Translate

Khamis, 20 Mei 2010

Hukum Transplantasi Organ Tubuh

Hukum Transplantasi Organ Tubuh

A. Pendahuluan
Transplantasi jaringan mulai dipikirkan oleh dunia sejak 4000 tahun silam menurut manuscrip yang ditemukan di Mesir yang memuat uraian mengenai eksperimen transplantasi jaringan yang pertama kali dilakukan di Mesir sekitar 2000 tahun sebelum diutusnya Nabi Isa as. Sedang di India beberapa puluh tahun sebelum lahirnya Nabi Isa as. seorang ahli bedah bangsa Hindu telah berhasil memperbaiki hidung seorang tahanan yang cacat akibat siksaan, dengan cara mentransplantasikan sebagian kulit dan jaringan lemak yang diambil dari lengannya. Pengalaman inilah yang merangsang Gaspare Tagliacosi, seorang ahli bedah Itali, pada tahun 1597M untuk mencoba memperbaiki cacat hidung seseorang dengan menggunakan kulit milik kawannya.
Pada ujung abad ke-19 M para ahli bedah, baru berhasil mentransplantasikan jaringan, namun sejak penemuan John Murphy pada tahun 1897 yang berhasil menyambung pembuluh darah pada binatang percobaan, barulah terbuka pintu percobaan mentransplantasikan organ dari manusia ke manusia lain. Percobaan yang telah dilakukan terhadap binatang akhirnya berhasil, meskipun ia menghabiskan waktu cukup lama yaitu satu setengah abad. Pada tahun 1954 M Dr. J.E. Murray berhasil mentransplantasikan ginjal kepada seorang anak yang berasal dari saudara kembarnya yang membawa perkembangan pesat dan lebih maju dalam bidang transplantasi.
Meskipun pencangkokan organ tubuh belum dikenal oleh dunia saat itu, namun operasi plastik yang menggunakan organ buatan atau palsu sudah dikenal di masa Nabi saw., sebagaimana yang diriwayatkan Imam Abu Daud dan Tirmidzi dari Abdurrahman bin Tharfah (Sunan Abu Dawud, hadits. no.4232) “bahwa kakeknya ‘Arfajah bin As’ad pernah terpotong hidungnya pada perang Kulab, lalu ia memasang hidung (palsu) dari logam perak, namun hidung tersebut mulai membau (membusuk), maka Nabi saw. menyuruhnya untuk memasang hidung (palsu) dari logam emas”. Imam Ibnu Sa’ad dalam Thabaqatnya (III/58) juga telah meriwayatkan dari Waqid bin Abi Yaser bahwa ‘Utsman (bin ‘Affan) pernah memasang mahkota gigi dari emas, supaya giginya lebih kuat (tahan lama).
Seiring dengan perkembangan metode pencangkokan tubuh tersebut muncul beberapa pertanyaan yang mempertanyakan apakah transplantasi itu boleh dilakukan. Apakah transplantasi itu diperbolehkan dalam Islam, apakah transplantasi diperbolehkan jika si pendonor masih dalam keadaan hidup, dan beberapa pertanyaan lainnya lagi.

B. Pokok Bahasan
Transplantasi menurut Dr. Robert Woworuntu dalam bukunya Kamus Kedokteran dan Kesehatan (1993:327) berarti : Pencangkokan. Dalam Kamus Kedokteran DORLAND dijelaskan bahwa transplantasi berasal dari transplantation [trans-+ L.plantare menanam] berarti : penanaman jaringan yang diambil dari tubuh yang sama atau dari individu lain. Adapun transplant berarti : 1). mentransfer jaringan dari satu bagian ke bagian lain. 2). organ atau jaringan yang diambil dari badan untuk ditanam ke daerah lain pada badan yang sama atau ke individu lain. Jadi, menurut terminologi kedokteran transplantasi berarti; “suatu proses pemindahan atau pencangkokan jaringan atau organ tubuh dari suatu atau seorang individu ke tempat yang lain pada individu itu atau ke tubuh individu lain”. Dalam dunia kedokteran jaringan atau organ tubuh yang dipindah disebut graft atau transplant; pemberi transplant disebut donor; penerima transplant disebut kost atau resipien.
Dalam prakteknya, berhasil tidaknya jaringan atau organ yang ditransplantasikan dari donor ke resipien tergantung pada terjadi atau tidak terjadinya reaksi immunitas pada resipien. Penolakan jaringan atau organ oleh resipien disebabkan adanya antigen yang dimiliki oleh sel donor tetapi tidak dimiliki oleh sel resipien. Meskipun demikian, faktor tersebut tidak merupakan suatu hambatan besar dalam dunia kedokteran. Para ahli medis di lapangan masih mampu mengatasinya dengan berbagai macam cara yang dapat memperkecil kemungkinan terjadinya reaksi penolakan, seperti dengan merusak sel-sel limfosit yang dimiliki oleh resipien atau membuang organ yang memproduksi sel limfosit yaitu limpa dan thymus.
Transplantasi termasuk inovasi alternatif dalam dunia bedah kedokteran modern. Dalam beberapa dekade terakhir tampaknya transplantasi semakin marak dan menjadi sebuah tantangan medis, baik dari upaya pengembangan aplikasi terapan dan teknologi prakteknya, maupun ramainya polemik yang menyangkut kode etik dan hukum nya khususnya hukum syariah Islam.
Seperti beberapa topik yang diangkat dalam seminar berjudul “Organ Transplantation and Health Care Management From Islamic Perspective” yang diselenggarakan oleh FOKKI (Forum Kajian Kedokteran Islam Indonesia), FIMA (Federation of Islamic Medical Association) dan MUI di Universitas Yarsi pada tanggal 29-30 Juli 1996 diantaranya mengangkat persoalan tentang tata cara penetapan kepastian mati, boleh tidaknya donor mengambil imbalan, binatang sebagai alat donor, donor dari orang kafir untuk muslim/sebaliknya.
Banyak orang yang bertanya-tanya tentang hukum dan ketentuan syariah Islam mengenai transplantasi yang menyangkut berbagai kasus prakteknya serta persoalan konsepsional mendasarnya khususnya di kalangan medis, seperti kata Dr. Tarmizi yang menyoroti fenomena bahwa saat ini yang paling sesuai untuk transplantasi organ jantung manusia adalah babi (Media Dakwah, No.265 Rab. Awal 1417 H/Agustus 1996). Karena masalah ini menyangkut banyak dimensi hukum, moral, etika kemanusiaan dan berbagai aspek kehidupan maka bermunculanlah kontroversi pendapat pro-kontra mengenai kasus ini.
Pada hakekatnya, syari’ah Islam ketika berbicara tentang boleh dan tidaknya suatu masalah, tidak terpasung pada batas ‘hukum sekedar untuk hukum’. Lebih jauh dari itu, bahwa semua kaedah dan kebijakan hukum syariah Islam memiliki hikmah. Dimensi vertikalnya, sebagai media ujian iman yang menumbuhkan motivasi internal terlaksananya suatu etika dan peraturan hidup. Adapun dimensi horisontalnya adalah ia berdampak positif dan membawa kebaikan bagi kehidupan umat masunisa secara universal. Meskipun demikian, ketika para pakar hukum, pakar syariah Islam dan tokoh atau pemuka agama mengatakan bahwa praktek transplantasi pada kenyataanya adalah perlu dan sangat bermanfaat bagi kemanusiaan untuk menyelamatkan kehidupan dan dapat mengfungsikan kembali tempat organ atau jaringan tubuh manusia yang telah rusak yang oleh karenanya dibolehkan dan perlu dikembangkan, namun bagaimanapun juga perlu kajian mendalam lebih lanjut agar dalam prakteknya tetap dalam koridor kaedah syari’ah, tidak melenceng dari tujuan kemanusiaan serta menghindari kasus penyalahgunaan, distorsi pelacuran medis dan eksploitasi rendah yang menjadikannya komoditi dan ajang bisnis sehingga justri menampilkan perilaku tidak manusiawi.
Secara prinsip syariah secara global, mengingat transplantasi organ merupakan suatu tuntutan, kebutuhan dan alternatif medis modern tidak ada perselisihan dalam hal bolehnya transplantasi organ ataupun jaringan. Dalam simposium Nasional II mengenai masalah “Transplantasi Organ” yang telah diselenggarakan oleh Yayasan Ginjal Nasional pada tangal 8 September 1995 di arena PRJ Kemayoran, telah ditandatangani sebuah persetujuan antara lain wakil dari PB NU, PP Muhammadiyah, MUI disetujui pula oleh wakil-wakil lain dari berbagai kelompok agama di Indonesia. Bolehnya transplantasi organ tersebut juga ditegaskan oleh DR. Quraisy Syihab bahwa; “Prinsipnya, maslahat orang yang hidup lebih didahulukan.” selain itu KH. Ali Yafie juga menguatkan bahwa ada kaedah ushul fiqh yang dapat dijadikan penguat pembolehan transplantasi yaitu “hurmatul hayyi a’dhamu min hurmatil mayyiti” (kehormatan orang hidup lebih besar keharusan pemeliharaannya daripada yang mati.)
Lebih rinci, masalah transplantasi dalam kajian hukum syariah Islam diuraikan menjadi dua bagian besar pembahasan yaitu : Pertama : Penanaman jaringan/organ tubuh yang diambil dari tubuh yang sama. Kedua : Penanaman jaringan/organ yang diambil dari individu lain yang dirinci lagi menjadi dua persoalan yaitu: A). Penanaman jaringan/organ yang diambil dari individu orang lain baik yang masih hidup maupun sudah mati, dan B). Penanaman jaringan/organ yang diambil dari individu binatang baik yang tidak najis/halal maupun yang najis/haram.
Masalah pertama yaitu seperti praktek transplantasi kulit dari suatu bagian tubuh ke bagian lain dari tubuhnya yang terbakar atau dalam kasus transplantasi penyumbatan dan penyempitan pembuluh darah jantung dengan mengambil pembuluh darah pada bagian kaki. Masalah ini hukumnya adalah boleh berdasarkan analogi (qiyas) diperbolehkannya seseorang untuk memotong bagian tubuhnya yang membahayakan keselamatan jiwanya karena suatu sebab. (Dr. Al-Ghossal dalam Naql wa Zar’ul A’dha (Transplantasi Organ) : 16-20, Dr. As-Shofi, Gharsul A’dha : 126 ).
Adapun masalah kedua yaitu penanaman jaringan/organ yang diambil dari orang lain maka dapat kita lihat persoalannya apabila jaringan/organ tersebut diambil dari orang lain yang masih hidup, maka dapat kita temukan dua kasus.
Kasus Pertama : Penanaman jaringan/organ tunggal yang dapat mengakibatkan kematian donaturnya bila diambil. Seperti, jantung, hati dan otak. Maka hukumnya adalah tidak boleh yaitu berdasarkan firman Allah Swt dalam al-Qur’an surat Al-Baqarah:195, An-Nisa’:29, dan Al-Maidah:2 tentang larangan menyiksa ataupun membinasakan diri sendiri serta bersekongkol dalam pelanggaran.
Kasus kedua : Penanaman jaringan/organ yang diambil dari orang lain yang masih hidup yang tidak mengakibatkan kematiannya seperti, organ tubuh ganda diantaranya ginjal atau kulit atau dapat juga dikategorikan disini praktek donor darah. Pada dasarnya masalah ini diperbolehkan selama memenuhi persyaratannya yaitu:
1. Tidak membahayakan kelangsungan hidup yang wajar bagi donatur jaringan/organ. Karena kaidah hukum islam menyatakan bahwa suatu bahaya tidak boleh dihilangkan dengan resiko mendatangkan bahaya serupa/sebanding.
2. Hal itu harus dilakukan oleh donatur dengan sukarela tanpa paksaan dan tidak boleh diperjual belikan
3. Boleh dilakukan bila memang benar-benar transplantasi sebagai alternatif peluang satu-satunya bagi penyembuhan penyakit pasien dan benar-benar darurat. 4.Boleh dilakukan bila peluang keberhasilan transplantasi tersebut sangat besar. (Lihat: Mudzakarah Lembaga Fiqh Islam Rabithah Alam Islami, edisi Januari 1985 M.)
Namun demikian, ada pengecualian dari semua kasus transplantasi yang diperbolehkan yaitu tidak dibolehkan transplantasi buah zakar meskipun organ ini ganda karena beberapa alasan diantaranya: dapat merusak fisik luar manusia, mengakibatkan terputusnya keturunan bagi donatur yang masih hidup dan transplantasi ini tidak dinilai darurat, serta dapat mengacaukan garis keturunan. Sebab menurut ahli kedokteran, organ ini punya pengaruh dalam menurunkan sifat genetis. (Ensiklopedi Kedokteran Modern, edisi bahasa Arab III/ 583, Dr. Albairum, Ensiklopedi Kedokteran Arab, hal 134.)
Adapun masalah penanaman jaringan/organ tubuh yang diambil dari orang mati yang kondisinya benar-benar telah mati secara devinif dan medis. Organ/jaringan yang akan ditransfer tersebut dirawat dan disimpan dengan cara khusus agar dapat difungsikan. Maka hal ini secara prinsip syariah membolehkannya berdasarkan firman Allah dalam al-Qur’an surat Al-Kahfi:9-12 dan berdasarkan kaedah fiqih diantaranya: ” Suatu hal yang telah yakin tidak dapat dihilangkan dengan suatu keraguan/tidak yakin “, ” Dasar pengambilan hukum adalah tetap berlangsungnya suatu kondisi yang lama sampai ada indikasi pasti perubahannya.”
Berbagai hasil muktamar dan fatwa lembaga-lembaga Islam internasional yang berkomperten membolehkan praktek transplantasi jenis ini diantaranya konperensi OKI (Malaysia, April 1969 M ) dengan ketentuan kondisinya darurat dan tidak boleh diperjualbelikan, Lembaga Fikih Islam dari Liga Dunia Islam (Mekkah, Januari 1985 M.), Majlis Ulama Arab Saudi (SK. No.99 tgl. 6/11/1402 H.) dan Panitia Tetap Fawa Ulama dari negara-negara Islam seperti Kerajaan Yordania dengan ketentuan harus memenuhi persyaratan:
1. harus dengan persetujuan orang tua mayit.
2. hanya bila dirasa benar-benar memerlukan dan darurat.
3. Bila tidak darurat dan keperluannya tidak mendesak, maka harus memberikan imbalan pantas kepada ahli waris donatur (tanpa transaksi dan kontrak jual-beli). Demikian pula negara Kuwait (menurut SK Dirjen Fatwa Dept. Wakaf dan Urusan Islam no.97 tahun 1405 H. ), Mesir. (SK. Panitia Tetap Fatwa Al-Azhar no. 491), dan Al-Jazair (SK Panitia Tetap Fatwa Lembaga Tinggi Islam Aljazair, 20/4/1972).
Disamping itu banyak fatwa ulama bertaraf internasional yang membolehkan praktek tersebut diantaranya: Abdurrahman bin Sa’di ( 1307-1367H.), Ibrahim Alyakubi ( dalam bukunya Syifa Alqobarih ), Jadal Haq (Mufti Mesir dalam majalah Al-Azhar vol. 7 edisi Romadhon 1403), DR. Yusuf Qordhowi (Fatawa Mu’ashiroh II/530 ), DR. Ahmad Syarofuddin ( hal. 128 ), DR. Rouf Syalabi ( harian Syarq Ausath, edisi 3725, Rabu 8/2/1989 ), DR. Abd. Jalil Syalabi (harian Syarq Ausath edisi 3725, 8/2/1989M.), DR. Mahmud As-Sarthowi (Zar’ul A’dho, Yordania), DR. Hasyim Jamil (majalah Risalah Islamiyah, edisi 212 hal. 69).
Alasan mereka membolehkannya berdasarkan pada; a. ayat al-Qur’an yang membolehkan mengkonsumsi barang-barang haram dalam kondisi benar-benar darurat. (QS. Al-Baqarah:173, Al-Maidah:3, Al-An’am:119,145, b. anjuran al-Qur’an untuk merawat dan meningkatkan kehidupan (QS. Al-Maidah: 32.c. ayat-ayat tentang keringanan dan kemudahan dalam Islam (QS.2:185, 4:28, 5:6, 22:78), d. hal itu sebagai amal jariyah bagi donatur yang telah mati dan sangat berguna bagi kemanusiaan. e. Allah sangat menghargai dan memuji orang-orang yang berlaku ‘itsaar’ tanpa pamrih dan dengan tidak sengaja membahayakan dirinya atau membinasakannya.(QS. 95:9) f. Kaedah-kaedah umum hukum Islam yang mengharuskan dihilangkannya segala bahaya.
Masalah penanaman jaringan/organ yang diambil dari tubuh binatang , maka dapat kita lihat dua kasus yaitu;
Kasus Pertama: Binatang tersebut tidak najis/halal, seperti binatang ternak (sapi, kerbau, kambing ). Dalam hal ini tidak ada larangan bahkan diperbolehkan dan termasuk dalam kategori obat yang mana kita diperintahkan Nabi untuk mencarinya bagi yang sakit.
Kasus Kedua : Binatang tersebut najis/ haram seperti, babi atau bangkai binatang dikarenakan mati tanpa disembelih secara islami terlebih dahulu. Dalam hal ini tidak dibolehkan kecuali dalam kondisi yang benar-benar gawat darurat. dan tidak ada pilihan lain. Dalam sebuah riwayat atsar disebutkan: “Berobatlah wahai hamba-hamba Allah, namun janganlah berobat dengan barang haram.” Dalam kaedah fiqh disebutkan “Adh Dharurat Tubihul Mahdhuraat” (darurat membolehkan pemanfaatan hal yang haram) atau kaedah “Adh Dhararu Yuzaal” (Bahaya harus dihilangkan) yang mengacu surat Al Maidah: 3. “Adh Dharurat Tuqaddar Biqadarihaa” (Peertimbangan kondisi darurat harus dibatasi sekedarnya) Al Baqarah: 173 (Majma’ Annahr : II/535, An-Nawawi dalam Al-Majmu’ : III/138 ).
C. Komentar
Penulis setuju jika transplantasi organ tubuh dilakukan ketika pendonor sudah dalam keadaan benar-benar telah meninggal/mati secara medis. Kemudian organ atau jaringan tubuh yang akan ditransfer tersebut dirawat dan disimpan dengan cara khusus agar dapat difungsikan. Namun dengan syarat sebagai berikut: Harus dengan persetujuan orang tua mayit / walinya atau wasiat mayit itu sendiri; Hanya bila dirasa si penerima benar-benar memerlukan dan darurat; dan Bila tidak darurat dan keperluannya tidak urgen atau mendesak, maka harus memberikan imbalan pantas kepada ahli waris donatur ( tanpa transaksi dan kontrak jual-beli ).
Kemudian penulis tidak setuju jika transplantasi itu dilakukan ketika pendonor masih dalam keadaan hidup sehat. Hal ini dapat berakibat fatal bagi pendonor yaitu beresiko sewaktu-waktu mengalami tidak normalnya atau tidak berfungsinya organ yang didonorkan tersebut misalnya mata atau ginjalnya yang tinggal sebuah itu. Firman Allah dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 195 :
     
“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan”

Kemudian dalam kaidah hukum Islam. “menghindari kerusakan/resiko didahulukan atas menarik kemaslahatan”. Misalnya, menolong orang dengan cara mengorbankan dirinya sendiri yang bisa berakibat fatal bagi dirinya, tidak dibolehkan dalam Islam. “bahaya tidak boleh dihilangkan dengan bahaya lainnya”.

D. Penutup
1. Kesimpulan
Transplantasi berarti; “suatu proses pemindahan atau pencangkokan jaringan atau organ tubuh dari suatu atau seorang individu ke tempat yang lain pada individu itu atau ke tubuh individu lain”.
praktek transplantasi kulit dari suatu bagian tubuh ke bagian lain dari tubuhnya yang terbakar atau dalam kasus transplantasi penyumbatan dan penyempitan pembuluh darah jantung dengan mengambil pembuluh darah pada bagian kaki. Masalah ini hukumnya adalah boleh berdasarkan analogi (qiyas) diperbolehkannya seseorang untuk memotong bagian tubuhnya yang membahayakan keselamatan jiwanya karena suatu sebab. (Dr. Al-Ghossal dalam Naql wa Zar’ul A’dha (Transplantasi Organ) : 16-20, Dr. As-Shofi, Gharsul A’dha : 126 ).
Penanaman jaringan/organ tunggal yang dapat mengakibatkan kematian donaturnya bila diambil. Seperti, jantung, hati dan otak. Maka hukumnya adalah tidak boleh yaitu berdasarkan firman Allah Swt dalam al-Qur’an surat Al-Baqarah:195, An-Nisa’:29, dan Al-Maidah:2 tentang larangan menyiksa ataupun membinasakan diri sendiri serta bersekongkol dalam pelanggaran.
Penanaman jaringan/organ yang diambil dari orang lain yang masih hidup yang tidak mengakibatkan kematiannya seperti, organ tubuh ganda diantaranya ginjal atau kulit atau dapat juga dikategorikan disini praktek donor darah. Pada dasarnya masalah ini diperbolehkan selama memenuhi persyaratannya yaitu: 1). Tidak membahayakan kelangsungan hidup yang wajar bagi donatur jaringan/organ. Karena kaidah hukum islam menyatakan bahwa suatu bahaya tidak boleh dihilangkan dengan resiko mendatangkan bahaya serupa/sebanding. 2). Hal itu harus dilakukan oleh donatur dengan sukarela tanpa paksaan dan tidak boleh diperjual belikan. 3). Boleh dilakukan bila memang benar-benar transplantasi sebagai alternatif peluang satu-satunya bagi penyembuhan penyakit pasien dan benar-benar darurat. 4.Boleh dilakukan bila peluang keberhasilan transplantasi tersebut sangat besar. (Lihat: Mudzakarah Lembaga Fiqh Islam Rabithah Alam Islami, edisi Januari 1985 M.)

