Translate

Isnin, 24 Mei 2010

TEORI POSTMODERNISME DAN POSTKOLONIAL

A. DASAR-DASAR POSTMODERNSISME
1. Menuju Kemapanan
Kehadiran postmodernisme di kalangan peneliti budaya me mang masih kontroversial. Di satu pihak menghendaki agar ada perubahan pemahaman, dari modern ke yang lain, yang konon telah jenuh dan menemui jalan buntu. Di lain pihak, masih ada keraguan menerima istilah tersebut, karena postmodernisme dianggap sekedar konter produktif, hura-hura, dan cibiran terhadap paham modern. Paham kedua inilah kiranya yang menciptakan postmodernisme masih goyah, bahkan ada yang belum mengakui secara akademik.
Akan semakin rumit lagi, kalau posmodernisme sekedar diterima sebagai pengolok-olok wawasan modern. Akibatnya, mereka menerima tak ke dasar yang jelas, melainkan sekedar kulit-kulit saja. Penerimaan yang setengah-setengah, jelas akan memojokkan postmo dernisme, sehingga boleh jadi menganggap paham tersebut sekedar buru-buru, reaksioner, dan lebih bersifat sembrana. Apalagi, penam bahan awalan “post” dan akhiran “isme” tersebut, oleh beberapa pemi kir budaya masih diragukan. Apakah “post” menandai sebuah peru bahan pemikiran yang pascastruktural atau sekedar ingin bersikap dekonstruksi belaka.
Manakala “isme” tersebut kelak justru menjadi payung keil muan (kajian) budaya yang lebih jernih, artinya kajian dekonstruksi yang konstruktif, tentu semua pihak akan mengangguk. Hal ini berarti posmodernisme menjadi pijaran neo-modernisme atau pasca-moder nisme. Pada tingkatan demikian, postmodernisme telah melahirkan sebuah hirarkhi keilmuan yang handal. Postmodernisme tak sekedar “gila” terhadap metafora-metafora (bahasa) yang didengungkan Ricoeur, yang selalu berpijak “seperti ini” dan “adalah bukan” (Sugi harto, 2001:18). Lebih dari itu, postmodernisme seharusnya menjadi kampiun kajian budaya, yang mampu mengungkap makna tertentu, yang referensinya tak sekedar “konvensional”. Karena, “konvensio nal” adalah referensi yang tak murni, melainkan yang telah “dika takan” dan dipoles lewat cahaya bahasa.
Pendek kata, kehadiran postmodernisme semestinya tak sekedar gerakan eforis di tengah hiruk pikuk pemahaman budaya. Apabila kemeriahan postmodernisme hanya sampai di sini, berarti pemahaman budaya justru semakin dangkal dan kosong. Kecemerlangan postmo dernisme akhirnya akan terletak pada kemampuan merefleksikan fenomena secara arif. Arif, berarti memenuhi standar keilmiahan. Teror-teror mental yang selama ini membebani postmodernisme, seperti pelarangan menggunakan kata “saya” pada sebuah penelitian, pelarangan pemanfaatan kata-kata estetis dalam studi budaya – sebaiknya dihapus. Karena, postmodernisme tak lagi ingin berpikir kerdil yang meracuni peneliti sendiri. Keindahan bahasa dalam sebuah laporan peneltian budaya, asalkan tak mengurangi realitas, kiranya diizinkan dalam postmodernisme.
Yang lebih penting lagi, dalam postmodernisme memang sedang “menuju” pada titik lebenswelt, sebagaimana digagas Husserl. Lebenswelt adalah tatanan pengalaman hidup yang matang, yang ingin direfleksikan menjadi sebuah gagasan ilmiah. Postmodernisme akan bergerak ke arah ini, untuk menemukan kesejatian pemahaman budaya. Yakni, mulai dari taraf prailmiah, invensi, refleksi, sampai tingkat kemapanan.
Postmodernisme ingin mendudukkan persoalan pemahaman kebudayaan yang sering dikesampingkan kaum modernisme. Jika kaum modernisme cenderung menepikan pemahaman budaya dari aspek historis, menaifkan budaya terpencil, budaya terjajah, dan cenderung mendewakan oposisi-oposisi biner, potmodernisme tak demikian.
Postmodernisme justru ingin mengangkat dunia kecil, yang “dibuang” oleh modernisme. Jika kaum modernisme cenderung memahami budaya dengan struktur yang pasti, postmodernisme justru membuka dialog baru pemahaman budaya. Pemahaman budaya justru lebih ke arah demokratis dan terbuka.
2. Kebenaran: Gejala Radikal
Paham postmodernisme cenderung menyerang otoritas akal manusia. Mereka tak semata-mata mengkritik rasionalitas dunia alamiah dan kesulitan-kesulitan metodologis untuk menaklukkannya tetapi malah mempertanyakan konsep self sebagai hal yang hidup. Percakapan mereka berputar sekitar konsep becoming (menjadi) (Liliweri, 2001:76). Dari pernyataan demikian, berarti penelitian postmodernisme terhadap budaya lebih bebas dan radikal.
Hal demikian, juga diakui Lyotard (Sarup, 1993:131-134) bahwa postmodernisme merupakan gerakan penelitian budaya “radikal”. Paham ini merupakan tuntutan budaya kapitalis khususnya bidang seni. Paham ini tak mengindahkan hukum-hukum, pola-pola budaya yang lazim, dan menolak paham modern yang selalu memiliki hegemoni pemaknaan. Postmodernisme justru ingin menjebol sistem status quo. Itulah sebabnya, pemahaman budaya tak harus diatur rapi, tak harus berkotak-kotak, berteori-teori, melainkan dapat dimulai dari hal-hal sepele dan apa saja yang mungkin.
Postmodernisme sebenarnya lahir atas ketidakpuasan terhadap model penelitian budaya sebelumnya. Penganut postmodernisme, menganggap bahwa teori kajian budaya sebelumnya, seperti evolusio nisme, fungsionalisme, struktal fungsional, dan seterusnya yang mengeklaim dirinya modern — dianggap kurang berdaya. Maksudnya, teori kajian budaya modern itu kurang mewakili kebenaran budaya yang semakin kompleks. Tuntutan zaman dan selera budaya masa kini, tampaknya tak mampu terwadahi oleh teori-teori modern yang agak sedikit kaku. Karena, pandangan modern hampir selalu mematok sebuah pemahaman budaya “harus ini” dan “harus itu”.
Keharusan semacam ini, seringkali tak mampu melacak kebenaran fenomena budaya itu sendiri, melainkan sekedar kamuflase belaka. Postmodernisme berpendapat bahwa kebenaran tidak pernah terbayangkan. Kebenaran tidak selalu hadir dari unsur-unsur budaya yang besar. Jalan mencari kebenaran perlu dicari secara kreatif mem beri makna budaya. Maka budaya yang telah ada perlu didekonstruksi, karena konstruksi yang ada diasumsikan kurang mampu dan gagal menemukan kebenaran.
Kemungkinan besar, logika postmodernisme memang kontroversial dan paradoks. Tegasnya, logika berpikir mere ka sangat labil dan tak menghendaki kemapanan dalam mencari kebe naran makna. Kendati logika mereka sangat cerdas, tetapi sering dicap tidak konsisten, dan ini ciri postmodernisme. Mereka akan memahami gejala budaya menurut sistem yang dianutnya. Mungkin, sistem itu sangat subyektif, individualis, idealis, dan sulit dipahami oleh orang awam. Yang jelas, sistem pemahaman itu sendiri tak bisa dibakukan, dikukuhkan, dan disistematikakan.
Memang harus diakui, penelitian budaya yang menggunakan paham postmodernisme seakan-akan belum diakui oleh akademisi tertentu. Para peneliti masih budaya sering menganggap bahwa postmodernisme sebagai gejala radikal akademik, yang sering memaksakan sebuah paradigma. Padahal, bagi mereka sebenarnya “kaca pandang” mutakhir ini merupakan rangkaian pelengkap kajian budaya sebelumnya. Paling tidak, postmodernisme akan memberikan pencerahan penelitian budaya pasca-tafsir kebudayaan yang dianggap kurang berhasil. Terutama, setelah Geertz menafsirkan budaya Jawa di Pare dengan samaran Mojokuto. Periode tafsir ini dianggap kurang mewakili abangan, santri, priyayi di Jawa secara keseluruhan. Karena itu, muncul postmodernisme yang berupaya menjelaskan sisi-sisi kecil dari unsur budaya yang sering terabaikan.
Sandaran dasar kaum postmodernisme, bukan berarti menolak rasionalitas yang telah dibangun kaum interpretif dan sebelumnya, melainkan ingin mencari makna baru lewat kebenaran aktif kreatif. Logika yang digunakan adalah selalu menemukan kebaruan, tanpa standar yang pasti. Karena itu, bagi kaum postmodernisme berkilah bahwa, kebenaran yang selalu mengandalkan “grandtheory” sudah tidak relevan lagi. Namun, mereka lebih menghargai perbedaan,
pertentangan, paradoks, dan misteri di balik fenomena budaya.
B. TEORI KAJIAN
1. Pluralitas Makna
Menurut Marvin Harris (1992:153-154) postmodernisme meru pakan gerakan intelektual yang (sedikit) bertentangan dengan modernisme. Istilah ini lebih menitikberatkan pemahaman budaya dalam konteks khusus. Postmodernisme juga tidak memiliki paradig ma penelitian yang lebih istimewa. Bagi Foucault, postmodernisme akan menghubungkan antara ilmu dan alasan. IImu akan mencari “best answer”. Namun, jawaban yang hadir dalam pandangan post¬modernisme akan menolak generalisasi. Kebenaran, lebih mengandal kan pada kemampuan fiksi persuasif, relativitas, lokal, plural, tak menentu, dan penafsiran.
Salah satu karakteristik postmodernisme adalah tak suka pada makna tunggal sebuah fenomena budaya. Mereka cenderung meman dang budaya itu bermakna banyak (plural). Budaya menyuguhkan makna yang bersifat poliinterpretable, sehingga boleh dimaknai sekehendak hati. Dari sini, realitas budaya dipandang sangat proble matis dan menampilkan makna plural. Pendek kata, postmodernisme seirama dengan kajian pascastrukturalisme. Dia menolak ide struktur sebagai penopang makna yang mapan. Bahkan Strorey (2003:123) menyatakan pascastrukturalisme “mengimani” bahwa makna selalu dalam proses, tak pernah final.
Paham postmodernisme atau dekonstruksi, menolak otoritas sentral dalam pemaknaan budaya. Makna budaya tidak harus tunggal, melainkan bersifat terbuka pada makna yang lain. Makna mungkin ada dalam apa saja, hal-hal yang kecil, yang kurang diperhatikan, kurang disinggung, kemungkinan justru memiliki makna yang besar. Jadi, postmodernisme lebih menolak segala asumsi-asumsi yang membelenggu pemaknaan. Hal ini tidak berarti bahwa postmoder nisme hanya ingin menang sendiri, hanya kecewa dengan paradigma penelitian sebelumnya, dan atau hanya tergelincir pada eforia, melain kan memiliki dasar-dasar yang kuat dan logis dalam pemaknaan.
Jika kaum modernis selalu mengandalkan “rahasia makna” budaya dalam sebuah struktur atau teks, postmodernisme tidak demi kian. Kaum postmodernisme justru menghargai ada unsur sejarah, latar belakang, dan unconsciousness di balik fenomena budaya. Hu bungan statis antara prosisi dengan realitas tidak ada baginya, yang ada adalah penanda yang mengambang terus-menerus dan sukar ditemukan hubungannya. Kodrat pemaknaan tidak stabil secara esen sial. Karena penanda mengambang terus, postmodernisme berusaha mendefinisikan ulang teori yang selama ini dianut, mendekonstruksi realitas, dan berusaha memaknai fenomena budaya berdasarkan plura litas makna.
Prinsip pengejaran makna menganut konsep relativisme budaya.Tentunya, postmodemisme lalu menolak makna universalitas budaya. Makna budaya tidak harus menjadi milik sekian banyak orang. Biasa saja fenomena budaya hanya bermakna bagi segelintir orang dan individual. Hal ini dapat dipahami melalui pemikiran Derrida. Meskipun dia lebih banyak menyorot pada konteks budaya sebagai teks, khususnya bidang teks sastra,namun tetap menyiratkan pandang an yang luar biasa bagi pengkaji budaya. Menurutnya, teks bukan sekedar kumpulan tanda-tanda, melainkan sebuah “rajutan”, artinya makna teks tersebut tertenun dalam keseluruhan teks.
Bagi Derrida, pencarian makna teks budaya bukan secara logosentrisme, seperti paham strukturalis. Paham logosentrisme sering terdampar pada aspek fonosentrisme, yang mendewakan kata. Budaya, pada mulanya adalah “kata“. Kendati penafsiran tak akan lepas dari kata, namun makna budaya lebih dari sebuah kata. Makna budaya justru tertenun dalam seluruh teks budaya dan tak berdiri sendiri. Makna teks akan berubah dan berkembang terns. Jika demikian, tidak ada yang mampu menjamin kebenaran makna. Kalau demikian, makna budaya bukan milik suatu zaman, melainkan terus berjalan seiring perkembangan budaya itu sendiri. Makna budaya juga bersifat longgar, bukan univocity absolut, melainkan multiplicity of meaning. Dalam kaitan ini Derrida mengenalkan istilah equivocity (berdalih) untuk mengontrol ambiguity. la lebih mendekonstruksi pemikiran “objektif’ ke “subyektif’, yang umum ke individual.
Pemaknaan dalam pandangan pencetus dekonstruksi, Derrida, makna bukan sekedar arti kata, bukan sekedar sign yang disepakati oleh banyak orang, bukan pula arbriter, melainkan tergantung bagai mana orang mengartikannya. Yang terpenting bagi Derrida, yang kemudian dilanjutkan oleh Kristeva, Barthes, dan lain-lain – pengala man empirik sensual manusia difilter oleh ide-idenya yang dalam. Berarti bahasa (teks budaya) itu berada pada dataran proyeksi dari pemfilterannya atas pengalaman empirik tersebut. Makna akan terkait denga kreativitas manusia dalam berbahasa.
Logika yang digunakan dalam analisis budaya secara postmo dernisme memang berlaku sempit. Logika tersebut lebih bersifat sensible/make sense, yang penting dapat dimengerti, meskipun infor masi yang digunakan untuk menarik kesimpulan tidak konsisten. Dalarn kaitan ini, Marilyn Strathen (1987) mengatakan, “The 1920s shift between Frazer and postmodernismeist anthrophology helps interpret the alleged shift from modernism to postmodernisme in the 1980s. The phenomenon lies in how anthopologists represent what they do, what they say they are wrtiting, and in the purpose of commu nication. Ideas cannot in the end be divorced from relationships … ” (1987:169).
Pendapat tersebut sejajar dengan pernyataan Keesing bahwa ” .. anthophology as an interpretive quest will havve to be situated more wisely within a wider theory of society, cultural meanings will have to be more clearly and carefully connected to the real humans who live out their live through them” (1987:169).
Sengaja atau tidak, dari kutipan di atas, tampak bahwa antara Strathern dan Keesing bisa dicari titik temunya. Tanpa mencari point puncak keduanya, sulit untuk melihat implikasi penting dalam jagad peneliti budaya di Indonesia. Kalau Strathern dengan mengomentari Frazer menunjukkan adanya pergeseran peneliti budaya modern ke postmodernisme, dari konteks ke luar konteks, dengan tujuan agar etnografi yang dihasilkan terkomunikasikan – Keesing lebih mene kankan persoalan interpretasi. Maksudnya, tafsir kebudayaan hendak nya diletakkan dalam teori masyarakat luas secara tepat, dan makna budayanya harus lebih cermat dikaitkan dengan manusia yang hidup melalui budaya itu.
Pertemuan kedua pendapat ini, adalah pada maksud etnografi itu ditulis. Etnografi, perlu “bargaining” antara peneliti-yang diteliti, penulis-pembaca, agar ada pemahaman yang tepat di antara mereka. Di satu pihak, Strathern telah memikirkan demokratisasi beretnografi, ada tawar-menawar, ada asah-asih-asuh, agar kajian budaya lebih komunikatif, tetapi tetap menjaga orisinalitas. Dalam beretnografi, tidak salah jika memperhatikan pluralisme, multivokality, refleksi vitas, relativisme, dan metaforis. Jika demikian halnya, kita salut dengan Keesing (1989:5) yang semula mengorek habis-habisan peneliti budaya tafsir, lalu pada bagian lain ia juga mengakui (agak lunak) bahwa para pakar peneliti budaya tidak begitu dibayang bayangi oleh keilmiahan dibanding dengan kebanyakan rekan mereka di bidang psikologi, sosiologi, dll.
Akhirnya, Keesing harus mengakui bahwa peneliti budaya harus berjuang menghadapi masalah komunikasi pada saat bekerja melintasi jurang pemisah perbedaan budaya. Oleh kakrena konsep
“objektivitas” barat tidak selalu tepat diterapkan di dunia peneliti budaya kita, ahli peneliti budaya cenderung memanfaatkan kembali kemampuan kemanusiaan dalam belajar memahami dan berkomuni kasi. Upaya memahami simbol budaya, tidak selalu tepat untuk meng objektivitaskan kontak-kontak kemanusiaan. Begitu pula pemahaman makna terhadap simbol mitos atau ritual tidaklah bisa diramalkan seperti halnya siapa yang akan memenangkan Pemilu. Tugas peneliti budaya, mirip seperti upaya menafsirkan Hamlet. Kita tidak dapat menggali, mengukur, dan menguji Shakespeare untuk mengetahui apakah tafsiran kita itu “benar” dan tafsiran orang lain keliru.
2. Out of Context
Dengan masuknya wacana sastra dan seni, dalam penelitian budaya langsung atau tidak — etnografi akan menjadi lebih `ber bunga’, tidak kering. `Bunga’ yang dimaksud, tidak sekedar asesori,
melainkan juga menawarkan komunikasi khusus dalam etnografi, sehingga dalam konteks pluralisme budaya pun, akan tetap terpahami. Kehadiran postmodernisme merupakan upaya penafsiran yang berga bung dengan semiotik yang menyangkut `bagaimana’ makna teks, dan tidak lagi hanya seperti hermeneutika yang lebih menyangkut `apa’ makna teks.
Hal semacam itu sejalan dengan pemikiran Eagleton (1988:397) bahwa postmodernisme memang mengambil ide dari modernisme dan avant-garde, dan kemudian diramu yang lebih masak dengan disiplin lain. Dari modernisme, postmodernisme mencoba mewarisi tentang kritik yang mengambil jarak, sedangkan dari avant-garde, postmoder nisme ingin mencoba memecahkan masalah kehidupan sosial budaya, menolak tradisi, dan sebagai oposisi “high” culture. Dalam istilah yang sederhana, Habermas (Hardiman, 1993:179) postmodernismeime itu sebagai langkah “counter culture”, artinyakebudayaan elit atau kebudayaan massa pada masa modernisme justru dihancurkan.
Strathern, yang banyak menyoroti gagasan Frazer dengan cukup tajam, tampak memuji dan sekaligus mengujinya. Frazer adalah peneliti budaya yang semula berinspirasi dari pendapat Malinowski, khususnya bahwa penelitian lapangan adalah upaya untuk: “to grasp the native’s of view” (hal. 252). Di pihak lain, dengan sengaja atau tidak sebenarnya Malinowski sendiri juga mencoba menggulingkan ide-ide Frazer yang cemerlang itu.
Setidaknya, dia ingin mengganti peneliti budaya teoritis dengan peneliti budaya lapangan. Kendati demikian, Frazer tidak goyah dan tetap teguh pendiriannya pada karya yang bernuansa (terlalu) sastra, sehingga mengundang `kecaman akademik’ dari berbagai pihak. Bahkan karyanya telah memperla kukan peristiwa, tingkah laku, dan ritus di luar konteks.
Karya Frazer yang bersumber pada folklor Perjanjian Lama, jelas menghadirkan aroma baru dalam hal persuasi dan khayalan peneliti budaya. Dengan kegigihannya ia telah membahas pluralitas dan keragaman folklor, sehingga mampu melukiskan hubungan sastra dengan masa lampau. Dengan cara ini, ia merasa lebih dekat pembaca. Dengan model Frazer itu, paling tidak telah terbuka jalan munculnya peneliti budaya komunikatif (istilah saya sendiri), sehingga ada kaitan jelas antara penulis etnografi, pemilik budaya, dan pembaca etnografi. Karena itu, memang tidak keliru jika Strathern juga memuji Leenhard bahwa karyanya pascastrukturalis memang mampu mengungkapkan teori budaya yang lebih terbuka dan inovatif. Pendek kata, apa yang dihasilkan Frazer telah mampu menggeser tesis Geertz bahwa menulis etnografi merupakan pekerja lapangan sebagai sumber kekuasaan terpadu.
Frazer secara diam-diam, telah membersitkan peneliti budaya reflektif, yakni karya etnografi merupakan hasil dialog antara peneliti budaya dengan informan. Hubungan antara pengamat dengan yang diamati, tidak lagi seperti hubungan subjek-objek. Dalam dialog tersebut subjektivitas dan objektivitas selalu bisa diciptakan. Dari akar semacam ini, Frazer lalu mengangkat istilah “sense of history” untuk mengupas lebih jauh relasi antara pembaca dan penulis. Pendapat inilah yang juga terilhami oleh tafsir kebudayaan yang memandang budaya sebagai teks, budaya yang harus dibaca sebagai teks.
Kelebihan Frazer dalam hal ini adalah bahwa penulis dan pembaca (etnografi), keduanya memiliki `sejarah ide’ yang menim bulkan imajinasi yang seringkali berbeda dalam menghadapi persoal an (baca:budaya) yang sama. Asumsi inilah yang membuat Frazer mulai `pindah’ dari frame modernis yang sering ke arah positivistik, menuju pada suatu shift (pergeseran) pola pikir peneliti budaya.
Pergeseran konteks, yang semula `in of context’ ke arah `out of context” akan membuahkan pola pemikiran baru, yang implikasinya menghadirkan aruspostmodernisme.
Dengan mempertimbangkan isyarat Frazer, Strathern berdalih bahwa pemahaman budaya dengan menempatkan suatu konteks yang dibangun oleh peneliti (penulis etnografi) sesuai dengan kaidah teoritis dan pengorganisasian frame work – akan meluncurkan `asap’ karya-karya yang etnosentris. Etnosentrisme menurut Swartz dan Jordan (1976:67) adalah cara memahami dan mengevaluasi budaya menurut si peneliti itu sendiri. Oleh karena, di sini otoritas penuh berada pada diri peneliti dan atau penulis etnografi terhadap teks, kehadiran penulis menjadi dominan. Akibatnya menggembosi objekti vitas itu sendiri. Dalam kaitan ini, penulis-peneliti etnografi tidak memberi `ruang bicara’ kepada pembaca, mematikan pembaca, dan membodohkan atau mendungukan. Karena itu, dalam `out of context’ tidak menjadikan konteks sebagai hal utama yang harus didewakan. Penulisan dan penelitian yang akan membuahkan pelukisan budaya selalu sharing of culture.
Dari alasan-alasan itu, Strathern boleh dinilai telah berani `merobek’ konteks. Artinya, dia telah mengarahkan agar penulis peneliti dan pembaca generasi masa kini, harus berbagi teks. Trias hermeneutik, yaitu realitas-penulis/peneliti, pembaca, teks, dan pem baca/penafsir), tidak harus diberi sekat yang tebal. Maksudnya, kalau dalam pandangan peneliti budaya modern masih berpusar pada prinsip “putting thing in context”, melalui pandangan Frazer, peneliti budaya bisa keluar dari frame ini.
Sebab, sadar atau tidak di dalam kontak budaya, antara kutub penulis-pembaca, keduanya akan terdapat `the persuasive fiction’. Dengan khayalan yang meyakinkan ini, khayalan tingkat tinggi (meminjam istilah dalam wacana kreativitas sastra), mungkin sampai ke tingkat fantasi, penulis akan menciptakan sesuatu yang `baru’, yang familier bagi pembaca. Hal ini berarti bahwa pembahasan kebudayaan menjadi lebih demokratis, tidak ada `pengu¬asa tunggal’, orang nomer satu (merujuk kata-kata KH. Zainudin MZ). Baik penulis maupun pembaca memiliki ruang yang sama dalam memahami kebudayaan.
Konteks, boleh berpindah-pindah dan hanya ada dalam komu nikasi dimana suatu konstruksi pemikiran tersusun melalui dialektika. Dengan pergeseran itu, timbul kebebasan atau kemerdekaan dalam mengetengahkan dimensi-dimensi kemanusiaan, dibanding tuntutan kepastian yang mereduksi realitas kemanusiaan. Dengan kata lain, out of context bukan mengejar budaya sebagai where, budaya tidaklah mono, melainkan plural dan menurut siapa.
Strathern juga memberikan sugesti bahwa gerakan feminisme pun memiliki andil penting dalam postmodernisme, karena tidak sedikit karya feminis yang dibentuk dengan wacana plural. Keduanya, memang memiliki visi yang berbeda, namun juga ada hal-hal esensial yang saling melengkapi. Seperti halnya ditegaskan oleh Fraser dan Nicholson (1990:20), jika postmodernisme ke arah prinsip dan esensi kritik budaya yang canggih dan persuasif serta cenderung mencari kekurangan-kekurangan, feminisme berusaha secara tegas cenderung mencari pergeseran prinsip dan esensi.
Dengan kehadiran postmodernisme itu, penulis dan peneliti peneliti budaya menjadi lebih longgar. Sekarang, bukan lagi soal objektivitas yang harus diperhatikan, melainkan pada pemahaman budaya yang tidak tercerabut dari akar pluralisme budaya. Tidakkah Benjamin dan Adorno (Sullivan, 1990:269) juga mensugestikan bahwa postmodernisme mampu menjembatani gap antara subjek dan obyek, praktis dan teori dalam peneliti budaya. la mengatakan: “The merger of theory and textual form in postmodernismeist ethnography may, upon closer historical examinantion, prove to be a similarly illu sory fiat”. Bahkan Bruner (1993:23) mengungkapkan bahwa lukisan karya postmodernisme adalah: “a world that is multivocal, fragmen ted, desentered, with no master narrativees or central texs, a world in wich meaning is radically plural”.
Hanya saja, apakah konteks serupa telah mendapat sambutan hangat dari peneliti budaya kita? Apakah skripsi-skripsi dan juga desertasi peneliti budaya di Indonesia telah mau menjelajah apa yang dikehendaki Frazer? Jika belum, atau tidak, lalu kapan postmodern isme akan berkembang? Pertanyaan ini, tidak harus dijawab serta merta, melainkan waktulah yang menjawab dengan pasti.
Kendatipun begitu, kehadiran ide Frazer dan Keesing telah membuka mata kita. Setidaknya, implikasi penting dari semua itu bagi calon peneliti budaya akan terbuka wawasan baru ke arah dunia baru yang rumit. Lalu, kita akan lebih berhati-hati dalam menjelaskan dan memahami budaya masa kini. Terlebih lagi jika bertumpu pada pernyataan Keesing (1981:207-270) dengan adanya persoalan men dasar pada dunia ketiga dan dunia keempat. Pandangan ini mengi nginkan seorang peneliti budaya yang futurolog, mampu melihat ke depan dengan kacamata postmodemisme. Oleh karena, mengalirnya pengaruh postmo di pasar global dan abad mellenium nanti penuh tantangan. Hal serupa juga telah ditunjukkan Strinati (1995:228-235) bahwa masa budaya massa dan budaya populer jelas akan hadir di depan mata kita. Pengaruh globalisasi, seperti film, arsitektur, televisi,
Man, musik pop dan sebagainya akan membuat pergeseran konteks budaya kita juga.
Lebih khusus lagi, kita akan tercuci batinnya bahwa dalam beretnografi dan meneliti: (1) kita jangan memaksakan pandangan, (2) kita mesti harus berhati-hati dalam meletakkan budaya dalam posi sinya, (3) dalam memahami budaya tidak harus etnosentris, artinya menurut `kaca mata’ si peneliti saja, (4) pemahaman budaya perlu share, berbagi pengalaman antara penulis dan pembaca, (5) penulis dan pembaca harus akrab, familier, kendati kita boleh bermain-main dengan bahasa, (6) harus jujur’ akan karya kita dan keterbatasan jangkauan kita.
Persoalan yang harus dihadapi lebih jauh lagi, dengan adanya pemahaman bahwa konteks bisa bergeser, berubah, meloncat, dan bahkan berputar sampai 360 derajat – memang pada gilirannya akan menyulitkan penulisan sejarah peneliti budaya (baca: kebudayaan) itu sendiri. Kebudayaan menjadi sangat bebas dan hanya akan terpahami secara mendalam oleh kritikus kebudayaan.
Akhirnya, karya kritik ini akan menyulitkan pula dalam menyusun teori kebudayaan. Atau mungkin, analog dengan wacana sastra, pada tataran tertentu memang tidak dibutuhkan sejarah dan teori peneliti budaya, etnografi, dan kebudayaan. Lalu, dengan munculnya sejumlah buku, seperti tulisan Van Ball dan Kcentjaraningrat, yang masih beria-ria dengan sejarah¬teori itu menjadi kurang penting? Pasalnya, kenapa harus ditulis sejarah dan teori, jika budaya itu sendiri `tidak jelas’ ada dimana, seperti apa?
Postmodernisme biasanya mengembangkan paradoks-paradoks penafsiran makna. Artinya, yang semula oleh kaum modern ada unsur budaya yang disisihkan, dianggap kecil, dianggap pinggiran, dan kurang mendukung makna – oleh kaum postmo justru dikejar. Ke mungkinan hal-hal yang sepele yang kurang “bernyawa” itu menjadi bermakna istimewa. Itulah sebabnya Esneva dan Prakash (1998:3) menyatakan bahwa grass roots dari postmodernisme adalah kontra diksi. Melalui asumsi ke hal-hal yang kontradiktif dengan yang telah lazim, justru mereka mampu menemukan malma hakiki sebuah fenomena budaya.
3. Langkah Kajian
Menurut kaum postmodernisme, telah ada pelenyapan batas batas antara seni dan kehidupan masa kini, antara budaya strukti.u’al (legitimated, birokrasi) dengan budaya populer, semua itu akan ditandai dengan penghilangan kode stilistik masing-masing. Bahkan, menurut mereka pada suatu saat budaya akan menjadi sebuah ironi, parodi, dan penuh permainan. Jadi, fenomena budaya boleh SO bersifat imajiner, bebas, liar, dan bermakna. Budaya tak lagi berupa “monumen” dan “bangunan” kokoh, melainkan sebuah fenomena lentur, mesra, dan artistik.
Dengan demikian, postmodernisme memang menolak sebuah hirarkhi, genealogik, kontiuitas, keseragaman, dan perkembangan Dalam tataran ini, tidak berarti kaum postmodernisme sekedar membuat dobrakan (destruksi) pada kaum modem, melainkan ingin merepresentasikan segala sesuatu yang buntu pada masa modern. Oleh karena kaum modern sering taat pada standar logis, posmodernisme lebih dari itu, yaitu tidak menggunakan standar baku, melainkan bersifat kreatif.
Itulah sebabnya, Demda selalu menyarankan agar pengkaji postmodernisme tak ragu-ragu melakukan dekonstruksi. Pembalikan struktur sah-sah saja, asalkan bertujuan untuk memahami rnakna Dalam kaitan ini, Derrida mengusulkan adanya istilah “supplement’”, yang berasal dari bahasa Perancis “suppleer” artinya mengganti, Misalkan saja, kita harus menafsirkan budaya baik dan buruk. Ada yang berpendapat kebaikan ada karena ada standar keburukatl Bahkan, dalam tema tertentu sering muncul keburukan akan terhapus dengan kebaikan. Paham semacam ini, semestinya didekonstruksi• dengan cara berpikir “mengganti”. Kita perlu menyajikan tesis bahWa “buruk” hanyalah pengganti saja perannya.
Atas dasar itu, Derrida memberikan saran agar berhati-hati jika peneliti budaya berhadapan dengan budaya sebagai teks maupun ujaran dan tindakan. Budaya sebagai teks sering akan mengaburkan kenyataan, karena telah dipoles oleh kata. Begitu pula tindakan dan ujaran yang ditulis, seringkali juga menjauhi realitas. Padahal, makna budaya kadang-kadang boleh terpisah dari yang nampak dan referensi yang hadir. Maka, paham postmodernisme selalu berada pada posisi: plural makna dibanding otoritas kesatuan makna, lebih berupa kritikan dibanding kepatuhan, ke arah perbedaan dibanding persamaan, dan lebih bersikap skeptis terhadap sistem budaya.
Melalui postmodernisme, paham budaya sebagai teks akan dibongkar habis-habisan. Karena, teks sering diliputi “kekuasaan”. Ada hegemoni makna yang seringkali mengintervensi budaya. Dalam
hal ini, memang ada benarnya jika Foucault menolak adanya sejarah yang obyektif. Tulisan sejarah adalah fenomena budaya. Sayangnya, fenomena ini sering terkotori oleh trope (kiasan) dan sejumlah “ulangan” absurd. Di sini telah terjadi pemerkosaan wacana budaya. Karena itu, jika hal ini dimaknai menggunakan kacamata modern, seringkali gagal.
Langkah-langkah yang perlu dilakukan ketika mengkaji post modernisme menurut Derrida (Sugiharto, 2001:45) yaitu: Pertama, mengidentifikasi hirarkhi oposisi dalam teks di mana biasanya lantas terlihat peristilahan mana yang diistimewakan secara sistematik. Kedua, oposisi itu dibalik, misalnya dengan menunjukkan saling ketergantungan di antara yang berlawanan itu, atau dengan mengu sulkan privilese secara terbalik. Ketiga, memperkenalkan sebuah istilah atau gagasan baru yang ternyata tak bisa dimasukkan ke dalam kategori oposisi lama.
C. KAJIAN POSTKOLONIALISME
Kajian postkolonial dalam bidang budaya memang tergolong baru. Bahkan, mungkin masih jarang yang berani menerapkan teori kajian ini ke dalam wilayah budaya. Karena, awal munculnya paham tersebut berasal dari kajian sastra (postcolonial literature) yang dipelopori oleh Bill Aschroft dkk (Gandi, 2001:vi). Paham ini, semula mencuatkan pemahaman model national dan black writing. Model national memusatkan perhatian pada hubungan antara negara dan bekas jajahannya. Sedangkan black writing, menekankan aspek etnisitas.
Sebagaimana kehadiran postmodernisme dalam kajian budaya, yang juga dipicu oleh teori-teori sastra dan seni, postkolonialisme pun sebenarnya layak diangkat untuk mengkaji budaya. Konteks penjajah terjajah, dalam fenomena budaya sebenarnya lebih kaya. Banyak hal yang unik dan menarik untuk diungkap melalui teori postkolonia lisme. Hegemoni penjajah yang luar biasa, akan menjadi bahan kajian peneliti budaya. Begitu pula persinggungan pluralisme budaya, telah banyak menyuguhkan persoalan etnis, sehingga menarik bagi paham postkolonialisme.
Tradisi postkolonial mengenal dua kunci utama pemahaman budaya: Pertama, dominasi-subordinasi. Isu dominasi dan subordinasi muncal berkenaan dengan krontrol militer kolonial genocide dan keterbelakangan ekonomi. Keduanya tak hanya terjadi antara negara dan etnis, tetapi juga antar negara dengan negara, etnis dengan etnis. Bahkan, pada gilirannya dengan sistem kolonial yang aristokrat telah mengubah suborninasi dan dominasi individu kepada individu lain. Jika hal ini terjadi, maka hubungan atasan-bawah, patron-clien, maji kan-buruh, akan selalu ada. Budaya semacam ini, telah melahirkan keunikan-keunikan yang patut dicermati oleh peneliti budaya. Bahkan, suborniasi dan dominasi laki-laki terhadap perempuan, sehingga di Jawa ada anggapan wanita minangka kanca wingking, artinya wanita hanyalah teman di belakang (baca: dapur) menjadi semakin rumit.
Kedua, hibriditas dan kreolisasi. Budaya lama di era kolonial, melalui proses hibriditas akan semakin pudar. Bahasa juga akan mengalami kreolisasi, yaitu ke arah penciptaan bentuk-bentuk ekspresi baru. Budaya kolonial akan diubah (transkultural) ke dalam wacana hidup baru. Identitas budaya yang konon selalu dianggap halus dan agung (adiluhung), kemungkinan besar segera bergeser maknanya. Era global-lokal dan otonomi daerah, sedikit banyak telah memoles budaya lama ke dalam budaya baru. Kekuatan paternal dan pusat, lama-kelamaan berubah ke pinggiran. Kekuatan sakral (njeron beteng) misalnya, akan berubah sembilan puluh derajat. Tembok keraton dari waktu ke waktu juga “runtuh”, bercampur dengan kelugasan di luar keraton. Dalam perubahan tersebut selalu terjadi negosiasi antar pelaku. Hibriditas tradisi yang konon dianggap hebat, lalu berkem bang menj adi melemah.
Dengan adanya postkolonial ini, peneliti budaya Jawa misalkan, dapat melalukan studi mendalam tentang terjadinya sinkretisme Islam Jawa, Hindu Jawa, yang selalu mewarnai kehidupan masyarakat. Jika pada awalnya, rakyat terjajah enggan menerima paham lain, namun dengan ada sinkretik barangkali mereka sama-sama diuntungkan. Mereka sama-sama tak terasa telah mengalami akulturasi budaya. Mereka pula secara halus telah mau menerima dan memberi kepada pihak lain. Proses keberterimaan dan penolakan budaya inilah yang menarik perhatian peneliti.
Yang perlu dipertimbangkan dalam kajian poskolonialisme budaya adalah konsep kajian Gayatri Spivak tentang subaltern. Dia mengajukan pertanyaan kritis: “dapatkan subaltern berbicara?” Subal tern adalah subjek yang tertekan (Gandhi, 2001:1).
Pertanyaan ini telah mengarahkan peneliti budaya, untuk mengkaji lebih jauh eksistensi budaya orang-orang terjajah. Biasanya posisi kaum terjajah adalah inferior, sedangkan penjajah superior. Pihak inferior sering “bisu” karena harus menurut kehendak superior. Karenanya, memang tepat apabila dipertanyakan “dapatkah subaltern berbicara. Ini sebuah ironis, yang ingin menyatakan bahwa budaya kaum penjajah sering memaksakan kehendak.
Atas dasar hal tersebut, lalu muncul dua tipe kolonialisme. Pertama, berhubungan dengan penaklukan fisik. Kedua penaklukan pikiran, jiwa, dan budaya. Baik penaklukan pertama maupun kedua, sama-sama tak mengenakkan bagi kaum kolonialis. Kedua tipe ini, seringkali telah menumbuhkan produk-produk budaya baru, misalkan saja ada penciptaan seni dan budaya. Begitu pula penciptaan sastra yang memuat subkultur tertentu, yang diam-diam menolak tradisi penjajah.
Konsep kolonialisme di era manapun memang selalu bergerak pada dua hal. Pertama, menguntungkan si penjajah, terutama pada bidang-bidang tertentu. Kedua, menguntungkan kedua-duanya, karena si terjajah dapat belajar banyak tentang budaya dan kehidupan. Kedua hal tersebut telah menyisakan pengalaman kultural yang luar biasa.
Apalagi, jika penjajah telah sampai menanamkan imperalismenya, tentu kolonialisme semakin rumit. Pada tataran ideologis tentu akan lebih berbahaya dalam kehidupan terjajah. Akibatnya, kehidupan si terjajah secara tak sadar akan mengikuti kehendak penjajah.
Di era modern yang serta global ini, penjajahan telah semakin pelik. Penjajahan teknologi informasi, kultural, dan politik telah menyisakan pengalaman pahit. Bahkan, bangsa terjajah akan menga lami stress berat, karena merasa diombang-ambingkan oleh penjajah. Misalkan saja, ketika isu teror ditiupkan Amerika, secara tak langsung bangsa-bangsa yang mayoritas Islam telah semakin gerah.
Dengan demikian, kekuatan memang akan selalu bermain dalam kancah kolonialisme. Karena itu, peneliti budaya dapat memusatkan perhatian ke arah ini. Termasuk di dalamnya juga penjajahan kultural, seperti budaya pelacur kelas kakap, teror bom, jual beli bayi, ABG, dan sebagainya patut disorot dalam postkolonialisme.
Yang penting dikemukakan, tradisi postkolonialisme tak berarti harus menarik waktu dalam rentang panjang. Peneliti tak harus mena rik mundur kacamatanya ke aspek historis belaka. Peneliti budaya seharusnya tak terkecoh dengan lama tidaknya kolonialisme. Koloni alisme dapat berlangsung singkat, datang pergi, dan tak pernah ber henti sepanjang bangsa dan etnis satu berhubungan dengan yang lain.
Kajian postkoloniasme budaya paling tidak harus mengaitkan dengan aspek politik. Kekuasaan politik akan mewarnai kultur kaum kolonialis. Oleh karena, penjajah akan menanamkan apa saja dan lewat saja yang mungkin dan strategis sebagai media. Itulah sebabnya studi postkolonialisme yang berhasil akan menjadi dokumentasi kritik sejarah. Dokumentasi ini akan menjadi pelajaran berharga bagi pemilik budaya itu sendiri.
Nawawi Banten (1230-1314 H/1813-1897 M) alias Syaikh Nawawi Al-Jawi Al-Bantani Asy-Syafi’i adalah satu dari tiga ulama Indonesia yang mengajar di Masjid Al-Haram di Makkah Al-Mukarramah pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Dua yang lain ialah muridnya, Ahmad Khatib Minangkabau, dan Kiai Mahfudz Termas (wafat 1919-20 M).

Nama lengkapnya ialah Abu Abdul Mu’thi Muhammad Nawawi bin ‘Umar bin Arabi al-Jawi al-Bantani. Ia dilahirkan di Tanara, serang, Banten, pada tahun 1230 H/ 1813 M. Ayahnya seorang tokoh agama yang sangat disegani. Ia masih punya hubungan nasab dengan Maulana Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati (Cirebon). Istrinya yang pertama bernama Nasimah, juga lahir di Tanara. Darinya, Syekh Nawawi dikaruniai tiga putri, Nafisah, Maryam, dan Rubi’ah. Istrinya yang kedua, Hamdanah, memberinya satu putri: Zuhrah. Konon, Hamdanah yang baru berusia berlasan tahun dinikahi sang kiai pada saat usianya kian mendekati seabad. Pada usia 15 tahun, Nawawi muda pergi belajar ke Tanah Suci Makkah, karena saat itu Indonesia –yang namanya masih Hindia Belanda- dijajah oleh Belanda, yang membatasi kegiatan pendidikan di Nusantara. Beberapa tahun kemudian, ia kembali ke Indonesia untuk menyalurkan ilmunya kepada masyarakat.

Tak lama ia mengajar, hanya tiga tahun, karena kondisi Nusantara masih sama, di bawah penjajahan oleh Belanda, yang membuat ia tidak bebas bergiat. Ia pun kembali ke Makkah dan mengamalkan ilmunya di sana, terutama kepada orang Indonesia yang belajar di sana. Banyak sumber menyatakan Syekh Nawawi wafat di Makkah dan dimakamkan di Ma’la pada 1314 H/ 1897 M, namun menurut Al-A’lam dan Mu’jam Mu’allim, ia wafat pada 1316 H/ 1898 M.

Penulis Multi Dimensi
Jejak Syekh Nawawi, baik melalui murid dan pengikutnya maupun melalui kitabnya, yang masih berpengaruh dan dipakai di pesantren hingga kini, benar-benar pantas menempatkannya sebagai nenek moyang gerakan intelektual Islam di Nusantara. Bahkan, sangat boleh jadi, ia merupakan bibit penggerak (King Maker) militansi muslim terhadap Belanda penjajah.

Sebagai pengarang yang paling produktif, Kiai Nawawai Banten punya pengaruh besar di dikalangan sesama orang Nusantara dan generasi berikutnya melalui pengikut dan tulisannya. Tak kurang dari orientalis Dr. C. Snouck Hurgronje memujinya sebagai orang Indonesia yang paling alim dan rendah hati. Ia menerbitkan lebih dari 38 kitab. Sumber lain mengatakan lebih dari 100 kitab.

Ia menulis kitab dalam hampir setiap disiplin ilmu yang dipelajari di pesantren. Berbeda dari pengarang Indonesia sebelumnya, ia menulis dalam bahasa Arab. Beberapa karyanya merupakan syarah (komentar) atas kitab yang telah digunakan di pesantren serta menjelaskan, melengkapi, dan terkadang mengkoreksi matan (kitab asli) yang dikomentari.

Sejumlah syarah-nya benar-benar menggantikan matan asli dalam kurikulum pesantren. Tidak kurang dari 22 karyanya (ia menulis paling sedikit dua kali jumlah itu) masih beredar dan 11 kitabnya yang paling banyak digunakan di pesantren. Syekh Nawawi Banten berdiri pada titik peralihan antara dua periode dalam tradisi pesantren. Ia memperkenalkan dan menafsirkan kembali warisan intelektualnya dan memperkayanya dengan menulis karya baru berdasarkan kitab yang belum dikenal di Indonesia pada zamannya. Semua kyai zaman sekarang menganggapnya sebagai nenek moyang intelektual mereka.

Bahkan, Ahmad Khatib Minangkabau, pun termasuk siswanya. Muridnya yang lain antara lain, K.H. Hasyim Asy-ari, K.H. Khalil Bangkalan, K.H. Raden Asnawi, dan K.H. Tubagus Asnawi.

Karya-karya Monumentalnya
beberapa karya monumentalnya antara lain adalah Qathr al-Ghaits, merupakan syarah dari kitab akidah terkenal, Ushul qBis, karya Abu Laits al-Samarqandi, yang di Jawa lebih dikenal sebagai Asmaraqandi. Bersama karya Ahmad Subki Pekalongan, Fath al-Mughits,yang merupakan terjemahan Jawa Ushul 6 Bis, Qathr al-Ghaits banyak dipakai dan menjadikan Ushul 6 Bis lebih terkenal.

Ushul 6 Bis ialah karya tentang ushuluddin yang terdiri atas enam bab yang masing-masing dibuka dengan kata bismillah. Pada abad ke-19, Ushul 6 Bis merupakan kitab akidah pertama yang dipelajari di pesantren tingkat rendah Indonesia. Dua kitab lain yang diajarkan di tingkat yang sama ialah kitab fiqh at-Taqrib fi al-Fiqh karya Abu Syuja’ al-Isfahani dan Bidayah al-Hidayah, ringkasan Ihya karya al-Ghazali.

Kitab Madarij al-Su’ud Ila Ikhtisah al-Burud, yang berbahasa Arab dalam berbagai terbitan merupakan adaptasi Indonesia kitab karya Ja’far bin Hasan al-Barzinji tentang Maulid an-Nabi (‘Iqd al-Jawahir). Karya acuan lain yang paling penting ialah Minhaj at-Thalibin dan komentarnya atas karya Khatib Syarbini, Mughni al-Muhtaj. Minhaj yang menjadi dasar utama semua teks juga dianggap sebagai sumber riil otoritas.

Teks dasar dalam bidang akidah ialah Umm Al-Barahin (disebut juga Al-Durrah) karya Abu’Abdullah M. bin Yusuf al-Sanusi (wafat 895 H/ 1490 M). Syarah yang lebih mendalam, yang dikenal sebagai as-Sanusi, ditulis oleh pengarangnya sendiri. Karya lain yang sebagain didasarkan atas As-Sanusi ialah Kifayah al-‘Awwam karya Muhammad bin Muhammadal-Fadhdhali (wafat 1236 H/ 1821 M) yang sangat popular di Indonesia.

Murid Fadhali, Ibrahim Bajuri (wafat 1277 H/1861 M) menulis syarah-nya, Taqiq al-Maqam ‘Ala Kifayah al’Awwam, yang dicetak bersama Kifayah dalam edisi Indonesia. Syarah ini di-hasyiyah-kan oleh Nawawi Banten dalam karya yang banyak dibaca orang, Tijan ad-Durari.

Tidak hanya itu, syekh Nawawi juga menulis kitab yang digunakan untuk anak-anak dan remaja. Kitab singkat berbentuk sajak bagi mereka yang berusia belia dan baru mengerti bahasa Arab, ‘Aqidah al-Awwam, ditulis oleh Ahmad al-Marzuqi al-Maliki al-Makki yang giat kira-kira 1864. Syekh Nawawi menulis syarah yang terkenal atasnya,Nur Azh-Zhalam.

Nasha’ih al-‘Ibad juga merupakan karya lain Syekh Nawawi. Kitab ini merupakan syarah atas karya Ibn Hajar al-‘Asqalani, an-Nabahah ‘ala Isti’dad. Kitab ini memusatkan pembahasan atas adab berperilaku dan seiring dijadikan karya pengantar mengenal akhlak bagi santri yang lebih muda.

Syekh Nawawi juga menulis syarah berbahasa Arab atas Bidayah al-Hidayah karya Abu Hamid al-Ghazali dengan judul Maraqi al-‘Ubudiyah yang lebih popular, jika dinilai dari jumlah edisinya yang berbeda-beda yang masih dapat ditemukan hingga sekarang. ‘Uqd al-Lujain fi Huquqf az-Zaujain ialah karya Nawawi tentang hak dan kewajiban istri. Ini adalah materi pelajaran wajib bagi santri putri di banyak pesantren. Dua terjemahan dan syarah-nya dalam bahasa Jawa beredar, Hidayah al-‘Arisin oleh Abu Muhammad Hasanuddin dari Pekalongan dan Su’ud al-Kaumain oleh Sibt al-Utsmani Ahdari al-Jangalani al-Qudusi.

Tokoh Sufi Qodiriyah
Syekh Nawawi juga dicatat sebagai tokoh sufi yang beraliran Qadiriyah, yang didasarkan pada ajaran Syaikh Abdul-Qadir al-Jailani (wafat 561 H/ 1166M). Sayang, hingga riwayat ini rampung ditulis, penulis belum mendapatkan bahan rujukan yang memuaskan tentang Syekh Nawawi Banten sebagai pengikut tarekat Qadiriyah ataukah tarekat gabungan Qadiriyah wa Naqshabandiyah.

Padahal, pembacaan sejak lama kitab Manaqib Abdul Qadir pada kesempatan tertentu merupakan indikasi kuatnya tarekat ini di Banten. Bahkan, Hikayah Syeh, terjemahan salah satu versi Manaqib, Khulashah al-Mafakhir fi Ikhtishar Manaqib al-Syaikh ‘Abd al-Qadir karangan ‘Afifuddin al-Yafi’i (wafat 1367M), sangat boleh jadi dikerjakan di Banten pada abad ke-17, mengingat gaya bahasanya yang sangat kuno. Lebih dari itu, pada pertengahan abad ke-18, Sultan Banten ‘Arif Zainul ‘Asyiqin, dalam segel resminya menggelari diri al-Qadiri.

Seabad kemudian, mukminin dari Kalimantan di Makkah, Ahmad Khatib Sambas (wafat 1878), mengajarkan tarekat Qadiriyah yang digabungkan dengan Naqshabandiyah. Kedudukannya sebagai pemimpin tarekat digantikan oleh Syaikh Abdul Karim Banten yang juga bermukim di Makkah. Di tangannya, tarekat gabungan ini berkembang pesat di Banten dan mempengaruhi meletusnya Geger Cilegon pada 1888 dan amalannya melahirkan debus.

Begitulah, Syeikh Nawawi bin ‘Umar al-Bantani yang hidup kira-kira satu abad setelah ‘Abd as-Samad al-Falimbani disebut dalam isnad kitab tasawuf yang diterbitkan oleh ahli isnad kitab kuning Syekh Yasin Padang (Muhammad Yasin bin Muhammad ‘Isa al-Fadani) sebagai mata rantai setelah ‘Abd as-Samad.

Syekh Nawawi yang sangat produktif itu juga menulis kitab syarah, Salalim al-Fudhala’,atas teks pelajaran tasawuf praktis Hidayah al-Adzkiya’ (Ila Thariq al-Auliya’) karya Zain ad-Din al-Malibari yang ditulis dalam untaian sajak pada 914 H/ 1508-09 M. kitab ini popular di Jawa, misalnya disebutkan dalam Serat Centhini. Salalim dicetak di tepiKifayah al-Ashfiya’ karya Sayyid Bakri bin M. Syaththa’ ad-Dimyati.

Penyumbang Ilmu Fiqh
Syekh Nawawi termasuk ulama tradisional besar yang telah memberikan sumbangan sangat penting bagi perkembangan ilmu fiqh di Indonesia. Mereka memperkenalkan dan menjelaskan, melalui syarah yang mereka tulis, berbagai karya fiqh penting dan mereka mendidik generasi ulama yang menguasai dan memberikan perhatian kepada fiqh.

Ia menulis kitab fiqh yang digunakan secara luas, Nihayat al-Zain. Kitab ini merupakan syarah kitab Qurrat al-‘Ain, yang ditulis oleh ulama India Selatan abad ke-16, Zain ad-Din al-Malibari (w. 975 M). ulama India ini adalah murid Ibnu Hajar al-haitami (wafat 973 M), penulis Tuhfah al-Muhtaj, tetapi Qurrat dan syarah yag belakangan ditulis al-Malibari sendiri tidak didasarkan pada Tuhfah.

Qurrat al-‘Ain belakangan dikomentari dan ditulis kembali oleh pengarangnya sendiri menjadi Fath al-Muin. Dua orang yang sezaman dengan Syekh Nawawi Banten di Makkah tapi lebih muda usianya menulis hasyiyah (catatan) atas Fath al-Mu’in. Sayyid Bakri bin Muhammad Syatha al-Dimyathi menulis empat jilid I’aanah at-Thalibbin yang berisikan catatan pengarang dan sejumlah fatwa mufti Syafi’i di Makkah saat itu, Ahmad bin Zaini Dahlan. Inilah kitab yang popular sebagai rujukan utama.

Syekh Nawawi Banten juga menulis dalam bahasa Arab Kasyifah as-Saja’, syarah atas dua karya lain yang juga penting dalam ilmu fiqh. Yang satu teks pengantar Sullamu at-Taufiq yang ditulis oleh ‘Abdullah bin Husain bin Thahir Ba’lawi (wafat 1272 H/ 1855 M). yang lain ialah Safinah an-Najah ditulis oleh Salim bin Abdullah bin Samir, ulama Hadrami yang tinggal di Batavia (kini: Jakarta) pada pertengahan abad ke-19.

Kitab daras (text book) ar-Riyadh al Badi’ah fi Ushul ad-Din wa Ba’dh Furu’ asy-Syari’ahyang membahas butir pilihan ajaran dan kewajiban agama diperkenalkan oleh Kyai Nawawi Banten pada kaum muslimin Indonesia. Tak banyak diketahui tentang pengarangnya, Muhammad Hasbullah. Barangkali ia sezaman dengan atau sedikit lebih tua dari Syekh Nawawi banten. Ia terutama dikenal karena syarah Nawawi, Tsamar al-Yani’ah. Karyanya hanya dicetak di pinggirnya.

Sullam al-Munajat merupakan syarah Nawawi atas pedoman ibadah Safinah ash-Shalahkarangan Abdullah bin ‘Umar al-Hadrami, sedangkan Tausyih Ibn Qasim merupakan komentarnya atas Fath al-Qarib. Walau bagaimanapun, masih banyak yang belum kita ketahui tentang Syekh Nawawi Banten. (ditulis oleh Martin Muntadhim S.M.) [ ]

SYEKH NAWAWI AL-BANTANI

Syekh Nawawi wafat pada tahun 1897 M, bertepatan dengan tanggal 25 Syawal tahun 1314 Hijriyah. Semua ikut berbelasungkawa. Ia meninggal dalam usia 75 tahun. Namun sejarah mencatat namanya bahwa syekh Nawawi adalah manusia yang luar biasa.
Pada tahun 1833 Syekh Nawawi kembali ke Banten. Dengan bekal yang pengetahuan agama yang telah dimiliki, ia banyak terlibat dalam proses belajar mengajar dengan para pemuda yang ada di wilayahnya yang tertarik dengan kepandaiannya. Ia juga aktif mengajar pada pesantren yang milik ayahnya. Akan tetapi Nawawi al-Bantani merasa tidak kerasan tinggal di Banten; ia pun berangkat lagi ke Mekah pada tahun 1855 dan bahkan selanjutnya hidup dan meniti karier keilmuan di Haramain hingga akhir hayatnya.
Ketika bayi Nawawi pertama akali menghirup udara tahun 1813 M, cuaca agama Islam di banten begitu pengap. Segala sesuatu yang menyangkut masalah-masalah agama senantiasa memikat para penjajah untuk ikut campur tangan. Dan semenjak berakhirnya Sultan Banten yang pertama dibawah Sultan Hasanudin yang memerintah dari tahun 1550 sampai tahun 1570, maka kejayaan Islam banten berangsur-angsur surut. Banten menjadi masa lampau yang menyimpan kenangan pahit dari kebiadaban kaum penjajah.

1. PENDAHULUAN
Bagi pemerhati Islam di Indonesia, Syekh Nawawi adalah fenomena besar dalam dunia kitab kuning, yang sekaligus concern dan piawai dalam merumuskan kajiannya dengan persepsi yang mantap. Puluhan kitab yang menelaah tentang berbagai cabang keilmuan telah dihasilkan oleh tangan ulama dari Banten ini.
Syekh Nawawi adalah pewaris keilmuan yang aktif dan dinamis, sebagai agen yang secara persuasif sanggup menerjemahkan masalah-masalah umat Islam melalui penalaran yang solid, untuk diletakkan kerangka dan tata pikir umat secara selaras dengan kondisi sosial kognitif yang ada.
Dalam makalah ini akan diuraikan tentang Syekh Nawawi al-Bantani dari mulai riwayat hidup, pengembaraan, karya-karyanya sampai kepada pengaruhnya terhadap jaringan ulama Timur Tengah-Nusantara.

2. RIWAYAT HIDUP DAN PEMIKIRANNYA
1. Biografi Singkat
Syekh Nawawi, nama aslinya ialah Muhammad Nawawi bin Umar bin 'Arabi.1Atau lebih lengkap sebagai Abu Abdil Mu'thi Muhammad Nawawi ibn Umar at-Tanari al-Bantani al-Jawi aatau yang lebih populer dengan Sayyidu 'Ulama al-Hijaz.2
Ia dilahirkan di desa Tanara, Kecamatan Tirtayasa , Serang, Banten. Itulah sebabnya Syekh Nawawi yang lahir pada tahun 1813 M dan bertepatan dengan tahun 1230 Hijriyah ini, dibelakang namanya ditambahkan dengan at-Tanari, dan al-Bantani serta al-Jawi.3melalui pelacakan geneologi kita akan menemukan Syekh syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati serta Maulan Hasanudin banten sebagai cikal bakal Syekh Nawawi. Melalui Bapak yang bernama Umar ibn 'Arabi, seorang penghulu di kecamatan Tanara, banten. Sedangkan Ibunya adalah Khadijah4 atau Zubaedah5 adalah seorang wanita religius yang juga warga Tanara.
Di dalam suasana yang muram seperti itu Nawawi tumbuh. Semenjak kecil Nawawi memang gemar mempertanyakan hal-hal yang sifatnya rawan seperti ketuhanan dan tauhid.

2. Pengembaraan Keilmuan dan Jaringan Ulama
Sebelum terlibat dalan jaringan ulama dan belajar kepada guru-guru ternama di Haramain, Syeikh Nawawi al-Bantani bersama dua orang saudara akandungnya,, Tamim dan Ahmad telah membekali pengetahuan agama dengan belajar Nahwu, kalam, nahwu, tafsir dan fikih keapada Haji Sahal (ulama yang mashur di daerah Banten saat itu) kemudian dari Raden haji Yusuf di Purwakarta, Karawang Jawa Barat.
Setelah melanglang ke berbagai wilayah di Jawa untuk berguru, maka pemuda nawawi yang ketika itu berusia 15 tahun bertekad hendak melakukan ibadah haji. Ia berangkat seorang diri tanpa perbekalan yang cukup. Tujuannya mantap yaitu Masjidil Haram, Mekah. Sesampainya di tempat tujuan yang, seusai melakukan ibadah haji, ia tergoda untuk tetap tinggal dan menuntut ilmu di Mekah.
Di Mekah ia antara lain belajar kepada Sayid Ahmad bin sayid Abdurrahman an-Nawawi, Sayid Ahmad Dimyati, dan sayid Ahmad Zaini Dahlan; sedangkan di Madinah ia belajar kepad Syekh Muhammad Khatib Sambas al-Hambali. Selain itu ia punya guru utama yang berasal dari Mesir yaitu Yusuf Sumulaweni, nahrawi, dan Abdul Hamid Dagastani, dan gurunya yang lain.
Ia termasuk seorang ulama Melayu-Indonesia di haramain yang aktif, produktif dan sangat dihormati bukan hanya oleh kalangan komunitas Jawa sendiri, tetapi lebih dari itu oleh masyarakat ulama kosmopolitan Haramain secara keseluruhan.

3. Pemikiran Syekh Nawawi al-Bantani
Kebesaran Syekh nawawi akan lebih jelas kalau diteropong melalui option pendidikan. Ia adalah seorang figur sentral yang mengajarkan berbagai corak keilmuan. Sudah jelas ia mengedepankan pendidikan, sebab ia merasa perlu untuk untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dengan keyakinan bahwa ilmu pengetahuan mampu menyebarkan keutamaan.
Melalui pendidikan maka masyarakat akan sanggup mengembangkan seluruh potensi yang ada dalam dirinya serta membersihkan jiwa-jiwanya dari kebodohan. Ilmu Pengetahuan dalam keyakinannya, sanggup mendekatkan para ahamba dengan penciptanya. Antara makhluk dengan Khalik.
Dalam jangka waktu yang relatif singkat, pikiran-pikirannya mulai mewarnai murid-muridnya. Maka tak heran jika pengaruhnya begitu kuat terhadap berdirinya pondok-pondok pesantren yang ada di Jawa/Nusantara pada masa lampau disebabkab karena adanya pengaruh Syekh Nawawi. Bukti nyatanya adalah bahwa pendiri-pendiri pondok pesantren tersebut adalah murid-muridnya.
Bisa dicatat nama-nama besar para pendiri pondok pesantren yang menjadi muridnya, seperti : KH. Kholil dari bangkalan, Madura; KH. Hasyim Asy’ari dari Tebuireng, Jombang; KH. Asnawi dari Kudus, Jawa Tengah; KH. Asnawi dari Caringin, Labuan, Banten; KH. Tb. Bakrie dari Sempur, Purwakarta; serta KH. Arsyad Thawil dari Banten. Di samping itu tentu saja masih banyak ulama-ulama lain yang pernah menjadi murid Syekh nawawi.
Pokok-pokok pandangannya mengenai keilmuan meliputi Ushulus Syari’ah, Ijtihad, serta prilaku sosial. Menurut Syekh nawawi, substansi dari Ushulus Syari’ah terdiri dari empat hal yaitu : al-Qur’an, Hadis, Ijma’ serta Qiyas. Konsep ini merujuk kepada al-Qur’an surat an-Nisa ayat 59 yang mengandung empat seruan untuk taat kepada Allah, Rasulullah, kepada ulil Amri dan kembali kepada Allah dan Rasul apabila ada perbedaan pendapat.
Tentang seruan yang pertama dan kedua sudah jelas akan keharusan berpegang kepada Al-qur’an dan Hadis. Sedangkan khusus yang menayngkut seruan yang ketiga, Syekh nawawi secara rinci mengatakan bahwa “ yang dimaksud dengan Ulil amri adalah Ulama yang termasuk dalam Ahlul halli wal Aqdi, yakni pemimpin yang haq (benar) dan penguasa yang adil. Sedangkan penguasa yang kejam dan korup tidak termasuk pihak yang harus ditaati. Apalagi pemimpin yang menindas rakyat. Walhasil, betapa tegas dan jelas pemikiran Syekh nawawi mengenai konsep dan tata laksana kenegaraan.
Di samping ia melakukan ortodoksi terhadap kaidah-kaidah agama yang sudah baku, secara kreatif ia juga melontarkan ide-ide bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Ia melakukan pembaharuan tersebut melalui pendidikan dan pembinaan terhadap kelompok elite agama yang menjadi muridnya secara bertahun-tahun di Mekah. Terbukti, banyak sekali muridnya yang menjadi pemimpin pesantren yang bergaya modern.
Konsep dakwah yang menjadi blue print dan kerangka pemikiran Syekh Nawawi cukup artikulatif yaitu, membagi tiga kelompok manusia bagi kelompok dakwahnya. Pertama, orang yang mempunyai akal sehat, punya wawasan dan mental kognitif yang luas, serta sanggup dan concert, melakukan kajian berbagai permasalahan keagamaan (Islam). Kedua, orang-orang yang mempunyai pandangan dan pengalaman tetapi pola pikirnya kacau dan tidak sistematis. Orang yang hanya mengandalkan inisiatif dan prakarsa dari orang lain. Ketiga, orang-orang yang bersikap apriori dan tidak aposteriori yang ahanya suka berdebat tanpa landasan pemikiran yang jelas.
Terhadap kelompok pertama, Syekh nawawi membuat formulasi sebagai berikut : “ ajaklah mereka ke jalan Allah, orang-orang yang memiliki akal sehat, jujur dan cerdas dalam berpikir serta punya wawasan yang jauh dan luas, kemukakanlah dasar-dasar yang kuat dan meyakinkan, agar mereka mengetahui hakikat kebenaran. Terhadap kelompok kedua, Syekh Nawawi memberikan konsep dakwah sebagai berikut : Ajaklah orang yang mempunyai pandangan dan pemahaman tetapi awam ini ke jalan Allah tapi dengan penjelasan yang mudah dipahami. Dan terhadap kelompok yang terakhir yaitu orang yang gemar berdebat tapi sikapna apriori, Syekh Nawawi punya konsep dakwah sebagai berikut : hadapilah orang-orang yang bersikap apriori dan selalu berdebat itu, dengan cara yang baik, meski untuk melayaninya harus menggunakan debat pula.6
Terhadap tarekat Syekh Nawawi punya stand point yang jelas. Di dalam kitab Bahjatul Wasaail yang dikarangnya, secara tegas ia katakan: “Syafi’I adalah mazhab saya dan Qadiriyah adalah tarekat saya”. Dalam tasawuf yang dipraktekkan sendiri oleh Nawawi adalah tasawuf yang agak moderat, tasawuf al-Ghazali yang menitikberatkan pada segi etis di dalam bentuk yang sederhana, seperti yang diajarkan dalam abad-abad yang lalu. Hal ini juga disimpulkan an-Nawawi dalam karyanya di tahun 1881 yaitu sebuah syrh terhadap karya al-Ghazali, Bidayatul Hidayah, dan di tahun 1884 sebuah syrh terhadap syair tasawuf , karya Zainul Din al-Malabari, nenek Zainul Din al-Malabari.7
Persepsi Syekh Nawawi tentang tarekat itu sendiri, secara rinci ia uraikan dalam kitabnya Kaasifatus Saja yang ia karang sendiri. Di dalamnya ia katakan bahwa dalam melakukan ibadah itu semestinya tidak hanya menitikberatkan dari segi syari’ah saja, tetapi juga menekankan segi tarekat dan hakekat. Implikasi ibadah mempunyai tiga muatan, yaitu: pertama, manusia harus mengerjakan ibadahnya sesuai yang ditentukan oleh syari’at; kedua, manusia harus mengerjakan seperti yang pertama dan harus bermusyakafah sengan Tuhannya; ketiga, manusia di samping harus mengerjakan ibadahnya seperti yang pertama dan kedua, juga harus bermuraqabah dengan Tuhannya.
Karya monumentalnya adalah Tafsir Marah Labid yang diterbitkan pada permulaan tahun 1880 M. menurut Karel A. Steenbrink setelah membandingkan antara Tafsir jalalain, tafsir Baedhawi, Tafsir Munir dan Tafsir an-Nur menyimpulkan bahwa karya an-Nawawi jauh lebih baik dan lengkap.8

3. KESIMPULAN
Tidak diragukan lagi bahwa Syekh an-Nawawi al-Bantani adalah seorang ulama Melayu-Nusantara yang telah berhasil melanjutkn tradisi para ulama Melayu sebelumnya untuk mentransformasikan gagasan keilmuan-melalui murid dan karyanya- dari Haramain ke wilayah Nusantara, khusunya Indonesia. Kendati karier keilmuannya lebih banyak dicurahkan di tanah Arab, namun melalui karya-karyanya, kaum Muslim Melayu-Indonesia pun banyak menikmati manfaat ajarannya. Ia bahkan dianggap oleh mereka sebagai nenek moyang intelektualnya.
Masa hidup Syekh Nawawi (1813-1897) atau sekitar 75 tahun begitu singkat dan padat. Tapi keharuman namanya terus semerbak sepanjang masa. Juga keharuman ilmu pengetahuan dan budi pekertinya. Ia taburkan keutamaan serta keteladanan dan zaman pun mengenangnya.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Ma'ruf dan M. Nasrudin Anshory, Pemikiran Syeikh Nawawi al-Bantani dalam Majalah Pesantren No. 1/Vol. VI/1989.
Azra, Azyumardi dan Oman Fathurrahman, Jaringan Ulama Ensiklopedia Tematis Dunia Islam 5, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002.
Maragustam S, Pemikiran Syaikh Nawawial-Bantani Tentang Pendidikan Moral Dalam "Qami' al-Tugyan", Yogyakarta: Jurnal Penelitian Agama Vol. X,2001.
Steenbrink, Karel A.., Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Jakarta: Bulan Bintang, 1984.



1 Maragustam S, Pemikiran Syaikh Nawawial-Bantani Tentang Pendidikan Moral Dalam "Qami' al-Tugyan"(Jogjakarta: Jurnal Penelitian Agama Vol. X,2001) hlm.391.
2 Ma'ruf Amin dan M. Nasrudin Anshory, Pemikiran Syeikh Nawawi al-Bantani dalam majalah Pesantren No. 1/Vol. VI/1989. hlm. 95.
3 Ibid. hlm. 96.
4 Azyumardi Azra dan Oman Fathurrahman, Jaringan Ulama Ensiklopedia Tematis Dunia Islam 5 (Jakarta: PT. Ichtiar baru Van Hoeve, 2002)hlm. 134.
5 Ma'ruf Amin,……hlm. 96.
6 Ibid. Hlm. 104.
7 Karel A Steenbrink., Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19,( Jakarta: Bulan Bintang, 1984) hlm. 121.

8 Ibid.hlm. 127.
SYEKH NAWAWI AL-BANTANI

Penghulu Para Ulama

Sayid ’Ulamail Hijaz adalah gelar yang disandangnya. Sayid adalah penghulu, sedangkan Hijaz wilayah Saudi sekarang, yang di dalamnya termasuk Mekah dan Madinah. Dialah Syekh Muhammad Nawawi, yang lebih dikenal orang Mekah sebagai Nawawi al-Bantani, atau Nawawi al-Jawi seperti tercantum dalam kitab-kitabnya.
Al-Bantani menunjukkan bahwa ia berasal dari Banten, sedangkan sebutan al-Jawi mengindikasikan musalnya yang Jawah, sebutan untuk para pendatang Nusantara karena nama Indonesia kala itu belum dikenal. Kalangan pesantren sekarang menyebut ulama yang juga digelari asy-Syaikh al-Fakih itu sebagai Nawawi Banten.
Muhammad Nawawi lahir pada 1230 H (1815 M) di Tanara, sekitar 25 km arah utara Kota Serang. Ayahnya, Umar ibnu Arabi, adalah penghulu setempat. Ia sendiri yang mengajar putra-putranya (Nawawi, Tamim, dan Ahmad) pengetahuan dasar bahasa Arab, Fikih, dan Tafsir.
Kemudian mereka melanjutkan pelajaran ke Kiai Sahal, masih di Banten, dan setelah itu mesantren ke Purwakarta, Jawa Barat, kepada Kiai Yusuf yang banyak santrinya dari seluruh Jawa. Masih remaja ketika mereka menunaikan ibadah haji, Nawawi baru berusia 15 tahun, dan tinggal selama tiga tahun di mekah. Tapi, kehidupan intelektual Kota Suci itu rupanya mengiang-ngiang dalam diri si sulung, sehingga tidak lama setelah tiba di Banten ia mohon dikembalikan lagi ke Mekah. Dan di sanalah ia tinggal sampai akhir hayatnya. Ia wafat pada 25 Syawwal 1314 H/1897 M. Kabar lain menyebutkan kembalinya ke Tanah Suci, setelah setahun di Tanara meneruskan pengajaran ayahnya, disebabkan situasi politik yang tidak menguntungkan. Agaknya keduanya benar.
Di Mekah, selama 30 tahun Nawawi belajar pada ulama-ulama terkenal seperti Syekh Abdul Gani Bima, Syekh Yusuf Sumbulaweni, Syekh Nahrawi, dan Abdul Hamid Daghestani, selain pada Khatib Sambas, pemimpin tarekat Qadiriah, penulis kitab Fathul Arifin, bacaan pengamal tarekat di Asia Tenggara. Samba juga merupakan guru tokoh di balik pemberontakan petani Banten (1888), KH Abdul Karim alias Kiai Agung, yang menjelang ajal sang guru dipanggil kembali ke Mekah untuk menggantikan kedudukannya.
Dalam penggambaran Snouck Hurgronje, Syekh Nawawi adalah orang yang rendah hati. Dia memang menerima cium tangan dari hampir semua orang di Mekah, khususnyan orang Jawa, tapi itu hanya sebagai penghormatan kepada ilmu. Kalau ada orang yang meminta nasihatnya di bidang fikih, dia tidak pernah menolaknya.
Snouck Hurgronje pernah menanyakan, mengapa dia tidak mengajar di Masjid al-Haram, Syekh Nawawi menjawab bahwa pakaiannya yang jelek dan kepribadiannya yang tidak cocok dengan kemulian seorang profesor berbangsa Arab. Sesudah itu Snouck mengatakan bahwa banyak orang yang tidak berpengetahuan tidak sedalam dia, toh mengajar di sana juga. Nawawi menjawab, “Kalau mereka diizinkan mengajar di sana, pastilah mereka cukup berjasa untuk itu”.(Lihat, Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia, h. 117-122)
Pada tahun 1860-1970, Nawawi mulai aktif memberi pengajaran. Tapi itu dijalaninya hanya pada waktu-waktu senggang, sebab antara tahun-tahun tersebut ia sudah sibuk menulis buku-buku. Di antara murid-muridnya yang berasal dari Indonesia adalah:
1. KH Hasyim Asy’ari, Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Kelak bersama KH Wahab Hasbullah mendirikan Nahdlatul Ulama (NU).
2. KH Khalil, Bangkalan, Madura, Jawa Timur.
3. KH Mahfudh at-Tarmisi, Tremas, Jawa Timur.
4. KH Asy’ari, Bawean, yang kemudian diambil mantu oleh Syekh Nawawi dinikahkan dengan putrinya, Nyi Maryam.
5. KH Nahjun, Kampung Gunung, Mauk, Tangerang, yang dijadikan mantunya (cucu).
6. KH Asnawi, Caringin, Labuan (kelak memimpin Sarekat islam di Banten).
7. KH Ilyas, Kragilan, Serang.
8. KH Abdul Ghaffar, Tirtayasa, Serang.
9. KH Tubagus Bakri, Sempur, Purwakarta.
10. KH Mas Muhammad Arsyad Thawil, Tanara, Serang, yang kemudian dibuang Belanda ke Manado, Sulawesi Utara, karena peristiwa Geger Cilegon.
Mata pelajaran yang diajarkan Nawawi meliputi Fikih, Ilmu Kalam, Tasawuf/Akhlak, Tafsir, dan Bahasa Arab.

Karya-karyanya
Setelah tahun 1870 Nawawi memusatkan kegiatannya hanya untuk mengarang. Dan boleh dikata, Nawawi adalah penulis yang subur, kurang lebih dari 80 kitab yang dikarangnya. Tulisan-tulisannya meliputi karya pendek, berupa berbagai pedoman ibadah praktis, sampai tafsir al-Qur’an – sebagian besarnya merupakan syarah kitab-kitab para pengarang besar terdahulu.
Berikut contoh beberapa karya Nawawi, mulai dari fikih, tafsir, sampai bahasa Arab, yang kita kutip dari H Rafiuddin (Sejarah Hidup dan Silsilah al-Syeikh Kyai Muhammad Nawawi Tanari, 1399 H):
1. Sulam al-Munajah, syarah atas kitab Safinah ash-Shalah, karya Abdullah ibn Umar al-Hadrami.
2. Al-Tsimar al-Yaniat fi riyadl al-Badi’ah, syarah atas kitab Al-Riyadl al-Badi’ah fi Ushul ad-Din wa Ba’dhu furu’usy Sar’iyyah ’ala Imam asy-Syafi’i karya Syekh Muhammad Hasballah ibn Sulaiman.
3. Uqud al-Lujain fi Bayani Huquq al-Jawazain, kitab fikih mengenai hak dan kewajiban suami-istri
4. Nihayatuz Zain fi Irsyad al-Mubtadiin, syarah atas kitab Qurratul ’aini bi muhimmati ad-din, karya Zainuddin Abdul Aziz al-Maliburi.
5. Bahjat al-Wasil bi Syarhil Masil, syarah atas kitab Ar-Rasail al-Jami’ah Baina Ushul ad-Din wal-Fiqh wat-Tasawuf, karya Sayid Ahmad ibn Zein al-Habsyi.
6. Qut al-Habib al-Ghaib, Hasyiyah atas syarah Fathul Gharib al-Mujib karya Muhammad ibn Qasyim al-Syafi’i.
7. Asy-Syu’ba al-Imaniyyat, ringkasan atas dua kitab yaitu Niqayyah karya al-Sayuthi dan al-Futuhat al-Makiyyah karya Syekh Muhammad ibn Ali.
8. Marraqiyyul ’Ubudiyyat, syarah atas kitab Bidayatul Hidayah karya Abu hamid ibn Muhammad al-Ghazali .
9. Tanqih al-Qaul al-Hadits, syarah atas kitab Lubab al-Hadits karya al-Hafidz Jalaluddin Abdul Rahim ibn Abu Bakar as-Sayuthi.
10. Murah Labib li Kasyfi Ma’na al-Qur’an al-Majid, juga dikenal sebagai Tafsir Munir.
11. Qami’al Thughyan, syarah atas Syu’ub al Iman, karya Syekh Zaenuddin ibn Ali ibn Muhammad al-Malibari.
12. Salalim al-Fudlala, ringkasan/risalah terhadap kitab Hidayatul Azkiya ila Thariqil Awliya, karya Zeinuddin ibn Ali al-Ma’bari al-Malibari.
13. Nasaih al-Ibad, syarah atas kitab Masa’il Abi Laits, karya Imam Abi Laits.
14. Minqat asy-Syu’ud at-Tasdiq, syarah dari Sulam at-Taufiq karya Syeikh Abdullah ibn Husain ibn Halim ibn Muhammad ibn Hasyim Ba’lawi.
15. Kasyifatus Saja, syarah atas kitab Syafinah an-Najah, karya Syekh Salim ibn Sumair al-Hadrami.
Dalam pada itu, YA Sarkis menyebut 38 karya Nawawi yang penting, yang sebagiannya diterbitkan di Mesir. Misalnya Murah Labib, yang juga dikenal sebagaiTafsir Munir.
Berikut beberapa contoh karya Nawawi yang penting yang terbit di Mesir (Dhofier, 86):
1. Syarah al-Jurumiyah, isinya tentang tata bahasa Arab, terbit tahun 1881.
2. Lubab al-Bayan (1884).
3. Dhariyat al-Yaqin, isinya tentang doktrin-doktrin Islam, dan merupakan komentar atas karya Syekh sanusi, terbit tahun 1886.
4. Fathul Mujib. Buku ini merupakan komentar atas karya ad-Durr al-Farid, karya Syekh Nahrawi (guru Nawawi) terbit tahun 1881.
5. Dua jilid komentar tentang syair maulid karya al-Barzanji. Karya ini sangat penting sebab selalu dibacakan dalam perayaan-perayaan maulid.
6. Syarah Isra’ Mi’raj, juga karangan al-Barzanji.
7. Syarah tentang syair Asmaul Husna.
8. Syarah Manasik Haji karangan Syarbini terbit tahun 1880.
9. Syarah Suluk al-Jiddah (1883)
10. Syarah Sullam al-Munajah (1884) yang membahas berbagai persoalan ibadah.
11. Tafsir Murah Labib.
Syekh Nawawi menjadi terkenal dan dihormati karena keahliannya menerangkan kata-kata dan kalimat-kalimat Arab yang artinya tidak jelas atau sulit dimengerti yang tertulis dalam syair terkenal yang bernafaskan keagamaan. Kemasyhuran Nawawi terkenal di hampir seluruh dunia Arab. Karya-karyanya banyak beredar terutama di negara-negara yang menganut faham Syafi’iyah. Di Kairo, Mesir, ia sangat terkenal. TafsirnyaMurah Labib yang terbit di sana diakui mutunya dan memuat persoalan-persoalan penting sebagai hasil diskusi dan perdebatannya dengan ulama al-Azhar.
Di Indonesia khususnya di kalangan pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan Islam, serta peminat kajian Islam Syekh Nawawi tentu saja sangat terkenal. Sebagian kitabnya secara luas dipelajari di pesantren-pesantren Jawa, selain di lembaga-lembaga tradisional di Timur tengah, dan berbagai pemikirannya menjadi kajian para sarjana, baik yang dituangkan dalam skripsi, tesis, disertasi, atau paper-paper ilmiah, di dalam maupun luar negeri.
Beberapa karya ilmiah tentang Syekh Nawawi yang ditulis sarjana kita antara lain:
1. Ahmad Asnawi, Pemikiran Syekh Nawawi al-Bantani tentang Af’al al-’Ibad (Perbuatan Manusia), (Tesis Magister IAIN Jakarta, 1984).
2. Ahmad Asnawi, Penafsiran Syekh Muhammad nawawi tentang Ayat-ayat Qadar. (Disertasi Doktor IAIN Jakarta, 1987).
3. Hazbini, Kitab Ilmu Tafsir Karya Syeikh Muhammad Nawawi, (Tesis Magister IAIN Jakarta, 1996).
4. MA Tihami, Pemikiran Fiqh al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani,(Disertasi Doktor IAIN Jakarta, 1998).
5. Sri Mulyati, Sufism in Indonesia: Analysisof Nawawi al-Bantani’s Salalim al-Fudhala, (Tesis Mgister McGill University, Kanada, 1992).
6. Muslim Ibrahim Abdur Rauf, Al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Jawi: Hayatuhu wa Atsaruhu fi al-Fiqh al-Islami. (Tesis Magister, Al-Azhar University, Kairo, 1979).

Nawawi dan Polotik Kolonialisme
Syekh Nawawi memang tidak seaktif Syekh Nahrawi yang menyerukan jihad dalam menghadapi kekuasaan asing di Nusantara. Toh dia merasa bersyukur juga ketika mendengar betapa Belanda menghadapi banyak kesulitan di Aceh. Dalam pembicaraannya dengan Snouck Hurgronje, dia tidak menyetujui pendapat bahwa tanah Jawa harus diperintah oleh orang Eropa.
“Andaikata Kesultanan Banten akan dihidupkan kembali, atau andaikata sebuah negara Islam independen akan didirikan di sana, pasti dia akan betul-betul merupakan kegiatan suatu kelompok orang fanatik yang tidak teratur,” kata Hurgronje, yang pernah menetap selama enam bulan di Mekah (dalam penyamaran), 1884-1885. Tak heran, jika ia memandang pemberontakan petani di Cilegon (1888) yang dipimpin KH Wasid, sebagai jihad yang diperintahkan.(suryana sudrajat dan abdul malik/artikel ini juga bisa dibaca di buku Jejak Ulama Banten, dari Syekh Nawawi Hingga Abuya Dimyati, penerbit Humas Setda Provinsi Banten, 2004)
kegiatan Intelektual Syeikh Nawawi Al-Bantani
1. Mengarang, mengajar dan menjadi Imam Masjid Al-Haram
Disamping mengajar, mengarang dan menjadi Imam di Masjid Al-Haram, Syeikh Nawawi al-Bantani juga tidak luput memantau perkembangan sosial politik di tanah air melalui muridnya yang berasal dari Indonesia serta menyumbangkan ide-ide dan pemikiranya untuk kemajuan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, selain pelajaran agama, Syeikh Nawawi juga mengajarkan makna kemerdekaan, anti-kolonialisme dan Imperialisme dengan cara yang halus. Karena bagi Syeikh Nawawi, betapa perlu dan mendesaknya sekarang untuk mencetak kader-kader patriotik yang kelak mampu menegakkan kebenaran, menumpas kebatilan dan menghancurkan kezaliman.
Hasil didikan anti penjajah yang halus tersebut, kemudian dijabarkan oleh murid-muridnya setelah kembali ketanah air. Misalnya K.H. Hasim Asy’ari pada masa revolusi fisik, mengeluarkan Resolusi Jihad yang berisi seruan untuk mempertahankan kemerdekaan dan mengusir penjajah dari tanah air. Hasil dari Resolusi Jihad tersebut adalah meletusnya peristiwa 10 Nopember di Surabaya yang kemudian setiap tahunya diperingati sebagai Hari Pahlawan secara Nasional.
Selain itu, Syeikh Nawawi juga aktif dalam membina koloni Jawa atau Kampung Jawa. Aktivitas koloni Jawa ini meskipun di Mekkah, tetapi mendapat perhatian khusus dari pemerintah kolonial Belanda di Indonesia, karena dianggap cukup membahayakan. Karena dari sanalah lahir para pelopor gerakan di Nusantara.
Di samping dari para murid yang datang dari Indonesia, para Syeikh atau ulama yang berasal dari Indonesia juga bisa mendapatkan informasi tentang perkembangan situasi sosial politik yang sedang terjadi dari jamaah haji dari Indonesia yang datang ke Mekkah dan Madinah. Di samping melaksanakan kewajiban utama mereka untuk beribadah, mereka juga bertukar informasi terutama tentang situasi dan kondisi yang ada di kawasan masing-masing.

2. Hanya dua Ahli Tafsir
Syeikh Nawawi mewakili orang non Arab yang menulis karya tafsirnya dalam bahasa Arab yang sangat indah. Tidak seperti Muhammad Abduh (w.1905), Nawawi menampilkan a new classical tradisi tafsir, sebuah tafsir yang tetap mempertimbangkan karya-karya ulama abad pertengahan, namun pada saat yang sama menunjukan kondisi-kondisi kekinian. Sementara Abduh lebih dipengaruhi oleh ide-ide para pemikir Mu’tazilah, Nawawi sangat dipengaruhi oleh pemikiran para ulama sunni abad pertengahan, seperti karya-karya Ibnu Umar Kasir al-Quraisi (lahir tahun 1300), Jalal ad-Din Mahalli (w.846/1460), Jalal ad-Din As Suyuti (w.911/1505), dan yang sejenisnya. Lagi pula, Abduh tampaknya lebih mengembangkan kekuatan analisis, sedangkan Nawawi lebih bersandar pada al-Qur’an, Hadits, pendapat para sahabat dan ulama Salaf terpercaya.

Kontribusi utama Nawawi dalam bidang tafsir adalah bahwa dia telah menulis sebuah tafsir ketika dunia Islam tidak menunjukan adanya tanda-tanda munculnya revitalisasi tradisi klasik Islam. Pada masanya hanya terdapat sejumlah kecil karya tafsir sejenis yang dihasilkan. Situasi ini disebabkan oleh keengganan internal dikalangan muslim untuk menulis tafsir karena adanya peringatan dari Nabi bahwa siapapun yang mengomentari atau menafsirkan sesuatu di dalam al-Qur’an yang didasarkan pada pendapatnya, ia telah melakukan suatu kekeliruan. Neraka akan menjadi tempat kembali bagi siapa saja yang melakukan kesalahan itu. Nawawi sendiri benar-benar mengalami kebimbangan yang cukup lama sebelum ia memutuskan untuk menulis tafsir, meskipun banyak orang yang meyakinkan dan mendukungnya untuk menulis tafsir. Nawawi menyadari betul peringatan hadits tersebut, namun akhirnya ia menulis tafsir dengan pengakuan bahwa dia mengerjakan karya sederhana ini untuk menunjukan kesalehan ulama salaf dalam memelihara ilmu pengetahuan agar setiap orang memperoleh manfaat darinya. Dia menyadari sepenuhnya bahwa dia tidak terlepas dari unsur kekeliruan manusiawi. Karena itulah, dia menyelesaikan tafsirnya dengan sangat cermat dan menyandarkan semua karyanya kepada penjelasan al-Qur’an itu sendiri yang terdapat pada ayat-ayat lainnya, hadits Nabi, pernyataan para sahabat dan salaf ash shaleh.
Kekhasan karya Nawawi terletak pada perhatian khususnya pada nilai pentingnya pengetahuan. Sebagai contoh, dalam menafsirkan induk al-Quran (surat al-fatihah) dia menjelaskan bahwa surat ini memuat paling tidak empat bidang ilmu pengetahuan.
Pertama, tauhid, keesaan Tuhan, atau teologi. Sifat-sifat ketuhanan tercakup dalam fase al-hamdu lillahi rabbil ‘alamin, arrohman arrohim, dan tugas-tugas kenabian di dalam alladziina an’amta ‘alaihim. Hari pembalasan diartikulasikan dalam yaumiddin.
Kedua, hukum Islam dengan ibadah sebagai bagian terpenting. Pada dasarnya, hukum Islam terdiri atas aturan-aturan materiil maupun fisik yang berkaitan dengan permasalahan kehidupan, mu’amalah, kehidupan sosial, dan pernikahan. Semuanya termuat dalam makna shirotol mustaqiim.
Ketiga, kesempurnaan ilmu yang sejalan dengan moralitas Islam. Ini termasuk istiqomah, berada di jalan yang lurus, sebagaimana yang ditunjukkan dalam iyyaka nasta’in.
Keempat, sejarah atau kisah berbagai bangsa pada masa lampau. Kemuliaan perlu diteladani berasal dari para Nabi, dan sebaliknya bagaimana orang-orang yang merugi karena mereka tidak beriman, sebagaimana termuat dalam al-ladzina an’amta ‘alaihim, dan berikutnya dalam ghairil maghduubi ‘alaihim waladdholin.

3. Sebagai Pengikut Tariqah
Menurut Snouck Hurgronce, “Nawawi tidak mengajarkan atau melarang murid-muridnya mengikut tarekat”. Meskipun bersikap netral, Nawawi selalu mengaku pengikut Syeikh Khatib Sambas (Ahmad Khatib as-Sambasi w.1878), pendiri tarekat Qadariyah Naqsyabandiyah.
Sebagaimana Sambas, Nawawi adalah penganut sufisme Ghazali. Dia menyarankan kepada masyarakat untuk mengikuti salah satu Imam tasawuf, seperti imam Sa’id bin Muhammad Abi al-Qasim al-Junaidi. Baginya, dia adalah pangeran sufisme dalam arti teoritis maupun praktis.

4. Harus banyak mengarang
Pada tahun 1870 kesibukannya bertambah karena ia harus banyak menulis kitab. Terkadang Beliau menulis Kitab hanya diterangi oleh lampu tempel (lampu yang berbahan bakar minyak tanah). Inisiatif menulis banyak datang dari desakan sebagian koleganya yang meminta untuk menuliskan beberapa kitab. Kebanyakan permintaan itu datang dari sahabatnya yang berasal dari Jawa, karena dibutuhkan untuk dibacakan kembali di daerah asalnya. Desakan itu dapat terlihat dalam setiap karyanya yang sering ditulis atas permohonan sahabatnya. Kitab-kitab yang ditulisnya sebagian besar adalah kitab-kitab komentar (Syarh) dari karya-karya ulama sebelumnya yang populer dan dianggap sulit dipahami. Alasan menulis Syarh selain karena permintaan orang lain, Syeikh Nawawi juga berkeinginan untuk melestarikan karya pendahulunya yang sering mengalami perubahan dan pengurangan.
Syaikh Nawawi Al-Bantani Al-Jawi (1):
Guru Para Ulama Indonesia

Bismilahirrahmanirrahim Walhamdulillahi Rabbil ‘aalamiin Wassholatu Wassalamu `
Ala Rasulillah, Wa’ala Aalihie Washohbihie Waman Walaah amma ba’du…
Ada beberapa nama yang bisa disebut sebagai tokoh Kitab Kuning Indonesia. Sebut misalnya, Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Abdul Shamad Al-Palimbani, Syekh Yusuf Makasar, Syekh Syamsudin Sumatrani, Hamzah Fansuri, Nuruddin Al-Raniri, Sheikh Ihsan Al-Jampesi, dan Syekh Muhammad Mahfudz Al-Tirmasi. Mereka ini termasuk kelompok ulama yang diakui tidak hanya di kalangan pesantren di Indonesia, tapi juga di beberapa universitas di luar negeri. Dari beberapa tokoh tadi, nama Syekh Nawawi Al-Bantani boleh disebut sebagai tokoh utamanya. Ulama kelahiran Desa Tanara, Kecamatan Tirtayasa, Serang, Banten, Jawa Barat, 1813 ini layak menempati posisi itu karena hasil karyanya menjadi rujukan utama berbagai pesantren di tanah air, bahkan di luar negeri.
Bernama lengkap Abu Abdullah al-Mu’thi Muhammad Nawawi bin Umar al-Tanari al-Bantani al-Jawi, Syekh Nawawi sejak kecil telah diarahkan ayahnya, KH. Umar bin Arabi menjadi seorang ulama. Setelah mendidik langsung putranya, KH. Umar yang sehari-harinya menjadi penghulu Kecamatan Tanara menyerahkan Nawawi kepada KH. Sahal, ulama terkenal di Banten. Usai dari Banten, Nawawi melanjutkan pendidikannya kepada ulama besar Purwakarta Kyai Yusuf.
Ketika berusia 15 tahun bersama dua orang saudaranya, Nawawi pergi ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji. Tapi, setelah musim haji usai, ia tidak langsung kembali ke tanah air. Dorongan menuntut ilmu menyebabkan ia bertahan di Kota Suci Mekkah untuk menimba ilmu kepada ulama-ulama besar kelahiran Indonesia dan negeri lainnya, seperti Imam Masjidil Haram Syekh Ahmad Khatib Sambas, Abdul Ghani Bima, Yusuf Sumbulaweni, Syekh Nahrawi, Syekh Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan, Muhammad Khatib Hambali, dan Syekh Abdul Hamid Daghestani.
Tiga tahun lamanya ia menggali ilmu dari ulama-ulama Mekkah. Setelah merasa bekal ilmunya cukup, segeralah ia kembali ke tanah air. Ia lalu mengajar dipesantren ayahnya. Namun, kondisi tanah air agaknya tidak menguntungkan pengembangan ilmunya. Saat itu, hampir semua ulama Islam mendapat tekanan dari penjajah Belanda. Keadaan itu tidak menyenangkan hati Nawawi. Lagi pula, keinginannya menuntut ilmu di negeri yang telah menarik hatinya, begitu berkobar. Akhirnya, kembalilah Syekh Nawawi ke Tanah Suci.
Kecerdasan dan ketekunannya mengantarkan ia menjadi salah satu murid yang terpandang di Masjidil Haram. Ketika Syekh Ahmad Khatib Sambas uzur menjadi Imam Masjidil Haram, Nawawi ditunjuk menggantikannya. Sejak saat itulah ia menjadi Imam Masjidil Haram dengan panggilan Syekh Nawawi al-Jawi. Selain menjadi Imam Masjid, ia juga mengajar dan menyelenggarakan halaqah (diskusi ilmiah) bagi murid-muridnya yang datang dari berbagai belahan dunia.
Laporan Snouck Hurgronje, orientalis yang pernah mengunjungi Mekkah ditahun 1884-1885 menyebut, Syekh Nawawi setiap harinya sejak pukul 07.30 hingga 12.00 memberikan tiga perkuliahan sesuai dengan kebutuhan jumlah muridnya. Di antara muridnya yang berasal dari Indonesia adalah KH. Kholil Madura, K.H. Asnawi Kudus, K.H. Tubagus Bakri, KH. Arsyad Thawil dari Banten dan KH. Hasyim Asy’ari dari Jombang. Mereka inilah yang kemudian hari menjadi ulama-ulama terkenal di tanah air. Sejak 15 tahun sebelum kewafatannya, Syekh Nawawi sangat giat dalam menulis buku. Akibatnya, ia tidak memiliki waktu lagi untuk mengajar. Ia termasuk penulis yang produktif dalam melahirkan kitab-kitab mengenai berbagai persoalan agama. Paling tidak 34 karya Syekh Nawawi tercatat dalam Dictionary of Arabic Printed Bookskarya Yusuf Alias Sarkis.
Beberapa kalangan lainnya malah menyebut karya-karyanya mencapai lebih dari 100 judul, meliputi berbagai disiplin ilmu, seperti tauhid, ilmu kalam, sejarah, syari’ah, tafsir, dan lainnya. Di antara buku yang ditulisnya dan mu’tabar (diakui secara luas–Red) seperti Tafsir Marah Labid, Atsimar al-Yaniah fi Ar-Riyadah al-Badiah, Nurazh Sullam, al-Futuhat al-Madaniyah, Tafsir Al-Munir, Tanqih Al-Qoul, Fath Majid, Sullam Munajah, Nihayah Zein, Salalim Al-Fudhala, Bidayah Al-Hidayah, Al-Ibriz Al-Daani, Bugyah Al-Awwam, Futuhus Samad, dan al-Aqdhu Tsamin. Sebagian karyanya tersebut juga diterbitkan di Timur Tengah. Dengan kiprah dan karya-karyanya ini, menempatkan dirinya sebagai Sayyid Ulama Hijaz hingga sekarang.
Dikenal sebagai ulama dan pemikir yang memiliki pandangan dan pendirian yang khas, Syekh Nawawi amat konsisten dan berkomitmen kuat bagi perjuangan umat Islam. Namun demikian, dalam menghadapi pemerintahan kolonial Hindia Belanda, ia memiliki caranya tersendiri. Syekh Nawawi misalnya, tidak agresif dan reaksioner dalam menghadapi kaum penjajah. Tapi, itu tak berarti ia kooperatif dengan mereka. Syekh Nawawi tetap menentang keras kerjasama dengan kolonial dalam bentuk apapun. Ia lebih suka memberikan perhatian kepada dunia ilmu dan para anak didiknya serta aktivitas dalam rangka menegakkan kebenaran dan agama Allah SWT.
Dalam bidang syari’at Islamiyah, Syekh Nawawi mendasarkan pandangannya pada dua sumber inti Islam, Alquran dan Al-Hadis, selain juga ijma’ dan qiyas. Empat pijakan ini seperti yang dipakai pendiri Mazhab Syafi’iyyah, yakni Imam Syafi’i. Mengenai ijtihad dan taklid (mengikuti salah satu ajaran), Syekh Nawawi berpendapat, bahwa yang termasuk mujtahid (ahli ijtihad) mutlak adalah Imam Syafi’i, Hanafi, Hanbali, dan Maliki. Bagi keempat ulama itu, katanya, haram bertaklid, sementara selain mereka wajib bertaklid kepada salah satu keempat imam mazhab tersebut. Pandangannya ini mungkin agak berbeda dengan kebanyakan ulama yang menilai pintu ijtihad tetaplah terbuka lebar sepanjang masa. Barangkali, bila dalam soal mazhab fikih, memang keempat ulama itulah yang patut diikuti umat Islam kini.
Apapun, umat Islam patut bersyukur pernah memiliki ulama dan guru besar keagamaan seperti Syekh Nawawi Al-Bantani. Kini, tahun haul (ulang tahun wafatnya) diperingati puluhan ribu orang di Tanara, Banten, setiap tahunnya.
Syekh Nawawi al-Bantani wafat dalam usia 84 tahun di Syeib A’li, sebuah kawasan di pinggiran kota Mekkah, pada 25 Syawal 1314H/1879 M.
Syaikh Nawawi Al-Bantani Al-Jawi (2): Karya dan Karomahnya
oleh: Ust. H. Agus Zainal Arifin
Bismilahirrahmanirrahim Walhamdulillahi Rabbil ‘aalamiin Wassholatu Wassalamu `
Ala Rasulillah, Wa’ala Aalihie Washohbihie Waman Walaah amma ba’du…
Syekh Muhammad bin Umar Nawawi Al-Bantani Al-Jawi, adalah ulama Indonesia bertaraf internasional, lahir di Kampung Pesisir, Desa Tanara, Kecamatan Tanara, Serang, Banten, 1815. Sejak umur 15 tahun pergi ke Makkah dan tinggal di sana tepatnya daerah Syi’ab Ali, hingga wafatnya 1897, dan dimakamkan di Ma’la. Ketenaran beliau di Makkah membuatnya di juluki Sayyidul Ulama Hijaz (Pemimpin Ulama Hijaz). Daerah Hijaz adalah daerah yang sejak 1925 dinamai Saudi Arabia (setelah dikudeta oleh Keluarga Saud).
Diantara ulama Indonesia yang sempat belajar ke Beliau adalah Syaikhona Khalil Bangkalan dan Hadratusy Syekh KH Hasyim Asy’ari. Kitab-kitab karangan beliau banyak yang diterbitkan di Mesir, seringkali beliau hanya mengirimkan manuscriptnya dan setelah itu tidak mempedulikan lagi bagaimana penerbit menyebarluaskan hasil karyanya, termasuk hak cipta dan royaltinya. Selanjutnya kitab-kitab beliau itu menjadi bagian dari kurikulum pendidikan agama di seluruh pesantren di Indonesia, bahkan Malaysia, Filipina, Thailand, dan juga negara-negara di Timur Tengah. Begitu produktifnya beliau dalam menyusun kitab (semuanya dalam bahasa Arab) hingga orang menjulukinya sebagai Imam Nawawi kedua. Imam Nawawi pertama adalah yang membuat Syarah Shahih Muslim, Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Riyadlush Shalihin, dll. Namun demikian panggilan beliau adalah Syekh Nawawi bukan Imam Nawawi.
Jumlah kitab beliau yang terkenal dan banyak dipelajari ada sekitar 22 kitab. Beliau pernah membuat tafsir Al-Qur’an berjudul Mirah Labid yang berhasil membahas dengan rinci setiap ayat suci Al-Qur’an. Buku beliau tentang etika berumah tangga, berjudul Uqudul Lijain (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia) telah menjadi bacaan wajib para mempelai yang akan segera menikah. Kitab Nihayatuz Zain sangat tuntas membahas berbagai masalah fiqih (syariat Islam). Sebuah kitab kecil tentang syariat Islam yang berjudul Sullam (Habib Abdullah bin Husein bin Tahir Ba’alawi), diberinya Syarah (penjelasan rinci) dengan judul baru Mirqatus Su’udit Tashdiq. Salah satu karya beliau dalam hal kitab hadits adalah Tanqihul Qoul, syarah Kitab Lubabul Hadith (Imam Suyuthi). Kitab Hadits lain yang sangat terkenal adalah Nashaihul Ibad, yang beberapa tahun yang lalu dibahas secara bergantian oleh Alm. KH Mudzakkir Ma’ruf dan KH Masrikhan (dari Masjid Jami Mojokerto) dan disiarkan berbagai radio swasta di Jawa Timur. Kitab itu adalah syarah dari kitabnya Syekh Ibnu Hajar Al-Asqalani.
Di antara karomah beliau adalah, saat menulis syarah kitab Bidayatul Hidayah (karya Imam Ghozali), lampu minyak beliau padam, padahal saat itu sedang dalam perjalanan dengan sekedup onta (di jalan pun tetep menulis, tidak seperti kita, melamun atau tidur). Beliau berdoa, bila kitab ini dianggap penting dan bermanfaat buat kaum muslimin, mohon kepada Allah SWT memberikan sinar agar bisa melanjutkan menulis. Tiba-tiba jempol kaki beliau mengeluarkan api, bersinar terang, dan beliau meneruskan menulis syarah itu hingga selesai. Dan bekas api di jempol tadi membekas, hingga saat Pemerintah Hijaz memanggil beliau untuk dijadikan tentara (karena badan beliau tegap), ternyata beliau ditolak, karena adanya bekas api di jempol tadi.
Karomah yang lain, nampak saat beberapa tahun setelah beliau wafat, makamnya akan dibongkar oleh pemerintah untuk dipindahkan tulang belulangnya dan liang lahadnya akan ditumpuki jenazah lain(sebagaimana lazim di Ma’la). Saat itulah para petugas mengurungkan niatnya, sebab jenazah Syekh Nawawi (beserta kafannya) masih utuh walaupun sudah bertahun-tahun dikubur. Karena itu, bila pergi ke Makkah, Insya Allah kita akan bisa menemukan makam beliau di Pemakaman Umum Ma’la. Banyak juga kaum Muslimin yang mengunjungi rumah bekas peninggalan beliau di Serang, Banten.
Syaikh Nawawi Al-Bantani Al-Jawi (3): Al-Ghazali Modern, bagian-1
oleh: Mamat Salamet Burhanuddin*
Bismilahirrahmanirrahim Walhamdulillahi Rabbil ‘aalamiin Wassholatu Wassalamu `
Ala Rasulillah, Wa’ala Aalihie Washohbihie Waman Walaah amma ba’du…
Nama Syekh Nawawi Banten sudah tidak asing lagi bagi umat Islam Indonesia. Bahkan sering terdengar disamakan kebesarannya dengan tokoh ulama klasik madzhab Syafi’i Imam Nawawi (w.676 H/l277 M). Melalui karya-karyanya yang tersebar di pesantren-pesantren tradisional yang sampai sekarang masih banyak dikaji, nama Kiai asal Banten ini seakan masih hidup dan terus menyertai umat memberikan wejangan ajaran Islam yang menyejukkan. Di setiap majlis ta’lim karyanya selalu dijadikan rujukan utama dalam berbagai ilmu; dari ilmu tauhid, fiqh, tasawuf sampai tafsir. Karya-karyanya sangat berjasa dalam mengarahkan mainstrim keilmuan yang dikembangkan di lembaga-Iembaga pesantren yang berada di bawah naungan NU.
Di kalangan komunitas pesantren Syekh Nawawi tidak hanya dikenal sebagai ulama penulis kitab, tapi juga ia adalah mahaguru sejati (the great scholar). Nawawi telah banyak berjasa meletakkan landasan teologis dan batasan-batasan etis tradisi keilmuan di lembaga pendidikan pesantren. Ia turut banyak membentuk keintelektualan tokoh-tokoh para pendiri pesantren yang sekaligus juga banyak menjadi tokoh pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Apabila KH. Hasyim Asyari sering disebut sebagai tokoh yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya NU, maka Syekh Nawawi adalah guru utamanya. Di sela-sela pengajian kitab-kitab karya gurunya ini, seringkali KH. Hasyim Asyari bernostalgia bercerita tentang kehidupan Syekh Nawawi, kadang mengenangnya sampai meneteskan air mata karena besarnya kecintaan beliau terhadap Syekh Nawawi.
Mengungkap jaringan intelektual para ulama Indonesia sebelum organisasi NU berdiri merupakan kajian yang terlupakan dari perhatian para pemerhati NU. Terlebih lagi bila ditarik sampai keterkaitannya dengan keberhasilan ulama-ulama tradisional dalam karir keilmuannya di Mekkah dan Madinah. Salah satu faktor minimnya kajian di seputar ini adalah diakibatkan dari persepsi pemahaman sebagian masyarakat yang sederhana terhadap NU. NU dipahami sebagai organisasi keagamaan yang seolah-olah hanya bergerak dalam sosial politik dengan sejumlah langkah-langkah perjalanan politik praktisnya, dan bukan sebagai organisasi intelektual keagamaan yang bergerak dalam keilmuan dan mencetak para ulama. Sehingga orang merasa heran dan terkagum-kagum ketika menyaksikan belakangan ini banyak anak muda NU mengusung gerakan pemikiran yang sangat maju, berani dan progressif. Mereka tidak menyadari kalau di tubuh NU juga memiliki akar tradisi intelektual keilmuan yang mapan dan tipikal. Dengan begitu NU berdiri untuk menyelamatkan tradisi keilmuan Islam yang hampir tercerabut dari akar keilmuan ulama salaf. Figur ulama seperti Syekh Nawawi Banten merupakan sosok ulama berpengaruh yang tipikal dari model pemikiran demikian.
Ia memegang teguh mempertahankan traidisi keilmuan klasik, suatu tradisi keilmuan yang tidak bisa dilepaskan dari kesinambungan secara evolutif dalam pembentukkan keilmuan agama Islam. Besarnya pengaruh pola pemahaman dan pemikiran Syekh Nawawi Banten terhadap para tokoh ulama di
Indonesia, Nawawi dapat dikatakan sebagai poros dari akar tradisi keilmuan pesantren dan NU. Untuk itu menarik jika di sini diuraikan sosok sang kiai ini dengan sejumlah pemikiran mendasar yang kelak akan banyak menjadi karakteristik pola pemikiran dan perjuangan para muridnya di pesantren-pesantren.
Hidup Syekh Nawawi
Syekh Nawawi Banten memiliki nama lengkap Abu Abd al-Mu’ti Muhammad ibn Umar al- Tanara al-Jawi al-Bantani. Ia lebih dikenal dengan sebutan Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani. Dilahirkan di Kampung Tanara, Serang, Banten pada tahun 1815 M/1230 H. Pada tanggal 25 Syawal 1314 H/1897 M. Nawawi menghembuskan nafasnya yang terakhir di usia 84 tahun. Ia dimakamkan di Ma’la dekat makam Siti Khadijah, Ummul Mukminin istri Nabi. Sebagai tokoh kebanggaan umat Islam di Jawa khususnya di Banten, Umat Islam di desa Tanara, Tirtayasa Banten setiap tahun di hari Jum’at terakhir bulan Syawwal selalu diadakan acara khol untuk memperingati jejak peninggalan Syekh Nawawi Banten.
Ayahnya bernama Kiai Umar, seorang pejabat penghulu yang memimpin Masjid. Dari silsilahnya, Nawawi merupakan keturunan kesultanan yang ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon), yaitu keturunan dari putra Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I) yang bemama Sunyararas (Tajul ‘Arsy). Nasabnya bersambung dengan Nabi Muhammad melalui Imam Ja’far As- Shodiq, Imam Muhammad al Baqir, Imam Ali Zainal Abidin, Sayyidina Husen, Fatimah al-Zahra.
Pada usia 15 tahun, ia mendapat kesempatan untuk pergi ke Mekkah menunaikan ibadah haji. Di
sana ia memanfaatkannya untuk belajar ilmu kalam, bahasa dan sastra Arab, ilmu hadis, tafsir dan terutama ilmu fiqh. Setelah tiga tahun belajar di Mekkah ia kembali ke daerahnya tahun 1833 dengan khazanah ilmu keagamaan yang relatif cukup lengkap untuk membantu ayahnya mengajar para santri. Nawawi yang sejak kecil telah menunjukkan kecerdasannya langsung mendapat simpati dari masyarakat Kedatangannya membuat pesantren yang dibina ayahnya membludak didatangi oleh santri yang datang dari berbagai pelosok. Namun hanya beberapa tahun kemudian ia memutuskan berangkat lagi ke Mekkah sesuai dengan impiannya untuk mukim dan menetap di sana.
Di Mekkah ia melanjutkan belajar ke guru-gurunya yang terkenal, pertama kali ia mengikuti bimbingan dari Syeikh Khatib Sambas (Penyatu Thariqat Qodiriyah-Naqsyabandiyah di Indonesia) dan Syekh Abdul Gani Duma, ulama asal Indonesia yang bermukim di sana. Setelah itu belajar pada Sayid Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan yang keduanya di Mekkah.
Sedang di Madinah, ia belajar pada Muhammad Khatib al-Hanbali. Kemudian ia melanjutkan pelajarannya pada ulama-ulama besar di Mesir dan Syam (Syiria). Menurut penuturan Abdul Jabbar bahwa Nawawi juga pemah melakukan perjalanan menuntut ilmunya ke Mesir. Guru sejatinya pun berasal dari Mesir seperti Syekh Yusuf Sumbulawini dan Syekh Ahmad Nahrawi.
Setelah ia memutuskan untuk memilih hidup di Mekkah dan meninggalkan kampung halamannya ia menimba ilmu lebih dalam lagi di Mekkah selama 30 tahun. Kemudian pada tahun 1860 Nawawi mulai mengajar di lingkungan Masjid al-Haram. Prestasi mengajarnya cukup memuaskan karena dengan kedalaman pengetahuan agamanya, ia tercatat sebagai Syekh disana. Pada tahun 1870 kesibukannya bertambah karena ia harus banyak menulis kitab. Inisiatif menulis banyak datang dari desakan sebagian koleganya yang meminta untuk menuliskan beberapa kitab. Kebanyakan permintaan itu datang dari sahabatnya yang berasal dari Jawi, karena dibutuhkan untuk dibacakan kembali di daerah asalnya. Desakan itu dapat terlihat dalam setiap karyanya yang sering ditulis atas permohonan sahabatnya. Kitab-kitab yang ditulisnya sebagian besar adalah kitab-kitab komentar (Syarh) dari karya-karya ulama sebelumnya yang populer dan dianggap sulit dipahami. Alasan menulis Syarh selain karena permintaan orang lain, Nawawi juga berkeinginan untuk melestarikan karya pendahulunya yang sering mengalami perubahan (ta’rif) dan pengurangan.
Dalam menyusun karyanya Nawawi selalu berkonsultasi dengan ulama-ulama besar lainnya, sebelum naik cetak naskahnya terlebih dahulu dibaca oleh mereka. Dilihat dari berbagai tempat kota penerbitan dan seringnya mengalami cetak ulang sebagaimana terlihat di atas maka dapat dipastikan bahwa karya tulisnya cepat tersiar ke berbagai penjuru dunia sampai ke daerah Mesir dan Syiria. Karena karyanya yang tersebar luas dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan padat isinya ini nama Nawawi bahkan termasuk dalam kategori salah satu ulama besar di abad ke 14 H/19 M. Karena kemasyhurannya ia mendapat gelar: A’yan ‘Ulama’ al-Qarn aI-Ra M’ ‘Asyar Li al-Hijrah,. AI-Imam al-Mul1aqqiq wa al-Fahhamah al-Mudaqqiq, dan Sayyid ‘Ulama al-Hijaz [pemimpin Ulama daerah Hijaz, red.].
Kesibukannya dalam menulis membuat Nawawi kesulitan dalam mengorganisir waktu sehingga tidak jarang untuk mengajar para pemula ia sering mendelegasikan siswa-siswa seniornya untuk membantunya. Cara ini kelak ditiru sebagai metode pembelajaran di beberapa pesantren di pulau Jawa. Disana santri pemula dianjurkan harus menguasai beberapa ilmu dasar terlebih dahulu sebelum belajar langsung pada kiai agar proses pembelajaran dengan kiai tidak mengalami kesulitan.
Bidang Teologi
Karya-karya besar Nawawi yang gagasan pemikiran pembaharuannya berangkat dari Mesir, sesungguhnya terbagi dalam tujuh kategorisasi bidang; yakni bidang tafsir, tauhid, fiqh, tasawuf, sejarah nabi, bahasa dan retorika. Hampir semua bidang ditulis dalam beberapa kitab kecuali bidang tafsir yang ditulisnya hanya satu kitab. Dari banyaknya karya yang ditulisnya ini dapat jadikan bukti bahwa memang Syeikh Nawawi adalah seorang penulis produktif multidisiplin, beliau banyak mengetahui semua bidang keilmuan Islam. Luasnya wawasan pengetahuan Nawawi yang tersebar membuat kesulitan bagi pengamat untuk menjelajah seluruh pemikirannya secara komprehensif-utuh.
Dalam beberapa tulisannya seringkali Nawawi mengaku dirinya sebagai penganut teologi Asy’ari (al-Asyari al-I’tiqodiy). Karya-karyanya yang banyak dikaji di Indonesia di bidang ini dianranya Fath ai-Majid, Tijan al-Durari, Nur al Dzulam, al-Futuhat al-Madaniyah, al-Tsumar al-Yaniah, Bahjat al-Wasail, Kasyifat as-Suja dan Mirqat al-Su’ud.
Sejalan dengan prinsip pola fikir yang dibangunnya, dalam bidang teologi Nawawi mengikuti aliran teologi Imam Abu Hasan al-Asyari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Sebagai penganut Asyariyah Syekh Nawawi banyak memperkenalkan konsep sifa-sifat Allah. Seorang muslim harus mempercayai bahwa Allah memiliki sifat yang dapat diketahui dari perbuatannya (His Act), karena sifat Allah adalah perbuatanNya. Dia membagi sifat Allah dalam tiga bagian : wajib, mustahil dan mumkin. Sifat Wajib adalah sifat yang pasti melekat pada Allah dan mustahil tidak adanya, dan mustahil adalah sifat yang pasti tidak melekat pada Allah dan wajib tidak adanya, sementara mumkin adalah sifat yang boleh ada dan tidak ada pada Allah. Meskipun Nawawi bukan orang pertama yang membahas konsep sifatiyah Allah, namun dalam konteks Indonesia Nawawi dinilai orang yang berhasil memperkenalkan teologi Asyari sebagai sistem teologi yang kuat di negeri ini.
Kemudian mengenai dalil naqliy dan ‘aqliy, menurutnya harus digunakan bersama-sama, tetapi terkadang bila terjadi pertentangan di antara keduanya maka naql harus didahulukan. Kewajiban seseorang untuk meyakini segala hal yang terkait dengan keimanan terhadap keberadaan Allah hanya dapat diketahui oleh naql, bukan dari aql. Bahkan tiga sifat di atas pun diperkenalkan kepada Nabi. Dan setiap mukallaf diwajibkan untuk menyimpan rapih pemahamannya dalam benak akal pikirannya.
Tema yang perlu diketahui di sini adalah tentang Kemahakuasaan Allah (Absolutenes of God). Sebagaimana teolog Asy’ary lainnya, Nawawi menempatkan dirinya sebagai penganut aliran yang berada di tengah-tengah antara dua aliran teologi ekstrim: Qadariyah dan Jabbariyah, sebagaimana dianut olehahlussunnah wal-Jama’ah. Dia mengakui Kemahakuasaan Tuhan tetapi konsepnya ini tidak sampai pada konsep jabariyah yang meyakini bahwa sebenamya semua perbuatan manusia itu dinisbatkan pada Allah dan tidak disandarkan pada daya manusia, manusia tidak memiliki kekuatan apa-apa. Untuk hal ini dalam konteks Indonesia sebenarnya Nawawi telah berhasil membangkitkan dan menyegarkan kembali ajaran Agama dalam bidang teologi dan berhasil mengeliminir kecenderungan meluasnya konsep absolutisme Jabbariyah di Indonesia dengan konsep tawakkal bi Allah.
Sayangnya sebagian sejarawan modern terlanjur menuding teologi Asyariyah sebagai sistem teologi yang tidak dapat menggugah perlawanan kolonialisme. Padahal fenomena kolonialisme pada waktu itu telah melanda seluruh daerah Islam dan tidak ada satu kekuatan teologi pun yang dapat melawannya, bahkan daerah yang bukan Asyariyah pun turut terkena. Dalam konteks Islam Jawa teologi Asyariyah dalam kadar tertentu sebenamya telah dapat menumbuhkan sikap merdekanya dari kekuatan lain setelah tawakkal kepada Allah. Melalui konsep penyerahan diri kepada Allah umat Islam disadarkan bahwa tidak ada kekuatan lain kecuali Allah. Kekuatan Allah tidak terkalahkan oleh kekuatan kolonialis. Di sinilah letak peranan Nawawi dalam pensosialisasian teologi Asyariyahnya yang terbukti dapat menggugah para muridnya di Mekkah berkumpul dalam “koloni Jawa”. Dalam beberapa kesempatan Nawawi sering memprovokasi bahwa bekerja sama dengan kolonial Belanda (non muslim) haram hukumnya. Dan seringkali kumpulan semacam ini selalu dicurigai oleh kolonial Belanda karena memiliki potensi melakukan perlawanan pada mereka.
Sementara di bidang fikih tidak berlebihan jika Syeikh Nawawi dikatakan sebagai “obor” mazhab imam Syafi’i untuk konteks Indonesia. Melalui karya-karya fiqhnya seperti Syarh Safinat an-Naja, Syarh Sullam at-Taufiq, Nihayat az-Zain fi Irsyad al-Mubtadi’in dan Tasyrih ala Fathul Qarib, sehingga KH. Nawawi berhasil memperkenalkan madzhab Syafi’i secara sempurna Dan, atas dedikasi KH. Nawawi yang mencurahkan hidupnya hanya untuk mengajar dan menulis mendapat apresiasi luas dari berbagai kalangan. Hasil tulisannya yang sudah tersebar luas setelah diterbitkan di berbagai daerah memberi kesan tersendiri bagi para pembacanya. Pada tahun 1870 para ulama Universitas al-Azhar Mesir pernah mengundangnya untuk memberikan kuliah singkat di suatu forum diskusi ilmiyah. Mereka tertarik untuk mengundangnya karena nama KH. Nawawi sudah dikenal melalui karya-karyanya yang telah banyak tersebar di Mesir.
Sufi Brilian
Sejauh itu dalam bidang tasawuf, Nawawi dengan aktivitas intelektualnya mencerminkan ia bersemangat menghidupkan disiplin ilmu-ilmu agama. Dalam bidang ini ia memiliki konsep yang identik dengan tasawuf ortodok. Dari karyanya saja Nawawi menunjukkan seorang sufi brilian, ia banyak memiliki tulisan di bidang tasawuf yang dapat dijadikan sebagai rujukan standar bagi seorang sufi. Brockleman, seorang penulis dari Belanda mencatat ada 3 karya Nawawi yang dapat merepresentasikan pandangan tasawufnya : yaituMisbah al-Zulam, Qami’ al-Thugyan dan Salalim al Fudala. Disana Nawawi banyak sekali merujuk kitab Ihya ‘Ulumuddin al-Ghazali. Bahkan kitab ini merupakan rujukan penting bagi setiap tarekat.
Pandangan tasawufnya meski tidak tergantung pada gurunya Syekh Khatib Sambas, seorang ulama tasawuf asal Jawi yang memimpin sebuah organisasi tarekat, bahkan tidak ikut menjadi anggota tarekat, namun ia memiliki pandangan bahwa keterkaitan antara praktek tarekat, syariat dan hakikat sangat erat. Untuk memahami lebih mudah dari keterkaitan ini Nawawi mengibaratkan syariat dengan sebuah kapal, tarekat dengan lautnya dan hakekat merupakan intan dalam lautan yang dapat diperoleh dengan kapal berlayar di laut. Dalam proses pengamalannya Syariat (hukum) dan tarekat merupakan awal dari perjalanan (ibtida’i) seorang sufi, sementara hakikat adalah hasil dari syariat dan tarikat. Pandangan ini mengindikasikan bahwa Syekh Nawawi tidak menolak praktek-praktek tarekat selama tarekat tersebut tidak mengajarkan hal-hat yang bertentangan dengan ajaran Islam, syariat.
Paparan konsep tasawufnya ini tampak pada konsistensi dengan pijakannya terhadap pengalaman spiritualitas ulama salaf. Tema-teman yang digunakan tidak jauh dari rumusan ulama tasawuf klasik. Model paparan tasawuf inilah yang membuat Nawawi harus dibedakan dengan tokoh sufi Indonesia lainnya. la dapat dimakzulkan (dibedakan) dari karakteristik tipologi tasawuf Indonesia, seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin al-Raniri, Abdurrauf Sinkel dan sebagainya.

Syaikh Nawawi Al-Bantani Al-Jawi

Al-Ghazali Modern, bagian-2

Bismilahirrahmanirrahim Walhamdulillahi Rabbil ‘aalamiin Wassholatu Wassalamu `
Ala Rasulillah, Wa’ala Aalihie Washohbihie Waman Walaah amma ba’du…
Tidak seperti sufi Indonesia lainnya yang lebih banyak porsinya dalam menyadur teori-teori genostik Ibnu Arabi, Nawawi justru menampilkan tasawuf yang moderat antara hakikat dan syariat. Dalam formulasi pandangan tasawufnya tampak terlihat upaya perpaduan antara fiqh dan tasawuf. Ia lebih Gazalian (mengikuti Al-Ghazali) dalam hal ini.
Dalam kitab tasawufnya Salalim al-Fudlala, terlihat Nawawi bagai seorang sosok al-Gazali di era modern. Ia lihai dalam mengurai kebekuan dikotomi fiqh dan tasawuf. Sebagai contoh dapat dilihat dari pandangannya tentang ilmu alam lahir dan ilmu alam batin. Ilmu lahiriyah dapat diperoleh dengan proses ta’allum (berguru) dan tadarrus (belajar) sehingga mencapai derajat ‘alim sedangkan ilmu batin dapat diperoleh melalui prosesdzikr, muraqabah dan musyahadah sehingga mencapai derajat ‘Arif. Seorang Abid diharapkan tidak hanya menjadi ‘alim yang banyak mengetahui ilmu-ilmu lahir saja tetapi juga harus arif, memahami rahasia spiritual ilmu batin.
Bagi Nawawi, Tasawuf berarti pembinaan etika (Adab). Penguasaan ilmu lahiriah semata tanpa penguasaan ilmu batin akan berakibat terjerumus dalam kefasikan, sebaliknya seseorang berusaha menguasai ilmu batin semata tanpa dibarengi ilmu lahir akan terjerumus ke dalam zindiq. Jadi keduanya tidak dapat dipisahkan dalam upaya pembinaan etika atau moral (Adab).
Selain itu ciri yang menonjol dari sikap kesufian Nawawi adalah sikap moderatnya. Sikap moderat ini terlihat ketika ia diminta fatwanya oleh Sayyid Ustman bin Yahya, orang Arab yang menentang praktek tarekat di Indonesia, tentang tasawuf dan praktek tarekat yang disebutnya dengan “sistem yang durhaka”. Permintaan Sayyid Ustman ini bertujuan untuk mencari sokongan dari Nawawi dalam mengecam praktek tarekat yang dinilai oleh pemerintah Belanda sebagai penggerak pemberontakan Banten 1888. Namun secara hati-hati Nawawi menjawab dengan bahasa yang manis tanpa menyinggung perasaan Sayyid Ustman. Sebab Nawawi tahu bahwa di satu sisi ia memahami kecenderungan masyarakat Jawi yang senang akan dunia spiritual di sisi lain ia tidak mau terlibat langsung dalam persoalan politik.
Setelah karyanya banyak masuk di Indonesia wacana keIslaman yang dikembangkan di pesantren mulai berkembang. Misalkan dalam laporan penelitian Van Brunessen dikatakan bahwa sejak tahun 1888 M, bertahap kurikulum pesantren mulai acta perubahan mencolok. Bila sebelumnya seperti dalam catatan Van Den Berg dikatakatan tidak ditemukan sumber referensi di bidang Tafsir, Ushl al-Fiqh dan Hadits, sejak saat itu bidang keilmuan yang bersifat epistemologis tersebut mulai dikaji. Menurutnya perubahan tiga bidang di atas tidak terlepas dari jasa tiga orang alim Indonesia yang sangat berpengaruh: Syekh Nawawi Banten sendiri yang telah berjasa dalam menyemarakkan bidang tafsir, Syekh Ahmad Khatib (w. 1915) yang telah berjasa mengembangkan bidang Ushul Fiqh dengan kitabnya al-Nafahat ‘
Ala Syarh al-Waraqat, dan Kiai Mahfuz Termas (1919 M) yang telah berjasa dalam bidang Ilmu Hadis.
Sebenarnya karya-karya Nawawi tidak hanya banyak dikaji dan dipelajari di seluruh pesantren di Indonesia tetapi bahkan di seluruh wilayah Asia Tenggara. Tulisan-tulisan Nawawi dikaji di lembaga-lembaga pondok tradisional di Malaysia, Filipina dan Thailand. Karya Nawawi diajarkan di sekolah-sekolah agama di Mindanao (Filipina Selatan), dan Thailand. Menurut Ray Salam T. Mangondanan, peneliti di Institut Studi Islam, University of Philippines, pada sekitar 40 sekolah agama di Filipina Selatan yang masih menggunakan kurikulum tradisional. Selain itu Sulaiman Yasin, seorang dosen di Fakultas Studi Islam, Universitas Kebangsaan di Malaysia, mengajar karya-karya Nawawi sejak periode 1950-1958 di Johor dan di beberapa sekolah agama di Malaysia. Di kawasan Indonesia menurut Martin Van Bruinessen yang sudah meneliti kurikulum kitab-kitab rujukan di 46 Pondok Pesantren Klasik 42 yang tersebar di Indonesia mencatat bahwa karya-karya Nawawi memang mendominasi kurikulum Pesantren. Sampai saat ia melakukan penelitian pada tahun 1990 diperkirakan pada 22 judul tulisan Nawawi yang masih dipelajari di sana. Dari 100 karya populer yang dijadikan contoh penelitiannya yang banyak dikaji di pesantren-pesantren terdapat 11 judul populer di antaranya adalah karya Nawawi.
Penyebaran karya Nawawi tidak lepas dari peran murid-muridnya. Di Indonesia murid-murid Nawawi termasuk tokoh-tokoh nasional Islam yang cukup banyak berperan selain dalam pendidikan Islam juga dalam perjuangan nasional. Di antaranya adalah : KH. Hasyim Asyari dari Tebuireng Jombang, Jawa Timur. (Pendiri organisasi Nahdlatul Ulama ), KH. Kholil dari Bangkalan, Madura, Jawa Timur, KH. Asyari dari Bawean, yang menikah dengan putri KH. Nawawi, Nyi Maryam, KH. Najihun dari Kampung Gunung, Mauk, Tangerang yang menikahi cucu perempuan KH. Nawawi, Nyi Salmah bint Rukayah bint Nawawi, KH. Tubagus Muhammad Asnawi, dari Caringin Labuan, Pandeglang Banten, KH. Ilyas dari Kampung Teras, Tanjung Kragilan, Serang , Banten, KH. Abd Gaffar dari Kampung Lampung, Kec. Tirtayasa, Serang Banten, KH. Tubagus Bakri dari Sempur, Purwakarta. Penyebaran karyanya di sejumlah pesantren yang tersebar di seluruh wilayah nusantara ini memperkokoh pengaruh ajaran Nawawi.
Penelitian Zamakhsyari Dhofir mencatat pesantren di Indonesia dapat dikatakan memiliki rangkaian geneologi yang sama. Polarisasi pemikiran modernis dan tradisionalis yang berkembang di Haramain seiring dengan munculnya gerakan pembaharuan Afghani dan Abduh, turut mempererat soliditas ulama tradisional di Indonesia yang sebagaian besar adalah sarjana-sarjana tamatan Mekkah dan Madinah. Bila ditarik simpul pengikat di sejumlah pesantren yang ada maka semuanya dapat diurai peranan kuatnya dari jasa enam tokoh ternama yang sangat menentukan warna jaringan intelektual pesantren. Mereka adalah Syekh Ahmad Khatib Syambas, Syekh K.H. Nawawi Banten., Syekh K.H. Mahfuz Termas, Syekh K.H. Abdul Karim, K.H. Kholil Bangkalan Madura, dan Syekh K.H. Hasyim Asy’ari. Tiga tokoh yang pertama merupakan guru dari tiga tokoh terakhir.
Mereka berjasa dalam menyebarkan ide-ide pemikiran gurunya. Karya-karya Nawawi yang tersebar di beberapa pesantren, tidak lepas dari jasa mereka. K.H. Hasyim Asya’ari, salah seorang murid Nawawi terkenal asal Jombang, sangat besar kontribusinya dalam memperkenalkan kitab-kitab Nawawi di pesantren-pesantren di Jawa. Dalam merespon gerakan reformasi untuk kembali kepada al-Qur’an di setiap pemikiran Islam, misalkan, K.H. Hasyim Asya’ari lebih cenderung untuk memilih pola penafsiran Marah Labid karya Nawawi yang tidak sama sekali meninggalkan karya ulama Salaf. Meskipun ia senang membaca Kitab tafsir al-Manar karya seorang reformis asal Mesir, Muhammad Abduh, tetapi karena menurut penilaiannya Abduh terlalu sinis mencela ulama klasik, ia tidak mau mengajarkannya pada santri dan ia lebih senang memilih kitab gurunya. Dua tokoh murid Nawawi lainnya berjasa di daerah asalnya. Syekh K.H. Kholil Bangkalan dengan pesantrennya di Madura tidak bisa dianggap kecil perannya dalam penyebaran karya Nawawi. Begitu juga dengan Syekh Abdul Karim yang berperan di Banten dengan Pesantrennya, dia terkenal dengan nama Kiai Ageng. Melalui tarekat Qadiriyah wan Naqsyabandiyah Ki Ageng menjadi tokoh sentral di bidang tasawuf di daerah Jawa Barat.
Kemudian ciri geneologi pesantren yang satu sama lain terkait juga turut mempercepat penyebaran karya-karya Nawawi, sehingga banyak dijadikan referensi utama. Bahkan untuk kitab tafsir karya Nawawi telah dijadikan sebagai kitab tafsir kedua atau ditempatkan sebagai tingkat mutawassith (tengah) di dunia Pesantren setelah tafsir Jalalain. Peranan Kiai para pemimpin pondok pesantren dalam memperkenalkan karya Nawawi sangat besar sekali. Mereka di berbagai pesantren merupakan ujung tombak dalam transmisi keilmuan tradisional Islam. Para kiai didikan K.H Hasyim Asyari memiliki semangat tersendiri dalam mengajarkan karya-karya Nawawi sehingga memperkuat pengaruh pemikiran Nawawi.
Dalam bidang tasawuf saja kita bisa menyaksikan betapa ia banyak mempengaruhi wacana penafsiran sufistik di Indonesia. Pesantren yang menjadi wahana penyebaran ide penafsiran Nawawi memang selain menjadi benteng penyebaran ajaran tasawuf dan tempat pengajaran kitab kuning juga merupakan wahana sintesis dari dua pergulatan antara tarekat heterodoks versus tarekat ortodoks di satu sisi dan pergulatan antara gerakan fiqh versus gerakan tasawuf di sisi lain. Karya-karyanya di bidang tasawuf cukup mempunyai konstribusi dalam melerai dua arus tasawuf dan fiqh tersebut. Dalam hal ini Nawawi, ibarat al-Ghazali, telah mendamaikan dua kecenderungan ekstrim antara tasawuf yang menitik beratkan emosi di satu sisi dan fiqh yang cenderung rasionalistik di sisi lain.
Sejak abad ke-20 pesantren memiliki fungsi strategis. Gerakan intelektual dari generasi pelanjut K.H. Nawawi ini lambat laun bergeser masuk dalam wilayah politik. Ketika kemelut politik di daerah Jazirah Arab meletus yang berujung pada penaklukan Haramain oleh penguasa Ibn Saud yang beraliran Wahabi, para ulama pesantren membentuk sebuah komite yang disebut dengan “komite Hijaz” yang terdiri dari 11 ulama pesantren. Dengan dimotori oleh K.H. Wahab Hasbullah dari Jombang Jatim, seorang kiai produk perguruan Haramain, komite ini bertugas melakukan negosiasi dengan raja Saudi yang akan memberlakukan kebijakan penghancuran makam-makam dan peninggalan-peninggalan bersejarah dan usaha itu berhasil. Dan, dalam perkembangannya komite ini kemudian berlanjut mengikuti isu-isu politik di dalam negeri. Untuk masuk dalam wilayah politik praktis secara intens organisasi ini kemudian mengalami perubahan nama dari Nahdlatul Wathan (NW) sampai jadi Nahdlatul Ulama (NU).
Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa KH.Nawawi merupakan sosok ulama yang menjadi “akar tunjang” dalam tradisi keintelektualan NU. Sebab karakteristik pola pemikirannya merupakan representasi kecenderungan pemikiran tradisional yang kuat di tengah-tengah gelombang gerakan purifikasi dan pembaharuan. Kehadiran NU adalah untuk membentengi tradisi ini dari ancaman penggusuran intelektual yang mengatasnamakan tajdid terhadap khasanah klasik. Karenanya formulasi manhaj al-Fikr tawaran KH. Nawawi banyak dielaborasi (diuraikan kembali) oleh para ulama NU sebagai garis perjuangannya yang sejak tahun 1926 dituangkan dalam setiap konferensinya. Bahkan tidak berlebihan bila disebut berdirinya NU merupakan tindak lanjut institusionalisasi dari arus pemikiran KH. Nawawi Banten.