Translate

Isnin, 7 Jun 2010

Pendidikan Masih Diskriminatif Terhadap Kaum Miskin

3 dari 3 Kompasianer menilai Bermanfaat.

Seorang siswa SMPN Nguling, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur nekat coba bunuh diri dikarenakan orang tuanya tidak mampu untuk membiayainya ke Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA), Berita waspada (harian lokal sumut) 5 April 2010.

Sangat prihatin sekali saat membaca berita tersebut di atas. Di saat puluhan milyard atau ratusan milyard atau bahkan trilyunan uang rakyat dijarah oleh para abdi negara diberbagai institusi mereka untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Padahal, jika uang tersebut digunakan untuk pendidikan tentunya sudah berapa ratus gedung sekolah yang akan terbangun, serta berapa puluh juta anak-anak akan tetap melanjutkan sekolah dan lain sebagainya.

Namun itu semua cuma khayalan saja karena ternyata pendidikan masih diskriminatif terhadap kelompok masyarakatnya terutama kaum fakir miskin. Padahal di dalam Undang-Undang Sisdiknas pasal 4 dijelaskan bahwa “pendidikan diselenggarakan secara demokratis, berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia”. Ini juga diatur di dalam UU Perlindungan Anak No 23 Tahun 2002 dan Konvensi Hak Anak pasal 28 yang menyatakan bahwa pendidikan itu adalah gratis.

Dengan adanya kasus ini seharusnya negara dalam hal ini dinas pendidikan dan kepala daerahnya atau bahkan presiden sekalipun dapat dituntut karena telah menyebabkan warganya menderita dikarenakan tidak mendapatkan hak pendidikan tersebut. Karena ini pelanggaran negara terhadap hak-hak warga negaranya khususnya hak anak untuk tetap mengeyam pendidikan gratis dan berkualitas.

Berdasarkan PP Nomor 48 Tahun 2008 pasal 2, pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat. Pembagian tanggungjawab ini harus jelas antara pemerintah pusat dan daerah agar masyarakat tidak lagi menjadi pihak yang dikorbankan dengan banyaknya kutipan liar yang diberlakukan sekolahnya masing-masing. Terminologi pendidikan gratis itu seharusnya mencakup semuanya mulai dari pembebasan uang operasional/administratif, penyediaan buku-buku pelajaran dan lain sebagainya. Bila perlu seragam sekolahnya juga harus disediakan oleh negara khusus bagi mereka yang fakir miskin.

Memang kalau berbicara permasalahan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya selalu saja Undang-Undang menyertakan masyarakat sebagai pihak yang juga bertanggungjawab. Namun kalau sudah berbicara masalah cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Begitu juga dengan bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya juga dikuasai oleh negara dan katanya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Untuk itu sudah saatnya negara menepati janjinya sebagaimana tertulis di dalam UUD 1945 yakni memberikan kemakmuran kepada rakyatnya dalam hal ini kemakmuran terhadap dunia pendidikan agar setiap warga negara tanpa terkecuali mampu mengakses dan menikmati pendidikan yang berkualitas untuk meningkatkan sumber daya bangsa ini ke depan.

OPINI
Taufik Hidayat

Tiada ulasan: