Translate

Isnin, 14 November 2011

KETIKA MEREKA TIDAK MENGENAL DAYAK


Bertahun-tahun kerusuhan antar etnis

Dayak-Madura di Sampit, Kotawaringin Timur, Kalimantan

Tengah, telah berlalu. Tragedi paling berdarah di bumi

Kalimantan ini menyebabkan 90.000 orang Madura

terpaksa mengungsi pulang ke kampung halamannya.

Seperti puluhan orang Dayak lainnya di Sampit,

sebagian dari orang Madura itu tewas.

Konflik etnis ini tak sekadar menyentakkan. Tetapi

juga memunculkan kembali diskursus dan kontoversi

terhadap orang Dayak yang selama pemerintahan Belanda

di Indonesia sebagai suku terasing, tidak beradab,

barbarian, kanibal, dan biasa mengayau (memotong

kepala musuh dalam peperangan) ke permukaan.

Stigmanisasi Belanda ini “berhasil” menyesatkan

pandangan suku-suku lain di Nusantara terhadap orang

Dayak. Hingga kini misalnya anak-anak di Pulau Jawa

yang lahir pada era 1970-an percaya bahwa orang Dayak

itu berekor, haus darah, dan dilingkupi kehidupan

black magic yang pekat.

Pasangan muda Dayak, 1935

Penyesatan persepsi inilah yang dilakukan Michael

Theophile Hubert (MTH) Perelaer (1831-1901) dalam buku

yang ditulisnya dan diterjemahkan oleh Helius

Sjamsuddin ini. Perelaer yang pernah ambil bagian

dalam Perang Banjarmasin (1859) sebagai opsir Belanda

dan diangkat sebagai Civiel Gezaghebber (pejabat

sipil) di daerah Groote en Kleine Dajak –kini

Kalimantan Tengah– (1860) ini di hampir seluruh

bagian buku yang ditulisnya menggambarkan dengan

sangat mumpuni keindahan rimba raya Borneo beserta

sungai-sungai yang bersih dan berarus deras mengalir.

Tentu sebelum ganasnya gergaji dan raung bulldozer

milik kaum kapitalis dari kota meluluh-lantakkan wajah

dan perut bumi.

Melalui kacamata empat serdadu Pemerintah Kolonial

Belanda (dua Swiss, satu Belgia, dan satu Indo beribu

Nias) yang minggat dari benteng Kuala Kapuas,

melakukan perjalanan selama 70 hari menembus belantara

Borneo dari utara ke Selatan melalui segala

marabahaya, dan tidak mau lagi menjalankan tugas

kemiliteran (desersi) karena merasa ditipu oleh

Pemerintah Belanda yang memberi janji penghasilan

melimpah saat mereka ditugaskan, Perelaer juga

berkisah tentang kebudayaan, mitos, jipen (denda

adat), perkawinan, persaudaraan dan kekerabatan, dan

ketajaman mandau Dayak Punan memenggal kepala

musuh-musuhnya.

Namun yang paling banyak dikisahkah Perelear adalah

hal yang terakhir. Di mata Perelear, kayau menjadi

bukti barbarianisme tumbuh, berkembang, dan menjadi

mesin pembunuh yang sangat efektif di kalangan orang

Dayak pada abad ke-19. Hampir di semua bab novelnya

(19 Bab), Perelear menggambarkan bagaimana kayau

berlangsung. Sayangnya Perelear lupa (?) –mungkin

karena buku ini bersifat novel– menjelaskan mengapa

kayau hidup, berkembang, dan juga menjadi sarana

perlawanan terhadap kekuasaan kolonial selain menjadi

medium penaklukan dan lambang keperkasaan.

Namun tidak sekali ini saja penulis-penulis Belanda

–juga orang asing lainnya—menggambarkan dengan sangat

tidak sempurna dan cenderung mendiskreditkan orang

Dayak dan kayau-nya.

Buku berbahasa Prancis yang ditulis Jean-Yves Domalain

(1971) yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh

Len Ortzen berjudul Panjamon: I was a Headhunter

(Morrow, New York, 1973) pun demikian. Sebuah buku

yang berkisah tentang kayau terakhir (mungkin). Buku

ini lebih banyak memuat fantasi sang petualang (turis)

Domalain. Karena itu tidaklah mengherankan Library of

Congress (AS) membuat subjek buku ini sebagai

Borneo- Description and Travel yang secara tak

langsung menunjukkan kualitas buku ini tak lebih dari

sekadar iklan untuk turis yang keranjingan bepergian

ke tempat-tempat “eksotik”, liar, primitif, dan

menyeramkan. Terutama dalam menantang marabahaya

kayau.

Sama halnya dengan buku Wyn Sargent, My Life with the

Headhunters yang diterbitkan Garden City, New York,

Doubleday, 1974. Seorang Dayak Ngaju perantauan

menceritakan, Gubernur Kalteng WA Gara pernah terpaksa

mengusir Wyn Sargent, wartawan petualang asal Virginia

ini, karena menulis di koran dan tabloid di Amerika,

dan memberi wawancara bahwa dia tinggal di betang

(rumah panjang tempat beberapa keluarga Dayak tinggal

bersama denga guyub) bersama para pengayau dan

melakukan sex orgy setiap malam.

Dalam bukunya Sargent menceritakan hengkang dari

Borneo, ibu seorang putera (waktu itu berusia 11

tahun) kembali berpetualang ke Lembah Baliem, Papua

Barat. Di sini dia mengaku kawin dengan kepala suku

Bahorok atau O’Bahorok. Sargent kembali membuat

sensasi dengan gambar-gambar pesta perkawinan yang

sebenarnya cuma pesta biasa di kalangan

orang-orang Bahorok selesai musim tanam. Sargent

mengklaim gambar-gambar itu sebagai pesta

perkawinannya dengang sang kepala suku. Sargent

kembali membumbui kisahnya dengan sex orgy seperti

yang dilakukannya di Borneo. Dengan cara demikian

Sargent melengkapi fantasi keprimitifan Borneo dan

Papua bagi para pembaca buku-buku berbahasa Inggris di

Amerika dan Eropa.

Penguasa kolonial dan turis menggunakan ketidaktahuan

–bisa jadi karena kesengajaannya—berkisah dan

melebih-lebihkan kenyataan yang ada agar orang

membayangkan Borneo –juga Papua– sebagai tempat

primitive. Kayau di tangan mereka dibumbui dengan

cerita-cerita lisan yang menggambarkannya sebagai kegiatan

perorangan yg meneror komunitas

lokal maupun seberang sana. Mereka tak pernah berkisah

alasan di balik propaganda kayau sebagai medium

perang psikologis, pertahanan, dan reaksi terhadap

sesuatu yang sudah berlangsung kelewat batas.

Prof Andrew P Vayda dalam bukunya War in Ecological

Perspective: Persistence, Change, and Adaptive

Processes in Three Oceanian Societies (1976)

mengungkapkan bagaimana upaya propaganda menjadi alat

pertahanan komunitas maupun tribal nation setempat

untuk mengamankan wilayahnya dari para pengganggu

keseimbangan hidup dan kearifan lokal yang sudah

berlangsung dan terpelihara sekian lama.

Perelear mungkin lupa bahwa orang Dayak bisa juga

menjadi lebih beradab dengan saling berdamai dan

menghentikan pertikaian yang berlangsung ratusan tahun

melalui sebuah rapat besar yang dihadiri oleh para

utusan dari 400 kelompok Suku Dayak di seluruh

Kalimantan di Desa Tumbang Anoi, Kahayan Hulu Utara,

Kalimantan Tengah, pada 22 Mei -24 Juli 1894.


Pertikaian yang berlumuran adat kebiasaan lama yang

sudah terlanjur membudaya, berurat berakar warisan

negatif dalam bentuk asang-maasang (perang suku),

bunu-habunu (saling membunuh), kayau-mangayau (saling

penggal kepala), dan jipen-hajipen (saling mendenda),

berganti menjadi suasana yang penuh getaran semangat

pembaharuan dan persaudaraan yang pekat akibat Pakat

Tumbang Anoi itu.

Lalu jika kayau terjadi dalam konflik etnis di Sampit

silam, tentu penyebabnya adalah sesuatu yang

maha luar biasa. Hanya sesuatu yang maha dahsyatlah

yang bisa membangkitkan reaksi orang Dayak dalam

bentuk mangayau musuhnya itu hidup kembali.

Ketidakadilan dan pemihakan kekuasaan yang

meminggirkan hak-hak orang Dayak lah yang sesungguhnya

menjadi penyebabnya. Kayau dalam bentuk modern

(korupsi, diskriminasi, penjarahan kekayaan rimba raya

Borneo dan seterusnya) justru lebih berbahaya dari

kayau yang sudah lindap pasca Pakat Tumbang Anoi 1894.

Sumber: http://noyan.webs.com

Tiada ulasan: