti, tetapi rezim secara luas tetap tak tersentuh. Reformasi-reformasi politik yang berasal dari atas ditujukan untuk menghalangi terjadinya gerakan revolusioner yang didorong dari bawah. Tetapi demokrasi di bawah sebuah sistem kapitalis yang tengah berada dalam krisis hanya bisa menjadi sebuah lelucon garing. Sistem parlementer kaum borjuis dengan elemen-elemen aturan otoritarian yang kuat hanya akan selalu sangat labil di Indonesia. Tuntutan-tuntutan tidak adil di dalam resep-resep yang diajukan IMF untuk mengembalikan batas-batas profit bagi kaum kapitalis lokal dan internasional tak terelakkan akan mendorong terjadinya reaksi massa yang dengannya rezim jadi harus bersandar pada angkatan bersenjata yang kokoh dan lain-lain mesin represif yang dimiliki negara. Indonesia adalah satu dari mata rantai terlemah dari kapitalisme di Asia Tenggara. Negeri ini akan berulang kali mengalami krisis. Perjuangan, dengan begitu, baru saja dimulai. Massa tidak akan menunggu terlalu lama bagi pemerintahan yang baru ini untuk mewujudkan janji-janjinya akan perubahan.

Untuk membantu generasi muda aktivis di Indonesia agar dapat menyelesaikan perjuangan tersebut dengan kemenangan gemilang, diperlukan adanya pemahaman yang jelas dan mendalam atas teori-teori Marxis, metoda-metodanya, program, strategi, dan taktik.

Begitu banyak karya-karya Marxis yang tidak tersedia dalam bahasa Indonesia untuk keperluan para aktivis tersebut. Program Pendidikan kaum Sosialis Indonesia, sebuah platform kolaborasi antara pemuda-pemuda sosialis Indonesia dan Eropa dan anggota-anggota serikat buruh dimaksudkan untuk menutup jurang ini. Kami berniat menghimbau siapa saja yang dapat membantu kami dalam melaksanakan tugas mempersenjatai secara politis generasi aktivis ini, sudilah mengontak kami untuk kerja-kerja penerjemahan dan editing (dari Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia) serta dukungan dana yang diperlukan.

Dukungan dana mendesak diperlukan untuk penerbitan bahan-bahan bagi pendidikan politik.

Dokumen yang paling baru yang diterbitkan dalam Bahasa Indonesia bisa jadi adalah satu-satunya analisis marxis modern mengenai keadaan ekonomi dunia yang tersedia bagi para aktivis di Indonesia sejak bertahun-tahun lamanya. (Di atas mata pisau)

Dokumen tersebut telah didistribusikan melalui mailing list dan jaringan kerja lainnya di internet. Namun kita dihadapkan dengan tuntutan keras atas adanya versi cetakan darinya. Sementara, pencetakan dokumen ataupun foto kopi terhadapnya masih sangat mahal bagi para aktivis di Indonesia, dan hanya sedikit sekali dari mereka yang memiliki akses ke internet ataupun bisa membayarnya.

Demikianlah mengapa kami memutuskan untuk menjadikan dokumen ini sebagai buku, supaya ia dapat mencapai lapisan yang lebih luas di kalangan aktivis, terutama mereka yang berada dalam gerakan kaum buruh dan petani miskin.

Kami membantu penyediaan material-material sosialis klasik yang penting untuk para aktivis. Karya Lenin, Negara dan Revolusi, kini telah on-line setelah penerjemahan versi lamanya diteliti kembali dan ditambahkan glossari baru atasnya. barangkali, ini adalah kali pertama karya besar ini kembali dalam perdaran umum setelah pembantaian terhadap kaum komunis di tahun 1965.

Dokumen-dokumen lain telah juga dipersiapkan, tetapi penerbitannya terpaksa ditunda karena kurangnya dana.

Sejumlah uang yang relatif tidak besar dapat membawa pengaruh besar dalam pendistribusian dari material pendidikan politik ini. $125 cukup untuk mencetak 300 eksemplar dari sebuah buku berhalaman 100.

Jadi, jangan ragu-ragu.

semua kontribusi dana dapat dikirimkan dengan mengunakan cek yang dibayarkan kepada ISC (ditandai "untuk ISEP" di belakangnya) dengan alamat PO Box 2626, London N1 7SQ.

Yang berikut ini adalah dokumen-dokumen pendidikan sosialis yang telah diterbitkan

Indonesia, Revolusi Asia Telah Dimulai - Sebuah analisis politik mengenai kejadian-kejadian yang menggiring terjadinya penumbangan diktator Suharto setelah ia berkuasa selama 32 tahun. Dokumen ini juga berkaitan dengan berbagai konsekuensi bagi seluruh Asia dan menawarkan pula strategi sosialis di dalamnya.

Marxisme dan Perjuangan Melawan Imperialisme - Sebuah analisis mendalam mengenai mekanisme-mekanisme dominasi Imperialis terhadap apa yang disebut sebagai Dunia Ketiga, dan membuat suatu penilaian kritis terhadap berbagai gerakan perlawanan dan perubahan sosial di belahan dunia tersebut semenjak Perang Dunia Kedua.

Di Atas Mata Pisau - Apa yang terjadi pada model ekonomi Asia setelah keruntuhan finansial di tahun 1997. Apa saja yang menjadi kesempatan bagi pemulihan jangka panjang dipertimbangkan dalam mebhasa krisis ekonomi dunia.

Negara dan Revolusi - karya teoritis Lenin yang besar yang mempersiapkan kaum sosialis Rusia untuk merebut kekuasaaan kaum kapitalis di tahun 1917. kini on-line untuk pertama kalinya.

Makna Kemerdekaan Bagi Kaum Miskin

Merasa Belum Merdeka Karena Kebutuhan Pokok Makin Sulit Didapat
Mat Ali, demikian panggilan akrabnya, adalah salah seorang yang sudah lama merasakan pahit manisnya hidup di Indonesia. Dinamika politik yang melanda Negeri ini pun tak lepas dari pengamatannya. Pria berusia 61 tahun asal Desa Mojongapit Kecamatan Jombang ini sehari-harinya bekerja sebagai pengayuh becak dan sudah ia jalani sejak puluhan tahun.

Dengan pendapatan yang tidak seberapa dari menjual jasa mengayuh becak, ia harus menghidupi isteri beserta 5 anaknya. Berbagai pengalaman hidup pernah ia rasakan demi mencukupi kebutuhan keluarga. Namun, ditengah perayaan kemerdekaan RI ke-63 ini, ia merasa ada yang kurang dalam hidupnya. Kemerdekaan hasil perjuangan para pahlawan dengan cucuran keringat dan darah, masih belum dirasakan. Baginya, kemerdekaan Indonesia adalah kemerdekaan semu. Makna kemerdekaan sebenarnya masih sebatas menjadi harapan bagi kaum miskin. ”Kita dibilang merdeka ya merdeka, tapi kemerdekaan seperti apa?” ungkap Mat Ali.



Bukan tanpa alasan Mat Ali berkata demikian, karena faktanya masyarakat masih kesulitan untuk mendapatkan kebutuhan pokok, mendapatkan layanan kesehatan yang layak serta memperoleh akses pendidikan yang murah. ”Kalau boleh dibilang, orang miskin itu gak usah sekolah dan juga gak usah sakit, bagaimana tidak, lha wong sekarang menyekolahkan anak saja mahalnya minta ampun,” tutur pria yang pernah menjabat sebagai Ketua Paguyuban Becak Jombang (Pabejo) ini.

Sebagai warga Negara, pria berperawakan kurus ini masih belum merasa merdeka. Bagi Mat Ali, kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 silam telah dirampas oleh para pemodal, pejabat yang korup serta wakil rakyat yang mengabaikan kepentingan rakyat. ”Kita memang sudah terbebas dari penjajah Belanda dan Jepang, tapi sekarang kita dijajah orang kita sendiri, ekonomi kita belum merdeka,” pungkas Mat Ali kepada Suara Warga Jombang.

Kemeriahan peringatan HUT RI ke-63 dapat dirasakan dimana-mana. Berbagai acara pun digelar demi menyemarakkan dan mengenang jasa para pahlawan pejuang kemerdekaan. Namun, diantara kemeriahan itu ternyata masih ada warga yang belum bisa menikmati kemerdekaan.

Merasa belum merdeka tidak hanya dirasakan Mat Ali seorang. Masih banyak orang yang nasibnya setali tiga uang dengan Mat Ali. Salah satunya adalah Maslikhah (37), perempuan yang setiap harinya berjualan nasi pecel keliling. Perempuan berputra 2 ini merasa kesulitan untuk menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Putra sulungnya hanya mampu menempuh pendidikan tingkat SLTP, sedangkan putra bungsunya masih belum jelas bagaimana nasib pendidikannya kelak.

”Kalau soal makan sehari-hari kita masih bisa berusaha, tapi soal pendidikan ini yang terasa makin lama makin memberatkan, SPP memang gratis tapi biaya lainnya itu lho yang memberatkan, ” kata Maslikhah.

Tidak banyak yang bisa diungkapkan oleh Maslikhah terhadap arti penting kemerdekaan RI. Padahal, Negeri ini sudah merdeka sejak 17 Agustus 1945 silam. ”Saya bingung soal kemerdekaan, yang penting bagi saya sekarang adalah bekerja agar keluarga saya bisa makan,” tutur perempuan asal Desa Sumber Mulyo Kecamatan Jogoroto ini seraya berharap agar biaya pendidikan tidak semakin mahal.

Kemerdekaan sejati adalah harapan seluruh rakyat Indonesia. Kemerdekaan menjadi tak bermakna tatkala kesejahteraan ekonomi belum dirasakan oleh seluruh rakyat. Ditengah-tengah kemeriahan peringatan HUT RI ke-63 ini, harapan masyarakat kecil dan terpinggirkan agar para pemimpin Negeri ini memperhatikan pendidikan dan kesehatan yang lebih berpihak rakyat miskin kembali mengemuka. Pendidikan dan kesehatan masih menjadi masalah besar bagi jutaan kaum miskin di Indonesia. (Ms)


Written by Muhammad Syafii

Pendidikan Khusus Kaum Miskin?

ADA kisah menarik dari Amartya Sen dalam bukunya Development as Freedom.
Dikisahkan, Sen yang berumur sekitar sepuluh tahun dan tinggal di Dhaka bermain
di kebun rumahnya pada suatu siang.

Tiba-tiba datang ke rumah Sen seseorang yang terluka tusuk-dengan pisau masih
tertancap di punggungnya-dan berlumuran darah meminta tolong. Ternyata orang
itu adalah korban salah sasaran dalam kerusuhan komunal yang sedang terjadi di
kawasan itu.

"Istri saya sudah melarang saya untuk pergi ke daerah yang terkena huru hara,
namun saya tidak punya pilihan. Saya harus mencari kerja agar keluarga saya
bisa makan hari ini," jelas orang itu kepada ayah Sen dalam perjalanan ke rumah
sakit. Orang itu, diketahui, bekerja sebagai buruh lepas harian. Akhirnya,
orang yang bernama Kader Mia itu meninggal di rumah sakit.

Ketidakbebasan kaum miskin

Sen menceritakan kisah nyata itu untuk menggambarkan betapa kemiskinan membuat
seseorang kehilangan kebebasannya. Sebabnya, preferensi orang miskin amat
terbatas. Kader Mia kehilangan nyawa karena tidak punya pilihan untuk tinggal
di rumah dan menghindari kerusuhan komunal. Dia tidak punya tabungan, bahkan
untuk hidup keluarganya selama satu hari.

Ada sisi lain dari cerita itu. Cerita itu-sedikit banyak-menggambarkan
rasionalitas kaum miskin dalam menentukan preferensi dan mengambil keputusan.
Suatu bentuk rasionalitas yang mungkin amat berbeda dari orang nonmiskin. Pokok
persoalannya, alternatif bagi orang miskin sangat terbatas.

Hal ini berkaitan langsung dengan kebijakan publik dalam mengentaskan
kemiskinan. Implikasinya, tiap kebijakan publik yang terkait pengentasan
kemiskinan harus memperhitungkan "karakteristik" preferensi yang terkait dengan
ketidakbebasan kaum miskin itu. Tanpa itu, kebijakan tidak akan bekerja secara
operasional. Itulah yang terjadi pada banyak kasus. Contohnya, petani miskin di
beberapa negara berkembang memiliki preferensi untuk menolak inovasi pertanian.
Banyak pihak-di luar petani miskin itu-yang semula menganggap preferensi petani
itu bersifat irasional.

Padahal, hal itu justru merupakan keputusan rasional petani. Inovasi pertanian
memang menjanjikan hasil produksi dan pendapatan lebih banyak. Namun, inovasi
itu juga mengandung risiko-meski mungkin tidak tinggi-berupa turunnya produksi
dan pendapatan dibanding bertani memakai cara lama. Dengan pendapatan yang
sedikit di atas batas kehidupan fisik minimum (KFM), petani menjadi takut
risiko inovasi itu.

Karena itu, tiap kebijakan publik dalam pengentasan kemiskinan harus
berbasiskan data dan kebutuhan di tingkat mikro. Karakteristik masalah di
antara kasus-kasus kemiskinan amat bervariasi dan hal itu akhirnya menentukan
preferensi kaum miskin. Ini berarti, perlu ada kebijakan khusus untuk kaum
miskin sekaligus tidak ada solusi yang seragam antara berbagai kasus kemiskinan.

Itu juga yang disampaikan ekonom dan Kepala Columbia University's Earth
Institute Jeffrey Sachs mengenai pengentasan kemiskinan. Menurut dia, diagnosa
terhadap kemiskinan harus seperti diagnosa seorang dokter terhadap pasiennya.
Dia menamakannya clinical economics. Dalam analisis ini, kemiskinan harus
dilihat secara komprehensif dan teliti sehingga melahirkan kebijakan publik
yang praktis dan tepat. Seperti penyebab sakit pada pasien, menurut Sachs,
penyebab kemiskinan antartempat atau masyarakat tidak dapat digeneralisasi.

Pendidikan kaum miskin

Preferensi dan ketidakbebasan juga harus menjadi pertimbangan kuat dalam
melaksanakan kebijakan pendidikan bagi kaum miskin. Dalam konteks ini,
pendidikan diharapkan mampu memperluas kebebasan dan preferensi kaum miskin.

Yang masih dilupakan, kebijakan pendidikan sendiri-agar bisa mencapai
tujuannya-juga harus memperhitungkan preferensi dan keterbatasan kaum miskin.
Ini terlihat, misalnya, dalam reaksi keras terhadap rencana kategorisasi jalur
pendidikan formal menjadi jalur formal mandiri dan jalur formal standar. Yang
tampak dari wacana ketidaksetujuan itu adalah ilusi normatif dan generalisasi
usulan kebijakan pendidikan bagi kaum miskin.

Faktanya, anak dari keluarga miskin terutama yang tergolong chronical poverty
atau extreme poverty memerlukan semacam kebijakan pendidikan khusus. Hal ini
disebabkan kaum miskin memiliki keterbatasan dan karakteristik masalah yang
berbeda dengan orang nonmiskin. Pendidikan yang bersifat umum-meski terasa
mulia secara normatif-tidak akan efektif memutus lingkaran setan kemiskinan
(vicious circle of poverty).

Sedikitnya, ada dua penyebab kebutuhan itu. Pertama, tingginya biaya pendidikan
yang bersifat umum, terutama bagi kaum miskin kronis. Biaya pendidikan langsung
masih bisa dibebankan kepada anggaran publik, tetapi tidak demikian halnya
dengan biaya tidak langsung seperti biaya transportasi, uang saku, dan "biaya
belajar". Biaya belajar yang sering diabaikan, misalnya, bernilai signifikan.
Jeffrey Sachs menjelaskan, 33 siswa di sebuah daerah miskin di Kenya yang
berhasil lulus ujian nasional. Kuncinya, komunitas itu mendukung aktivitas
belajar siswa di luar jam kelas dengan menyediakan makanan di siang hari.

Kedua, terkait poin pertama, kaum miskin memiliki kebutuhan untuk segera
bekerja. Waktu tunggu untuk menamatkan pendidikan tinggi, misalnya, terlalu
panjang. Ini melahirkan kebutuhan terhadap sekolah pada tingkat dasar atau
menengah yang memberikan keterampilan khusus dan sesuai kesempatan kerja.

Tanpa kebijakan yang spesifik, data BPS menunjukkan, pendidikan sampai tingkat
menengah pertama belum efektif mengatasi pengangguran. Data tahun 2003
menunjukkan, pengangguran terbuka pada kelompok tidak sekolah atau tidak tamat
SD sebesar 5,57 persen. Pengangguran terbuka pada kelompok tamatan SD dan
tamatan SMP umum lebih tinggi, berturut-turut sebesar 6,34 persen dan 11,41
persen.

Dapat ditafsirkan, pendidikan dasar yang bersifat umum seperti sekarang ini
tidak mampu menyelesaikan masalah kaum miskin. Tanpa tabungan, akses, dan
kekayaan, kaum miskin yang menyelesaikan pendidikan dasar dan menganggur akan
kian menderita. Karena itu diperlukan jenis pendidikan yang lebih spesifik bagi
kaum miskin, misalnya pendidikan berbasis keterampilan dan potensi lokal, yang
mampu menjadi bekal memperoleh pekerjaan.

Akhirnya, hindari berpikir normatif dan menerapkan generalisasi dalam kebijakan
pendidikan bagi kaum miskin. Termasuk menerapkan kebijakan yang kelihatan ideal
dan memenuhi asas normatif tetapi tidak akan berfungsi di lapangan.


OLEH : Tata Mustasya Peneliti Ekonomi The Indonesian Institute, Alumnus FEUI

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0505/12/opini/1744894.htm

SISTEM EVALUASI PENDIDIKAN

Untuk keperluan evaluasi, diadakan ujian tengah semester (sisipan) dan ujian akhir semester untuk setiap mata kuliah yang diselenggarakan. Ujian ini dijadwalkan dalam ujian akhir semester, sedang ujian-ujian tengah semester diadakan dalam periode kuliah. Penilaian akhir terhadap seseorang mahasiswa dalam sesuatu mata kuliah didasarkan pada hasil ujian-ujian itu, hasil kegiatan rangkaiannya dan prestasi harian misal pekerjaan rumah, test singkat, penulisan makalah.
Sistem Penilaian

Ujian adalah suatu sarana untuk mengukur kemajuan dan kemampuan dalam menyerap materi kuliah. Ujian dilaksanakan untuk menilai kemampuan mahasiswa dalam memahami atau menguasai mata kuliah yang diajarkan.
Jenis Ujian

a). Ujian tengah semester (UTS) dan ujian akhir semester (UAS).

b). Ujian kuliah kerja praktek (Pendadaran/Komprehensip).

c). Ujian Negara.

Ujian Tengah Semester ( UTS) dan ujian Akhir Semester (UAS)
Sistem Ujian

Ujian Tengah Semester (UTS) & Ujian Akhir Semester ( UAS) dilaksanakan secara tertulis.
Peserta ujian :

Peserta ujian adalah mahasiswa yang telah menyelesaikan syarat–syarat sebagai berikut:
Terdaftar sebagai mahasiswa pada AMIK – ASTER Yogyakarta.
Mata ujian yang boleh diikuti harus sesuai dengan yang tercantum dalam Kartu Rencana Study (KRS) dan telah disahkan oleh dosen pembimbing akademik (DPA).
Memenuhi persyaratan administratif & mematuhi tata tertib ujian.
Nilai Ujian
Nilai akhir ujian dinyatakan dengan huruf sabagai berikut :
Huruf
Bobot
Predikat
Keterangan

A Sangat baik

B Baik

C Cukup

D Kurang

E Sangat Kurang
4 Lulus

3 Lulus

2 Lulus

1 Lulus

0 Tidak lulus

Nilai ujian yang sudah dikirim ke AMIK "ASTER" oleh dosen penguji mata kuliah tidak dapat diubah dengan alasan apapun.
Ketentuan lain ujian semester

Mahasiswa yang tidak dapat mengikuti ujian sesuai dengan jadwal yang ditentukan tidak ada ujian susulan. Kecuali kalau dosen yang bersangkutan bersedia mengadakan ujian susulan.
Ujian Kuliah Kerja Praktek ( Pendadaran)
Sistem Ujian

Ujian Pendadaran kuliah kerja praktek dilaksanakan dihadapan Tim Penguji yang terdiri dari seorang Ketua dan 3 orang Anggota Penguji.
Peserta Ujian

Peserta Ujian Pendadaran adalah mahasiswa yang telah memenuhi syarat sebagai berikut:
Terdaftar sebagai mahasiswa AMIK "ASTER" Yogyakarta.
Mata kuliah kerja praktek harus tercantum dalam KRS yang disahkan oleh Dosen Pembimbing Akademik (DPA).
Laporan Kerja Praktek yang telah disahkan oleh Dosen Pembimbing KKP.
Telah memenuhi syarat habis teori.

F. Evaluasi dan Kelulusan

1. Evaluasi Hasil Studi Semester

Evaluasi dilakukan pada setiap akhir semester meliputi semua aspek kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh mahasiswa pada semester yang bersangkutan. Evaluasi ini digunakan untuk menentukan beban studi yang dapat diambil pada tiap tiap semester berikutnya.

Baban SKS yang dapat diambil pada setiap semester adalah sebagai berikut :
IPS > 3.00 dapat mengambil maksimal 24 sks.
IPS 2.50 – 2.99 dapat mengambil maksimal 21 sks.
IPS 2.00 – 2.49 dapat mengambil maksimal 18 sks.
IPS 1.50 – 1.99 dapat mengambil maksimal 15 sks.
IPS < 1.50 dapat mengambil maksimal 12 sks.

2. Evaluasi Hasil Studi Kumulatif.

Predikat kelulusan tediri atas 3 tingkatan yaitu : memuaskan, sangat memuaskan, dan cum loude yang dinyatakan dalam transkrip akademik.

Indeks Prestasi Kumulatif sebagai dasar penentuan predikat kelulusan adalah sebagai berikut :
IPK 2.00 - 2.75 memuaskan
IPK 2.76 - 3.50 sangat memuaskan
IPK 3.51 - 4.00 cum loude

Predikat kelulusan cum loude ditentukan juga dengan memperhatikan masa studi maksimum, yaitu n tahun (waktu program studi ) + 1 tahun.

Pengukuran, Penilaian dan Evaluasi Pendidikan

a. Pengukuran

Pengukuran dapat diartikan dengan kegiatan untuk mengukur sesuatu. Pada hakekatnya, kegiatan ini adalah membandingkan sesuatu dengan atau sesuatu yang lain (Anas Sudijono, 1996: 3) Jika kita mengukur suhu badan seseorang dengan termometer, atau mengukur jarak kota A dengan kota B, maka sesungguhnya yang sedang dilakukan adalah mengkuantifikasi keadaan seseorang atau tempat kedalam angka. Karenanya, dapat dipahami bahwa pengukuran itu bersifat kuantitatif

Maksud dilaksanakan pengukuran sebagaimana dikemukakan Anas Sudijono (1996: 4) ada tiga macam yaitu : (1) pengukuran yang dilakukan bukan untuk menguji sesuatu seperti orang mengukur jarak dua buah kota, (2) pengukuran untuk menguji sesuatu seperti menguji daya tahan lampu pijar serta (3) pengukuran yang dilakukan untuk menilai. Pengukuran ini dilakukan dengan jalan menguji hal yang ingin dinilai seperti kemajuan belajar dan lain sebagainya.


Dalam dunia pendidikan, yang dimaksud pengukuran sebagaimana disampaikan Cangelosi (1995: 21) adalah proses pengumpulan data melalui pengamatan empiris. Proses pengumpulan ini dilakukan untuk menaksir apa yang telah diperoleh siswa setelah mengikuti pelajaran selama waktu tertentu. Proses ini dapat dilakukan dengan mengamati kinerja mereka, mendengarkan apa yang mereka katakan serta mengumpulkan informasi yang sesuai dengan tujuan melalui apa yang telah dilakukan siswa.
Menurut Mardapi (2004: 14) pengukuran pada dasarnya adalah kegiatan penentuan angka terhadap suatu obyek secara sistematis. Karakteristik yang terdapat dalam obyek yang diukur ditransfer menjadi bentuk angka sehingga lebih mudah untuk dinilai. aspek-aspek yang terdapat dalam diri manusia seperti kognitif, afektif dan psikomotor dirubah menjadi angka. Karenanya, kesalahan dalam mengangkakan aspek-aspek ini harus sekecil mungkin. Kesalahan yang mungkin muncul dalam melakukan pengukuran khususnya dibidang ilmu-ilmu sosial dapat berasal dari alat ukur, cara mengukur dan obyek yang diukur.

Pengukuran dalam bidang pendidikan erat kaitannya dengan tes. Hal ini dikarenakan salah satu cara yang sering dipakai untuk mengukur hasil yang telah dicapai siswa adalah dengan tes. Selain dengan tes, terkadang juga dipergunakan nontes. Jika tes dapat memberikan informasi tentang karakteristik kognitif dan psikomotor, maka nontes dapat memberikan informasi tentang karakteristik afektif obyek.

b. Penilaian

Penilaian merupakan bagian penting dan tak terpisahkan dalam sistem pendidikan saat ini. Peningkatan kualitas pendidikan dapat dilihat dari nilai-nilai yang diperoleh siswa. Tentu saja untuk itu diperlukan sistem penilaian yang baik dan tidak bias. Sistem penilaian yang baik akan mampu memberikan gambaran tentang kualitas pembelajaran sehingga pada gilirannya akan mampu membantu guru merencanakan strategi pembelajaran. Bagi siswa sendiri, sistem penilaian yang baik akan mampu memberikan motivasi untuk selalu meningkatkan kemampuannya.

Dalam sistem evaluasi hasil belajar, penilaian merupakan langkah lanjutan setelah dilakukan pengukuran. informasi yang diperoleh dari hasil pengukuran selanjutnya dideskripsikan dan ditafsirkan. Karenanya, menurut Djemari Mardapi (1999: 8) penilaian adalah kegiatan menafsirkan atau mendeskripsikan hasil pengukuran. Menurut Cangelosi (1995: 21) penilaian adalah keputusan tentang nilai. Oleh karena itu, langkah selanjutnya setelah melaksanakan pengukuran adalah penilaian. Penilaian dilakukan setelah siswa menjawab soal-soal yang terdapat pada tes. Hasil jawaban siswa tersebut ditafsirkan dalam bentuk nilai.

Menurut Djemari Mardapi (2004: 18) ada dua acuan yang dapat dipergunakan dalam melakukan penilaian yaitu acuan norma dan acuan kriteria. Dalam melakukan penilaian dibidang pendidikan, kedua acuan ini dapat dipergunakan. Acuan norma berasumsi bahwa kemampuan seseorang berbeda serta dapat digambarkan menurut kurva distribusi normal. Sedangkan acuan kriteria berasumsi bahwa apapun bisa dipelajari semua orang namun waktunya bisa berbeda.

Penggunaan acuan norma dilakukan untuk menyeleksi dan mengetahui dimana posisi seseorang terhadap kelompoknya. Misalnya jika seseorang mengikuti tes tertentu, maka hasil tes akan memberikan gambaran dimana posisinya jika dibandingkan dengan orang lain yang mengikuti tes tersebut. Adapun acuan kriteria dipergunakan untuk menentukan kelulusan seseorang dengan membandingkan hasil yang dicapai dengan kriteria yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Acuan ini biasanya digunakan untuk menentukan kelulusan seseorang. Seseorang yang dikatakan telah lulus berarti bisa melakukan apa yang terdapat dalam kriteria yang telah ditetapkan dan sebaliknya. Acuan kriteria, ini biasanya dipergunakan untuk ujian-ujian praktek.
Dengan adanya acuan norma atau kriteria, hasil yang sama yang didapat dari pengukuran ataupun penilaian akan dapat diinterpretasikan berbeda sesuai dengan acuan yang digunakan. Misalnya, kecepatan kendaraan 40 km/jam akan memiliki interpretasi yang berbeda apabila kendaraan tersebut adalah sepeda dan mobil.

c. Evaluasi

Pengukuran, penilaian dan evaluasi merupakan kegiatan yang bersifat hierarki. Artinya ketiga kegiatan tersebut dalam kaitannya dengan proses belajar mengajar tidak dapat dipisahkan satu sama lain dan dalam pelaksanaannya harus dilaksanakan secara berurutan.

Evaluasi Menurut Suharsimi Arikunto (2004: 1) adalah kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk menentukan alternatif yang tepat dalam mengambil keputusan. Dalam bidang pendidikan, evaluasi sebagaimana dikatakan Gronlund (1990: 5) merupakan proses yang sistematis tentang mengumpulkan, menganalisis dan menafsirkan informasi untuk menentukan sejauhmana tujuan pembelajaran telah dicapai oleh siswa. Menurut Djemari Mardapi (2004: 19) evaluasi adalah proses mengumpulkan informasi untuk mengetahui pencapaian belajar kelas atau kelompok.

Dari pendapat di atas, ada beberapa hal yang menjadi ciri khas dari evaluasi yaitu: (1) sebagai kegiatan yang sistematis, pelaksanaan evaluasi haruslah dilakukan secara berkesinambungan. Sebuah program pembelajaran seharusnya dievaluasi disetiap akhir program tersebut, (2) dalam pelaksanaan evaluasi dibutuhkan data dan informasi yang akurat untuk menunjang keputusan yang akan diambil. Asumsi-asumsi ataupun prasangka. bukan merupakan landasan untuk mengambil keputusan dalam evaluasi, dan (3) kegiatan evaluasi dalam pendidikan tidak pernah terlepas dari tujuan-tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan sebelumnya. Karena itulah pendekatan goal oriented merupakan pendekatan yang paling sesuai untuk evaluasi pembelajaran.

EVALUASI PENDIDIKAN

PENGERTIAN EVALUASI PENDIDIKAN

Menurut pengertian bahasa kata evaluasi berasal dari bahasa Inggris evaluation yang berarti penilaian atau penaksiran (John M. Echols dan Hasan Shadily: 1983). Menurut Stufflebeam, dkk (1971) mendefinisikan evaluasi sebagai the process of delineating, obtaining, and providing useful information for judging decision alternatives," Artinya evaluasi merupakan proses menggambarkan, memperoleh, dan menyajikan informasi yang berguna untuk merumuskan suatu alternatif keputusan.

Sedangkan, Rooijackers Ad mendefinisikan evaluasi sebagai "setiap usaha atau proses dalam menentukan nilai". Secara khusus evaluasi atau penilaian juga diartikan sebagai proses pemberian nilai berdasarkan data kuantitatif hasil pengukuran untuk keperluan pengambilan keputusan. Dan menurut Anne Anastasi (1978) mengartikan evaluasi sebagai "a systematic process of determining the extent to which instructional objective are achieved by pupils". Evaluasi bukan sekadar menilai suatu aktivitas secara spontan dan insidental, melainkan merupakan kegiatan untuk menilai sesuatu secara terencana, sistematik, dan terarah berdasarkan tuiuan yang jelas.

Evaluasi berkaitan erat dengan pengukuran dan penilaian yang pada umumnya diartikan tidak berbeda (indifferent), walaupun pada hakekatnya berbeda satu dengan yang lain. Pengukuran (measurement) adalah proses membandingkan sesuatu melalui suatu kriteria baku (meter, kilogram, takaran dan sebagainya), pengukuran bersifat kuantitatif. Penilaian adalah suatu proses transformasi dari hasil pengukuran menjadi suatu nilai. Evaluasi
meliputi kedua langkah di atas yakni mengukur dan menilai yang digunakan dalam rangka pengambilan keputusan.

Evaluasi pendidikan memberikan manfaat baik bagi siswa/peserta pendidikan, pengajar maupun manajemen. Dengan adanya evaluasi, peserta didik dapat mengetahui sejauh mana keberhasilan yang telah digapai selama mengikuti pendidikan. Pada kondisi dimana siswa mendapatkan nilai yang mernuaskan maka akan memberikan dampak berupa suatu stimulus, motivator agar siswa dapat lebih meningkatkan prestasi. Pada kondisi dimana hasil yang dicapai tidlak mernuaskan maka siswa akan berusaha memperbaiki kegiatan belajar, namun demikian sangat diperlukan pemberian stimulus positif dari guru/pengajar agar siswa tidak putus asa. Dari sisi pendidik, hasil evaluasi dapat digunakan sebagai umpan balik untuk menetapkan upaya upaya meningkatkan kualitas pendidikan.



RUANG LINGKUP

Evaluasi pendidikan mencakup dua sasaran pokok, yaitu : evaluasi makro (program) dan evaluasi mikro (kelas). Secara umum, evaluasi terbagi dalam tiga tahapan sesuai proses belajar mengajar yakni dimulai dari evaluasi input, evaluasi proses dan evaluasi output.

Setiap jenis evaluasi memiliki fungsi yang berbeda satu dengan yang lain. Evaluasi input mencakup fungsi kesiapan penempatan dan seleksi. Evaluasi proses mencakup formatif, diagnostik dan monitoring, sedangkan evaluasi output mencakup sumatif.

Fungsi kesiapan penempatan dan seleksi adalah penilaian yang ditujukan untuk mengetahui ketrampilan prasyarat yang diperlukan bagi suatu program belajar dan penguasaan belajar seperti yang diprogramkan sebelum memulai kegiatan belajar untuk program tersebut. Fungsi seleksi yaitu penilaian yang bertujuan untuk keperluan seleksi, seperti ujian saringan masuk perguruan tinggi tertentu dengan berdasarkan kriteria tertentu.
Fungsi formatif yaitu penilaian yang dilaksanakan pada akhir program belajar mengajar untuk melihat tingkat keberhasilan proses belajar mengajar. Adapun fungsi diagnostik dan monitoring adalah penilaian yang bertujuan untuk mengidentifikasi kelemahan kelemahan siswa dan faktor yang menjadi penyebab serta menetapkan cara untuk mengatasi kesulitan belajar tersebut.

Fungsi surnatif adalah penilaian yang dilaksanakan pada akhir unit program, dengan tujuan untuk melihat hasil yang dicapai oleh para siswa. Dengan kata lain berfungsi untuk mengetahui seberapa jauh suatu proses pendidikan telah mencapai tujuan yang telah ditentukan.

EVALUASI PROGRAM

Para ahli evaluasi telah mengembangkan beberapa jenis evaluasi program. Jenis evaluasi program tersebut sangat beragarn dan variatif, namun kesemuanya dapaat ditsimpulkan bahwa pada akhirnya hasil dari evaluasi digunakan sebagai kepentingan pengambilan keputusan. Berikut ini diuraikan berbagai jenis evaluasi program yang samappai saat ini masih digunakan, sebagai berikut:

CIPP (Context Input Process Product)

CIPP merupakan salah satu evaluasi program yang dapat dikatakan cukup niemadai. Model ini telah dikembangkan oleh Daniel L. Stufflebearn dkk (1967) di Ohio State University. CIPP merupakan akronim, terdid dari : context evaluation, input evaluation, process evaluation dan product evaluation dan setiap tipe evaluasi terikat pada perangkat pengambilan keputusan yang menyangkut perencanaan dan operasi sebuah program.

Evaluasi Konteks

Meliputi analisis masalah yang berhubungan dengan lingkungan program yang dilaksanakan, yang secara khusus berpengaruh pada konteks masalah yang menjadi komponen dalam piogram. Evaluasi konteks menjelaskan atau
menggambarkan secara jelas tentang tujuan program yang akan dicapai. Secara singkat dapat dikatakan evaluasi konteks; merupakan evaluasi terhadap kebutuhan, yaitu memperkecil kesenjangan antara kondisi aktual dengan kondisi yang diharapkan.

Dapat disimpulkan bahwa evaluasi konteks adalah evaluasi terhadap kebutuhan, tujuan pernenuhan dan karakteristik individu yang menangani. Seorang evaluator harus sanggup menentukan prioritas kebutuhan dan memilih tujuan yang paling menunjang kesuksesan program. Menurut Gilbert Sax, evaluasi konteks merupakan pengambaran dan spesifikasi tentang lingkungan program. Evaluasi konteks terutama berhubungan dengan intervensi yang dilakukan dalam program.

Untuk memudahkan memahami evaluasi konteks, evaluator dapat menjawab pertanyaan pertanyaan sebagai berikut :

1) Kebutuhan kebutuhan apa saja yang belum terpenuhi oleh kegiatan program ?
2) Tujuan program apa saja yang menjadi prioritas pencapaiannya ?
3) Tujuan pengembangan manakah yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan ?
4) Tujuan tujuan manakah yang paling mudah dilaksanakan ?
5) Tujuan tujuan program manakah yang benar benar sangat diinginkan masyarakat ?

Dalam menjawab pertanyaan pertanyaan tersebut, stufflebleam memberikan saran sebagai berikut, misalnya dalam menentukan kebutuhan yang belum terpenuhi dengan meninjau kembali tujuan program kemudian menilai pelaksanaan program. Dan kedua hal ini diketahui kesenjangannya. Hal itulah yang menjadi kebutuhan yang belum terpenuhi.




Evaluasi Masukan

Meliputi pertimbangan tentang sumber dan strategi yang akan digunakan dalam upaya mencapai suatu program. Informasi informasi yang terkumpul selama tahap evaluasi hendaknya dapat digunakan oleh pengambil keputusan untuk menentukan sumber dan strategi analisis masalah yang berhubungan dengan lingkungan program yang di dalam keterbatasan dan hambatan yang ada.

Penilai masukan boleh rnempertimbangkan sumber tertentu apabila sumber-sumber tersebut terlalu mahal untuk dibeli atau tidak tersedia, dan pada pihak lain terdapat alternatif yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan program. Demikian juga berkaitan dengan tenaga tenaga yang dapat melaksanakan program dapat diperhitungkan sebagai sumber masukan.

Evaluasi masukan membutuhkan evaluator yang memiliki pengetahuan luas dan berbagai ketrampilan tentang berbagai kemungkinan sumber dan strategi yang akan digunakan mencapai tujuan program. Pengetahuan tersebut bukan hanya tentang evaluasi saja tetapi juga dalam efektifitas program dan pengetahuan subtansi program itu sendiri dan berbagai bentuk dalam pengeluaran program yang akan dicapai.

Menurut Stufflebean evaluasi masukan dilakukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :

1) Apakah strategi yang digunakan oleh program sudah sesuai dengan pencapaian tujuan?
2) Apakah sumber sumber termasuk (SDM) yang ada sudah sesuai dengan beban program yang akan dijalankan?
3) Apakah strategi yang diambil ini merupakan strategi yang benar benar sudah disepakati bersama oleh pengelola program?
4) Strategi yang manakah yang sudah ada sebelumnya dan sudah cocok untuk pencapaian tujuan yang lalu?
5) Sumber sumber daya manakah yang benar benar mempunyai kontribusi yang paling dominan?
6) Prosedur dan jadwal khusus manakah yang digunakan untuk melaksanakan strategi tersebut?
7) Apakah yang dapat dikatakan sebagai ciri khusus dari kegiatan yang dilaksanakan di dalam program dan apa pula akibat yang ditimbulkannya.
8) Bagaimanakah urutan prioritas sumber daya dan strategi yang paling mempunyai kontribusi terhadap pencapaian program?




Evaluasi Proses

Meliputi evaluasi yang telah ditentukan (dirancang) dan diterapkan di dalam pratek (proses). Seorang penilai proses mungkin disebut sebagai pemonitor sistern pengumpulan data dari pelaksanaan program sehari hari. Misalnya saja evaluator harus mencatat secara detail apa saja yang terjadi dalam pelaksanaan program. Pemonitor harus mempunyai catatan harian dan perkembangan setiap langkah dalarn pelaksanaan program. Tanpa mengetahui catatan tentang data pelaksanaan program tidaklah rnungkin pengambil keputusan menentukan tindak lanjut program apabila waktu berakhir telah tiba. Tugas lain dari penilai proses adalah melihat catatan kejadian kejadian yang muncul selama program tersebut berlangsung dari waktu ke waktu. Catatan catatan semacam itu barangkali akan sangat berguna dalam menentukan kelemahan dan kekuatan atau faktor pendukung serta faktor penghambat program jika dikaitkan dengan keluaran yang ditemukan.

Suatu program yang baik (yang pantas untuk dinilai) tentu sudah dirancang mengenai siapa diberi tanggung jawab dalam kegiatan apa, apa bentuk kegiatannya, dan kapan kegiatan tersebut sudlah terlaksana. Tujuannya adalah membantu penanggung jawab pemantau (monitor) agar lebih mudah mengetahui kelemahan kelemahan program dari berbagai aspek untuk kemudian dapat dengan mudah melakukan remedial atau perbaikan di dalam proses pelaksanaan program.
Stufflebean mengemukakan pertanyaan pertanyaan sehubungan dengan evaluasi proses ini, yaitu :
1) Apakah kegiatan program sudah sesuai dengan jadwal yang ditentukan ?
2) Apakah pelaksana sudah melakukan tugasnya sesuai dengan job-nya ?
3) Komponen apa saja yang belum sesuai dengan rancangan yang telah dibuat ?
4) Target komponen apa saja yang kiranya sulit dicapai dalam pelaksanaan program ? mengapa ? dan bagaimana solusinya ?
5) Perlukah para staf pelaksana diberi orientasi kembali mengenai mekanisme kegiatan program ?
6) Apakah fasilitas yang telah disediakan oleh pengelola telah sesuai dengan kegunaan fungsinya ? kalau tidak mengapa ?
7) Apakah fasilitas dan bahan penunjang lain telah digunakan secara tepat ?
8) Hambatan hambatan penting apakah yang dijumpai selama pelaksanaan program berlangsung dan perlu diatasi ?

Untuk membantu menjawab pertanyaan pertanyaan tersebut, Stufflebeam mengajukan saran kepada penanggung jawab program agar setiap kali diadakan diskusi yang diikuti oleh para staf pelaksana agar para staf tersebut selalu sadar akan mekanisme program. Disamping itu hambatan hambatan yang timbul selama dalam proses, segera dapat diidentifikasi, dan sambil jalan dapat diatasi dan diperbaiki.
Evaluasi Hasil

Adalah evaluasi yang dilakukan oleh penilai di dalam mengukur keberhasilan pencapaian tujuan tersebut dikembangkan dan diadministrasikan. Data yang dihasilkan akan sangat berguna bagi pengambil keputusan dalam menentukan apakah program diteruskan dimodifikasi atau dihentikan.

Pengembangan jenis evaluasi program model CIPP telah menekankan kerjasama dan keakraban antara tim penilai, pengelola dengan pengambil keputusan tentang program. Setiap bentuk evaluasi yang dijelaskan di atas telah menekankan tiga tugas pokok yang dilakukan yaitu :

1) Membeberkan semua jenis informasi yang diperlukan oleh pengambil keputusan.
2) Memperoleh informasi.
3) Mensintesakan informasi informasi sedemikian rupa sehingga secara maksimal dapat dimanfaatkan oleh para pengambil keputusan.

Evaluasi hasil merupakan tahap terakhir di dalam jenis CIPP yang dikembangkan oleh Stufflebeam. Fungsinya adalah membantu penanggung jawab program dalam mengambil keputusan : meneruskan, memodifikasi atau menghentikan program. Evaluasi hasil mernerlukan perbandingan antara tujuan yang ditetapkan dalarn rancangan dengan hasil program dicapai. Hasil yang dinilai dapat berupa skor tes, data observasi, diagram data, sosiometri dan lain sebagainya, yang masing masing dapat ditelusuri kaitannya dengan tujuan tujuan yang lebih rinci. Kita dapat memperbandingkan pencapaian tujuan dengan hasil yang dicapai rnelalui presentase tiap tiap komponen program. Kemudian membuat analisis kualitatif mengapa sekian persen dicapai dan mengapa hal itu terjadi.

Stufflebeam telah menyarankan beberapa pertanyaan berkenaan dengan evaluasi hasil, sebagai berikut:

1) Tujuan tujuan manakah yang sudah dicapai ?
2) Pertanyaan pertanyaan seperti apakah yang dapat dibuat yang menunjukkan hubungan antara spesifilkasi prosedur dengan hasil nyata dari kegiatan program?
3) Kebutuhan individu manakah yang telah terpenuhi sebagai akibat dari kegiatan program ?
4) Hasil jangka panjang yang nampak sebagai akibat dan kegiatan program ?

Apabila tujuan yang ditetapkan program telah tercapai maka ukurannya tergantung dari kriteria yang telah ditetapkan. Ada kriteria (tolak ukur) yang menggunakan 100% sebagai standar, ada pula yang hanya 80%. Hal itu tergantung dari kepentingan setiap aspek yang diukur misalnya kesulitan pencapaian, kesederhanaan aspek bagi program dan sebagainya.

Eksperimen tentang perlakuan ada kalanya dinilai dengan membandingkan keberhasilannya melalui dua program atau lebih. Berhasil tidaknya variabel eksperimen dilihat pada akhir pemberian eksperimen tersebut. Efektifitas perlakuan yang diterapkan pada satu program dapat dilihat dengan cara membandingkan rerata (mean) skor akhir kedua program yang satu merupakan kelompok eksperimen dengan yang bukan. Tidak jarang terjadi bahwa pimpinan yang berstatus sebagai pengambil keputusan, tidak begitu memaharni tentang strategi eksperimen. Dalam hal seperti ini mereka disarankan bertanya kepada ahli yang rnemahami atau pada para pakar di perguruan tinggi.

Walaupun hasil eksperimen menunjukkan adanya perbedaan antara kedua kelompok (yang dikenal eksperimen dan yang bukan) namun pengambil keputusan tidak dapat begitu cepat mernutuskan untuk meneruskan, memodifikasi atau menghentikan perlakuan tersebut. Faktor faktor fain yang harus diikutsertakan sebagai bahan pertimbangan misainya biaya yang harus dipikul oleh individu atau masyarakat. Kemanfaatan (benefit) program yang nampaknya baru dapat dilihat atau dinikmati setelah jangka waktu lama. Perlu dipertimbangkan pengambilan kaputusannya dalam jangka waktu yang relatif lama pula.

Model Kesenjangan (Discrepancy)

Evaluasi kesenjangan program, begitu orang menyebutnya. Kesenjangan program adalah sebagai suatu keadaan antara yang diharapkan dalam rencana dengan yang dihasilkan dalam pelaksanaan program. Evaluasi kesenjangan dimaksudkan untuk mengetahui tingkat kesesuaian antara standard yang sudah ditentukan dalam program dengan penampilan aktual dari program tersebut.

Standar adalah: kriteria yang telah dikembangkan dan ditetapkan dengan hasil yang efektif. Penampilan adalah: sumber, prosedur, manajemen dan hasil nyata yang tampak ketika program dilaksanakan.







Langkah Langkah dalam Evaluasi Kesenjangan

Langkah langkah atau tahap tahap yang dilalui dalam mengevaluasi kesenjangan adalah sebagai berikut:

1. Pertama : Tahap Penyusunan Desain.
Dalam tahap ini dilakukan kegiatan
a. Merumuskan tujuan program
b. Menyiapkan murid, staf dan kelengkapan lain
c. Merumuskan standar dalam bentuk rumusan yang menunjuk pada suatu yang dapat diukur, biasa di dalam langkah ini evaluator berkonsultasi dengan pengembangan program.

Contoh rumusan standar:
"Keberhasilan Program KPSM yang distandarkan adalah 70 % Warga Belajar meningkat pendapatannya dan ketrampilannya.
2. Kedua : Tahap Penetapan Kelengkapan Program Yaitu melihat apakah kelengkapan yang tersedia sudah sesuai dengan yang diperlukan atau belum. Dalam tahap ini dilakukan kegiatan
a. Meninjau kembali penetapan standar
b. Meninjau program yang sedang berjalan
c. Meneliti kesenjangan antara yang direncanakan dengan yang sudah dicapai.
3. Ketiga : Tahap Proses (Process)
Dalam tahap ketiga dari evaluasi kesenjangan ini adalah mengadakan evaluasi, tujuan tujuan manakah yang sudah dicapai. Tahap ini juga disebut tahap “mengumpulkan data dari pelaksanaan program”.
4. Keempat : Tahap Pengukuran Tujuan (Product)
Yakni tahap mengadakan analisis data dan menetapkan tingkat output yang diperoleh. Pertanyaan yang diajukan dalam tahap ini adalah .apakah program sudah mencapai tujuan terminalnya?"
5. Kelima : Tahap Pembandingan (Programe Comparison)
Yaitu tahap membandingkan hasil yang telah dicapai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Dalam tahap ini evaluator menuliskan semua penemuan kesenjangan untuk disajikan kepada para pengambil keputusan, agar mereka (ia) dapat memutuskan kelanjutan dari program tersebut. Kemungkinannya adalah a. Menghentikan program b. Mengganti atau merevisi c. Meneruskan d, Memodifikasi




tujuannya (?)

Kunci dari evaluasi discrepancy adalah dalam hal membandingkan penampilan dengan tujuan yang telah ditetapkan.


DESAIN EVALUASI

Sebelum melakukan desain evaluasi maka terlebih dahulu harus dilakukan fokus evaluasi yaitu mengkhususkan apa dan bagaimana evaluasi akan dilakukan. Bila evaluasi sudah terfokus, maka ini berarti proses dan desain dimulai. Ada tiga elernen dalam proses pemfokusan, yaitu : mempertemukan pengetahuan dan harapan, mengumpulkan informasi, dan merumuskan rencana evaluasi.

Penyusunan desain evaluasi program merupakan langkah pertama dan menyangkut aspek perencanaan. Di dalam tahap perencanaan ini diuraikan garis garis besar mengenai hal hal lain yang berkaitan dengan kegiatan evaluasi tersebut. Evaluasi program merupakan pelayanan bantuan kepada pelaksana program untuk memberikan input bagi pengambilan keputusan tentang kelangsungan program tersebut. Oleh karena itu, maka pelaksana evaluasi program harus memahami seluk beluk program yang dinilai.

1. Pengambilan keputusan mengeluarkan kebijakan mengenai pelaksanaan suatu program.
2. Kepala Sekolah menunjuk evaluator program (dapat dari bagian dalam pengelola ataupun orang luar dari program) untuk melaksanakan evaluasi program setelah melaksanakan selama jangka waktu tertentu.
3. Penilai program melaksanakan kegiatan penilaiannya, mengumpulkan data, menganalisis dan menyusun laporan.
4. Penilai program menyampaikan penernuannya kepada pengelola program.

Adapun komponen komponen evaluasi program, sebagai berikut:

1. Tujuan yang ditetapkan oleh pengambil keputusan dan diberitahukan kepada pelaksana program.
2. Kegiatan semua aktifitas yang dilakukan untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu, kegiatan harus relevan benar dengan tujuan
3. Sarana fasilitas penunjang kegiatan
4. Person pelaksana kegiatan
5. Hasil keluaran sebagai akibat dari kegiatan,

Efektifitas program ditentukan oleh sejauh mana hasil ini telah mendekati tujuan. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan seorang evaluator dalam penyusunan desain evaluasi program. Sebelum evaluator menyusun desain terlebih dahulu harus mengetahui betul apa tugasnya. Secara garis besar terdapat tiga hal yang harus ditangani oleh seorang evaluator, yaitu :

1. Keberhasilan pencapaian tujuan:
Hubungan antara tujuan dengan hasil merupakan hal utama yang harus ditangani oleh seorang evaluator. Mereka harus memusatkan perhatiannya terhadap keberhasilan ini. Namun, evaluator tidak boleh terpaku terlalu erat dengan tujuan. Hal ini disebabkan, ada beberapa program mencanturnkan dengan jelas apa yang ingin dicapai dengan kegiatannya akan tetapi ada pula yang ticlak merumuskannya sama sekali. Pada kondisi ini, evaluator harus mencari informasi mengenai tujuan program tersebut karena ticlak mungkin seorang evaluator bekerja tanpa mengetahui tujuan apa yang ingin dicapai.

2. Tujuan program, yang dirumuskan oleh pengembang program.
Tujuan umum suatu program akan dijadikan titik awal kegiatan evaluator dalam menyusun desain evaluasi.

3. Proses yang terjadi dalam program, meliputi kegiatan, sarana penunjang dan personil pelaksana program.

Dalam hal ini, kegiatan merupakan aktualisasi yang ditentukan oleh para pengembang program. Kegiatan menunjukkan pada aktivitas yang diperhitungkan dari prosedur, teknik dan proses lain yang berkaitan dengan sumber pencapaian tujuan. Banyak evaluator program hanya terpaku pada hasil pencapaian dan kurang memperhatikan kegiatan yang menghasilkan pencapaian tujuan tersebut. Sarana biasanya terwujud


pada peralatan, ruangan, biaya dan hal hal lain yang diperhitungkan antara lain: Apakah sarana yang digunakan sudah tepat ? Apakah program itu mahal ? Apakah ada biaya yang belum diperhitungkan ?; sedangkan Person adalah pelaksana program baik yang tergolong sebagai tenaga edukatif, administratif maupun pengelola.


Langkah Penyusunan Desain

Sesudah memahami tentang isi yang terdapat di dalam program yang merupakan objek evaluasi, maka langkah selanjutnya adalah melakukan penyusunan desain. Adapun hal hal yang perlu dilaksanakan, antara lain:

1 . Latar belakang.
2. Problematika (yang akan dicari jawabannya).
3. Tujuan evaluasi.
4. Populasi dan sampel
5. Instrumen dan sumber data
6.Teknik analisis data.

Langkah Penyusunan Instrumen

Adapun langkah langkah yang harus dilalui dalam menyusun instrumen, adalah :
1. Merurnuskan tujuan yang akan dicapai dengan instrumen yang akan disusun. Bagi para peneliti pemula, merumuskan tujuan seperti ini tidak lazim. Padahal sebenarnya langkah ini sangat perlu. Ticlak mungkin kiranya, atau apabila mungkin akan sukar sekali dilakukan, menyusun instrumen tanpa tahu untuk apa data terkumpul, apa yang harus dilakukan sesudah itu, apa fungsi setiap jawab dalam setiap butir bagi jawaban problematika dan sebagainya.
2. Membuat kisi kisi yang mencanangkan tentang perincian variabel dan jenis instrumen yang akan digunakan untuk mengukur bagian variabel yang bersangkutan.
3. Membuat butir butir instrumen.
Sesudah memiliki kisi kisi seperti contoh di atas, langkah penilai berikutnya adalah membuat butir butir instrumen.

Menyusun instrumen bukanlah pekerjaan yang mudah. Bagi peneliti pemula atau orang yang kurang tertarik pada pekerjaan evaluasi, tugas menyusun instrumen merupakan pekerjaan yang membutuhkan ketelitian dan kesabaran yang tinggi.

Kriteria Evaluator

Untuk memperoleh hasil evaluasi yang akurat, maka diperlukan kriteria keberhasilan dan kriteria tertentu terutama bagi evaluator program, di bawah ini diuraikan kriteria tersebut




Memahami mated

Memahami mated yaitu memahami tentang seluk beluk program yang dievaluasi, antara lain :

1 . Tujuan program yang telah ditentukan sebelum dimulai kegiatan
2. Komponen komponen program
3. Variabel yang akan diujicobakan atau dilaksanakan
4. Jangka waktu dan penjadualan kegiatan
5. Mekanisme pelaksanaan program
6. Pelaksanaan program
7. Sistem monitoring kegiatan program

Kriteria keberhasilan yang ditetapkan adalah dilihat dari mated, maka Evaluator membuat format pencapaian materi program yang direncanakan
dibandingkan dengan yang telah digapai berdasarkan penjabaran point 1 sampai dengan 7.

Menguasai Teknik

Menguasai teknik yaitu menguasai cara cara atau teknik yang digunakan di dalarn melaksanakan evaluasi program. Karena kegiatan evaluasi program mengenai sejumlah evaluasi, maka evaluator program dituntut agar menguasai metodologi evaluasi, yang meliputi

1. Cara membuat perencanaan evaluasi
2. Teknik menentukan populasi dan sampel
3. Teknik menyusun instrumen
4. Prosedur dan teknik pengumpulan data
5. Penguasaan teknik pengolahan data
6. Cara menyusun laporan evaluasi

Untuk metodologi yang terakhir ini evaluator program harus menguasai sesuatu yang lebih dibandingkan dengan peneliti karena apa yang disampaikan akan sangat menentukan kebijaksanaan yang terkadang memiliki resiko lebih besar.

Kriteria keberhasilannya adalah seorang evaluator harus dapat membuat point 1 sampai dengan 6 secara opersional.

Objektif dan Cermat

Tim evaluator adalah sekelompok orang yang mengemban tugas mengevaluasi program serta ditopang oleh data yang dikumpulkan secara cermat dan objektif. Atas dasar tersebut mereka diharapkan, mengklasifikasikan, mentabulasikan, mengolah dan sebagainya secara cermat dan objektif pula. Khususnya di dalam menentukan pengambilan strategi penyusunan laporan, evaluator tidak boleh memandang satu atau dua aspek sebagai hal yang istimewa dan tidak boleh pula memihak. Kriteria keberhasilan yang dipakai adalah apabila hasil penilaian dari evaluator dapat menunjukkan hasil yang objektif dengan alasan rasional dan didukung oleh data data yang akurat.

Jujur dan Dapat Dipercaya

Evaluator adalah orang yang dipercaya oleh pengelola dan pengambil keputusan, oleh karena itu mereka harus jujur dan dapat dipercaya. Mereka harus dapat memberikan penilaian yang jujur, tidak membuat baik dan jelek, menyajikan data apa adanya. Dengan demikian pengelola dan pengambil keputusan tidalk salah membuat treatment akan programnya.

Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan oleh seorang evaluator agar dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara tepat, yaitu :

1. Evaluator hendaknya merupakan evaluator yang otonom artinya orang luar yang sama sekali tidak ada ikatan dengan pengambilan kebijaksanaan maupun pengelola dan pelaksanaan program.
2. Ada hubungan baik dengan responden dalam arti dapat memahami sedalam dalamnya watak, kebiasaan dan cara hidup klien yang akan dijadikan sumber data evaluasi.
3. Tanggap akan masalah politik dan sosial karena tujuan evaluasi adalah pengembangan program.
4. Evaluator berkualitas tinggi, dalarn arti jauh dari biasa. Evaluator adalah orang yang mempunyai self concept yang tinggi, tidak mudah terombang-ambing.
5. Menguasai teknik untuk membuat desain dan metodologi penelitian yang tepat untuk program yang dievaluasi.
6. Bersikap terbuka terhadap kritik. Untuk mengurangi dan menahan diri dari bias, maka evaluator memberi peluang kepada orang luar untuk melihat apa yang sedang dan telah dilakukan
7. Menyadari kekurangan dan keterbatasannya serta bersikap jujur, menyampaikan (menerangkan) kelemahan dan keterbatasan tentang evaluasi yang dilakukan.
8. Bersikap pasrah kepada umum mengenai penemuan positif dan negatif. Evaluator harus berpandangan luas dan bersikap tenang apabila menemukan data yang tidak mendukung program dan berpendapat bahwa penemuan negatif sama pentingnya dengan penemuan positif.
9. Bersedia menyebarluaskan hasil evaluasi. Untuk program kegiatain yang penting dan menentukan, hasil evaluasi hanya pantas dilaporkan kepada pengambil keputusan dalam sidang tertutup atau pertemuan khusus. Namun untuk program yang biasa dan dipandang bahwa masyarakat dapat menarik manfaat dari evailuasinya, sebaiknya hasil evaluasi disebarluaskan, khususnya bagi pihak pihak yang membutuhkan.
10. Tidak mudah membuat kontrak. Evaluasi yang tidak memenuhi persyaratan persyaratan yang telah disebutkan sebaiknya tidak dengan mudah menyanggupi menerima tugas karena secara etis dan moral akan merupakan sesuatu yang kurang dapat dibenarkan.

CONTOH DESAIN EVALUASI

Latar belakang :

Dari pengamatan beberapa tahun diketahui bahwa program program peningkatan pendapatan dan ketrampilan ternyata kurang berhasil dari yang diharapkan. Dit. Diktentis sebagai lembaga yang menangani pembinaan teknis edukatif ingin mencoba program baru EMPE di SKB. Pedoman disusun oleh tim Dit. Diktentis yang dikoordinasikan oleh Direktur Diktentis dan dikirim langsung ke SKB dalam bentuk jadi, disertai dengan biaya penunjang.

Setelah program tersebut berlangsung beberapa bulan, Balitbang Dikbud ingin mengetahui efektifitas modul, untuk menentulkan kebijaksanaan selanjutnya: karena dipikirkan kelangsungan dan penyebarannya untuk sekolah sekolah lain.

Problematika :

Sebagai problematika umum yang akan dicari jawabannya adalah "apakah program EMPE dapat meningkatkan ketrampilan dan pendapatan anggotanya dalarn kurun waktu tertentu ? untuk mempermudah mencari jawaban, maka dirinci sebagai berikut:

1. Aspek Warga Belajar, antara lain
a. Apakah warga belajar aktif dalam kegiatan EMPE ?
b, Apakah tiap warga belajar mempunyai peran aktif ?
2. Aspek kegiatan EMPE, antara lain :
a. Apakah kegiatan EMPE berjalan sesuai rencana ?
b. Apakah fasilitator dan pengelola aktif dalam kegiatan EMPE ?
c. Apakah kegiatan EMPE dapat dilaksanakan secara lancar ? Bila tidak apa
sebabnya ?
d. Bagaimanakah kegiatan pemasaran hasil EMPE ?
e. Bagaimanakah manajemen EMPE ?
f. Hambatan apa dalam kegiatan EMPE ?

3. Aspek sarana, antara lain :
a. Sesuaikah dan kurangkah sarana/alat yang disediakan untuk keperluan kegiatan
EMPE ?
b. Apakah warga belajar tidak mengalami kesulitan dalam menggunakan sarana / alat
tersebut ?
4. Aspek Fasilitator dan pengelola, antara lain
a. Apakah fasilitator dan pengelola, tidak mengalami kesulitan dalam membina dan
mengelola EMPE ?
b. Bagaimana hubungan antara Fasilitator dan Pengelola dengan warga belajar
dalam kegiatan EMPE ?
5. Aspek Hasil Belajar, antara lain :
a. Secara keseluruhan apakah kegiatan EMPE dapat meningkatkan ketrampilan dan
pendapatan warga belajar ?
b. Kalau dapat berapa prosen kenaikan tersebut ? dan kalau tidak apa sebabnya ?
berapa prosen ketidakmeningkatan tersebut ?
6. Aspek Tujuan Evaluasi :

Tujuan umum: tujuan evaluasi program adalah mengumpulkan informasi mengenai efektifitas pelaksanaan kegiatan EMPE.

Tujuan khusus : dari tujuan umum tersebut dapat dirinci atas tujuan-tujuan khusus sebagai berikut :
a) Untuk mengetahui tanggapan warga belajar, pengelola, tutor, fasilitator dan penanggung jawab program terhadap kegiatan EMPE.
b) Untuk mengetahui hal hal yang berhubungan dengan kegiatan EMPE.
c) Untuk mengetahui ketepatan sarana dalam menunjang pelaksanaan kegiatan EMPE.
d) Untuk mengetahui kesulitan yang dihadapi pengelola, fasilitator, penanggung jawab dan orang yang terlibat dalam kegiatan EMPE.
e) Untuk mengetahui prosentase peningkatan ketrampilan dan pendapat warga belajar.

7. Populasi dan sampel
Evaluasi dilakukan pada SKB yang dilaksanakan EMPE. SKB yang akan dijadikan tempat evaluasi dilakukan terhadap populasi maupun sampel, menurut variabel yang dinilai.
8. Instrumen dan sumber data :
Khusus evalusi program ini cukup banyak dan komprehensif, oleh karena itu instrumen untuk rnengumpulkan data perlu bervariasi.
a. Untuk rnengetahui tanggapan warga belajar tentang kegiatan EMPE dengan modul digunakan wawancara dan pengamatan dengan sumber data para warga belajar yang aktif dalam kelompok.
b. Untuk mengetahui hal hal yang berhubungan dengan kegiatan pengelola digunakan :
1. Pengamatan di dalam kelompok dengan sumber data kegiatan langsung dari aktifitas yang diamati.
2. Wawancara dengan sumber data yaitu : pengelola, tutor dan orang orang yang terlibat aktif.
3. Dokumentasi tentang pelaksanaan kegiatan EMPE dengan sumber data buku pengelolaan, buku kerja, buku laporan tugas, dan catatan catatan lain (paper).
4. Angket tentang pengelolaan sarana / alat kepada pengelola.
5. Untuk mengetahui ketetapan sarana yang digunakan dalam kegiatan, data dikumpulkan melalui pengamatan, wawancara, dan dokumentasi, sumber data dapat laboratorium, kegiatan praktikum warga belajar dan pengelola.
6. Untuk mengetahui kesulitan yang dihadapi dalam pelaksanaan sistem EMPE data dikumpulkan melalui wawancara dengan fasilitator, warga belajar pengelola dan tanggung jawab.
7. Untuk mengetahui peningkatan ketrampilan dan pendapatan warga belajar, datanya dikumpulkan melalui : dokumentasi pembukuan, pengamatan terhadap kegiatan warga belajar, wawancara kepada warga belajar mengenai hasilnya. Sedangkan untuk mengetahui pengelolaan sistem EMPE, datanya dikumpulkan melalui wawancara dengan para pengelola kelompok.

9. Teknik analisis data
Teknik yang digunakan untuk menganafisis data disesuaikan dengan bentuk problematika dan jenis data.
a. Problematika yang mengandung variabel tunggal, dianalisis secara diskriptif kualitatif.
b. Problematika komparasi atau korelasi dijawab dengan jawaban dari data yang diolah
dengan teknik statistik korelasi, t-test, ANAVA.
BENEFIT MONITORING AND EVALUATION (BME)

Sistem Evaluasi dan Monitoring Benefit atau biasa disebut sebagai Benefit Monitoring and Evaluation (BME) adalah kegiatan monitoring dan evaluasi terhadap suatu program atau proyek dalarn rangka mengetahui sejauh mana program atau proyek tersebut memberikan manfaat sesuai dengan tujuan yang telah direncanakan.

Salah satu pihak yang mempromosikannya adalah ADB (ASIAN DEVELOPMENT BANK). BME dirnaksudkan untuk menghimpun berbagai informasi berkaitan dengan impact sebuah proyek dan atau nilai guna (benefit).

Pengertian tentang benefit ini sendiri sangat beragam, ada yang mengartikannya sebagai keuntungan/laba/profit (berkaitan dengan uang), adapula yang memberi arti lebih fieksibel yaitu nilai manibatinilai guna (tidak harus berupa uang), dari sebuah hasil produksi (barang, jasa, tenaga manusia). Kegunaannya antara lain, untuk meningkatkan kebijakan tentang efektifitas dari sebuah proses produksi.

Monitoring dan evaluasi dinilai sebagai himpunan kegiatan penting yang memungkinkan para pihak (stakeholders) untuk mernperkirakan perkembangan sebuah proyek selarna kegiatannya termasuk di dalarnnya adalah intervensi intervensi tentang keberhasilan atau kegagalan. Monitoring meliputi pengurnpulan data selarna pengernbangan bila intervensi diberlakukan. Adapun evaluasi biasanya terkait dengan impact yang meliputi lingkungan hidup, misalnya peningkatan akses kepada sumber daya dan asset untuk kelornpok khusus kaum miskin, perubahan tentang kerniskinan dan kesejahteraan atau tentang kapasitas tertentu (latihan, skill, pengetahuan). Evaluasi biasanya dilakukan pada pertengahan proyek berjalan (melalui intervensi), pada akhir proyek, ataupun setelah proyek dinyatakan selesai. Evaluasi yang dilakukan dapat berbentuk formative atau summative.

Evaluasi formative digunakan untuk membantu peserta dalam belajar dari pengalaman dan perubahan tindakan yang terjadi. Adapun evaluasi summative digunakan untuk mengembangkan gagasan dari keseluruhan impact yang timbul dalam mencapai keputusan tertentu.

Evaluasi yang dilakukan juga dapat dipandang secara subyektif atau obyektif, dapat pula menggunakan indikator kualitatif atau kuantitatif. Indikator kualitatif misalnya persepsi tentang inequality, derajat ketidakamanan pangan/food insecurity, persepsi tentang kekuatan dan kelemahan. Adapun Indikator kuantitatif misalnya pendapatan, belanja dan tabungan, tingkat produksi pertanian, stok populasi ternak.

Dengan kata lain, kegiatan evaluasi dan monitoring benefit terhadap suatu program atau proyek dilakukan secara komprehensif dan dinamis, mencakup pengkajian berbagai komponen input, process, output (hasil) dan outcome (dampak) dari program atau proyek yang dilaksanakan. Dari hasil pengkajian terhadap seluruh kornponen tersebut diharapkan dapat diketahui seberapa jauh manfaat suatu program atau proyek, dibandingkan dengan tujuan yang telah direncanakan sebelumnya.

Namun, terdapat tiga area kesulitan yang menurut Eric Diggest sering terjadi dalam supervisi dan pengendalian pada pendidikan tinggi, yaitu :

1. Ukuran, pengalaman inventory, chek list, hasil riset yang tak sepadan dapat melernahkan reliabilitas dan validitas.
2. Trainee bidang konseling bebas untuk mengembangkan kernampuan konseling tetapi tidak mendapat gelar akadernik.
3. Para supervisor tidak dapat mengartikulasikan sasaran supervisi yang diinginkan oleh administratur pendidikan tinggi karena kurang menguasai teori supervisi.

Hal yang menjadi penyebab di atas, dikarenakan BME itu sendiri terdiri dari tiga kegiatan yang berbeda, yaitu:

1. Persiapan dan analisis benchmark (baseline) informasi. Benchmark informasi meliputi info yang bersifat kualitatif dan kuantitatif tentang arti pentingnya karakter sosial ekonomi individu dan atau kelompok yang terkait dengan proyek. Informasi ini bermanfaat untuk merancang sebuah proyek agar sesuai dengan kebutuhan dan kemanfatannya bagi user/customer.

2. Monitoring benefit rneliputi penyampaian pelayanan, kapan dan bagaimana pelanggan memanfaatkannya, efek segera dari pelayanan yang disediakan melalui proyek.

3. Tiga Iangkah utama evaluasi benefit meliputi penyiapan TOR (terms of reference) untuk organisasi evaluasi, seleksi organisasi dan supervisi selama evaluasi beriangsung.

Dalam bidang pendidikan, kegiatan benefit monitoring and evaluating telah banyak dilakukan di Indonesia, terutama terhadap program atau proyek yang selama ini sudah dilaksanakan seperti proyek pendidikan dasar atau Basic Education Project (BEP), baik di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional untuk tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah, dan di Iingkungan Departemen Agama untuk tingkat madrasah lbtidaiyah dan Tsanawiyah.

Sebagai contoh, untuk kegiatan BME BEP di Iingkungan Departemen Agama telah dilakukan sejak tahun 2000 sampai tahun 2002 untuk mengkaji proyek BEP yang sudah dijalankan pada madrasah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah. Proyek BEP itu sendiri telah berlangsung mulai tahun 1995/1996 sampai tahun 2001. Melalui kegiatan BME, dilakukan pengkajian apakah proyek BEP di Departemen Agama tersebut dapat memberikan manfaat bagi peningkatan mutu pendidikan dasar khususnya di madrasah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah. Pengkajian dalam hal ini mencakup kelancaran distribusi bantuan yang disampaikan dan manfaat bantuan proyek BEP bagi sekolah, pembelajar, tenaga pendidik, kepala madrasah, pengelola madrasah, yayasan, pengelola proyek, lembaga pelatihan, dan masyarakat pada umumnya.





Dirangkum dari berbagai sumber Copyright © 2008 Mixing Blogging