2. Saran
praktik transplantasi yang dibolehkan yaitu dari segi Resipien (Reseptor) harus diperhatikan skala prioritas dan pertimbangan dalam memberikan donasi organ atau jaringan seperti tingkat moralitas, mental, perilaku dan track record yang menentramkan lingkungan serta baik bagi dirinya dan orang lain. (QS. Al Hujurat: 1, Ali Imran: 28, Al Mumtahanah: 8, Shaad: 28), peranan, jasa atau kiprahnya dalam kehidupan umat (QS. Shaad: 28), hubungan kekerabatan dan tali silatur rahmi ( QS. Al Ahzab: 6), tingkat kebutuhan dan kondisi gawat daruratnya dengan melihat persediaan.
Adapun dari segi Donor juga harus diperhatikan berbagai pertimbangan skala prioritas yaitu: 1). menanam jaringan/organ imitasi buatan bila memungkinkan secara medis. 2). Mengambil jaringan/organ dari tubuh orang yang sama selama memungkinkan karena dapat tumbuh kembali seperti, kulit dan lainnya. 3). Mengambil dari organ/jaringan binatang yang halal, adapun binatang lainnya dalam kondisi gawat darurat dan tidak ditemukan yang halal. 4). Mengambil dari tubuh orang yang mati dengan ketentuan seperti penjelasan di atas. 5). Mengambil dari tubuh orang yang masih hidup dengan ketentuan seperti diatas disamping orang tersebut adalah mukallaf ( baligh dan berakal ) harus berdasarkan kesadaran, pengertian, suka rela dan tanpa paksaan.
Disamping itu donor harus sehat mental dan jasmani yang tidak mengidap penyakit menular serta tidak boleh dijadikan komoditas.

DAFTAR PUSTAKA
Mahjuddin. 1990. Masailul Fiqhiyah. Kalam Mulia. Jakarta
Sejarah Transplantasi dan Hukum Donor Jaringan Tubuh menurut Islam, (http://buyung30.wordpress.com/2009/02/27/sejarah-transplantasi-dan-hukum-donor-jaringan-tubuh-menurut-islam.html), diperoleh tanggal 10 Desember 2009.
Pencangkokan Organ Tubuh – seputar masalah pencangkokan organ tubuh, (http://ahmadchem.blogspot.com/2009/09/pencangkokan-organ-tubuh.html),

Tiada ulasan: