Translate

Isnin, 24 Mei 2010

kegiatan Intelektual Syeikh Nawawi Al-Bantani
1. Mengarang, mengajar dan menjadi Imam Masjid Al-Haram
Disamping mengajar, mengarang dan menjadi Imam di Masjid Al-Haram, Syeikh Nawawi al-Bantani juga tidak luput memantau perkembangan sosial politik di tanah air melalui muridnya yang berasal dari Indonesia serta menyumbangkan ide-ide dan pemikiranya untuk kemajuan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, selain pelajaran agama, Syeikh Nawawi juga mengajarkan makna kemerdekaan, anti-kolonialisme dan Imperialisme dengan cara yang halus. Karena bagi Syeikh Nawawi, betapa perlu dan mendesaknya sekarang untuk mencetak kader-kader patriotik yang kelak mampu menegakkan kebenaran, menumpas kebatilan dan menghancurkan kezaliman.
Hasil didikan anti penjajah yang halus tersebut, kemudian dijabarkan oleh murid-muridnya setelah kembali ketanah air. Misalnya K.H. Hasim Asy’ari pada masa revolusi fisik, mengeluarkan Resolusi Jihad yang berisi seruan untuk mempertahankan kemerdekaan dan mengusir penjajah dari tanah air. Hasil dari Resolusi Jihad tersebut adalah meletusnya peristiwa 10 Nopember di Surabaya yang kemudian setiap tahunya diperingati sebagai Hari Pahlawan secara Nasional.
Selain itu, Syeikh Nawawi juga aktif dalam membina koloni Jawa atau Kampung Jawa. Aktivitas koloni Jawa ini meskipun di Mekkah, tetapi mendapat perhatian khusus dari pemerintah kolonial Belanda di Indonesia, karena dianggap cukup membahayakan. Karena dari sanalah lahir para pelopor gerakan di Nusantara.
Di samping dari para murid yang datang dari Indonesia, para Syeikh atau ulama yang berasal dari Indonesia juga bisa mendapatkan informasi tentang perkembangan situasi sosial politik yang sedang terjadi dari jamaah haji dari Indonesia yang datang ke Mekkah dan Madinah. Di samping melaksanakan kewajiban utama mereka untuk beribadah, mereka juga bertukar informasi terutama tentang situasi dan kondisi yang ada di kawasan masing-masing.

2. Hanya dua Ahli Tafsir
Syeikh Nawawi mewakili orang non Arab yang menulis karya tafsirnya dalam bahasa Arab yang sangat indah. Tidak seperti Muhammad Abduh (w.1905), Nawawi menampilkan a new classical tradisi tafsir, sebuah tafsir yang tetap mempertimbangkan karya-karya ulama abad pertengahan, namun pada saat yang sama menunjukan kondisi-kondisi kekinian. Sementara Abduh lebih dipengaruhi oleh ide-ide para pemikir Mu’tazilah, Nawawi sangat dipengaruhi oleh pemikiran para ulama sunni abad pertengahan, seperti karya-karya Ibnu Umar Kasir al-Quraisi (lahir tahun 1300), Jalal ad-Din Mahalli (w.846/1460), Jalal ad-Din As Suyuti (w.911/1505), dan yang sejenisnya. Lagi pula, Abduh tampaknya lebih mengembangkan kekuatan analisis, sedangkan Nawawi lebih bersandar pada al-Qur’an, Hadits, pendapat para sahabat dan ulama Salaf terpercaya.

Kontribusi utama Nawawi dalam bidang tafsir adalah bahwa dia telah menulis sebuah tafsir ketika dunia Islam tidak menunjukan adanya tanda-tanda munculnya revitalisasi tradisi klasik Islam. Pada masanya hanya terdapat sejumlah kecil karya tafsir sejenis yang dihasilkan. Situasi ini disebabkan oleh keengganan internal dikalangan muslim untuk menulis tafsir karena adanya peringatan dari Nabi bahwa siapapun yang mengomentari atau menafsirkan sesuatu di dalam al-Qur’an yang didasarkan pada pendapatnya, ia telah melakukan suatu kekeliruan. Neraka akan menjadi tempat kembali bagi siapa saja yang melakukan kesalahan itu. Nawawi sendiri benar-benar mengalami kebimbangan yang cukup lama sebelum ia memutuskan untuk menulis tafsir, meskipun banyak orang yang meyakinkan dan mendukungnya untuk menulis tafsir. Nawawi menyadari betul peringatan hadits tersebut, namun akhirnya ia menulis tafsir dengan pengakuan bahwa dia mengerjakan karya sederhana ini untuk menunjukan kesalehan ulama salaf dalam memelihara ilmu pengetahuan agar setiap orang memperoleh manfaat darinya. Dia menyadari sepenuhnya bahwa dia tidak terlepas dari unsur kekeliruan manusiawi. Karena itulah, dia menyelesaikan tafsirnya dengan sangat cermat dan menyandarkan semua karyanya kepada penjelasan al-Qur’an itu sendiri yang terdapat pada ayat-ayat lainnya, hadits Nabi, pernyataan para sahabat dan salaf ash shaleh.
Kekhasan karya Nawawi terletak pada perhatian khususnya pada nilai pentingnya pengetahuan. Sebagai contoh, dalam menafsirkan induk al-Quran (surat al-fatihah) dia menjelaskan bahwa surat ini memuat paling tidak empat bidang ilmu pengetahuan.
Pertama, tauhid, keesaan Tuhan, atau teologi. Sifat-sifat ketuhanan tercakup dalam fase al-hamdu lillahi rabbil ‘alamin, arrohman arrohim, dan tugas-tugas kenabian di dalam alladziina an’amta ‘alaihim. Hari pembalasan diartikulasikan dalam yaumiddin.
Kedua, hukum Islam dengan ibadah sebagai bagian terpenting. Pada dasarnya, hukum Islam terdiri atas aturan-aturan materiil maupun fisik yang berkaitan dengan permasalahan kehidupan, mu’amalah, kehidupan sosial, dan pernikahan. Semuanya termuat dalam makna shirotol mustaqiim.
Ketiga, kesempurnaan ilmu yang sejalan dengan moralitas Islam. Ini termasuk istiqomah, berada di jalan yang lurus, sebagaimana yang ditunjukkan dalam iyyaka nasta’in.
Keempat, sejarah atau kisah berbagai bangsa pada masa lampau. Kemuliaan perlu diteladani berasal dari para Nabi, dan sebaliknya bagaimana orang-orang yang merugi karena mereka tidak beriman, sebagaimana termuat dalam al-ladzina an’amta ‘alaihim, dan berikutnya dalam ghairil maghduubi ‘alaihim waladdholin.

3. Sebagai Pengikut Tariqah
Menurut Snouck Hurgronce, “Nawawi tidak mengajarkan atau melarang murid-muridnya mengikut tarekat”. Meskipun bersikap netral, Nawawi selalu mengaku pengikut Syeikh Khatib Sambas (Ahmad Khatib as-Sambasi w.1878), pendiri tarekat Qadariyah Naqsyabandiyah.
Sebagaimana Sambas, Nawawi adalah penganut sufisme Ghazali. Dia menyarankan kepada masyarakat untuk mengikuti salah satu Imam tasawuf, seperti imam Sa’id bin Muhammad Abi al-Qasim al-Junaidi. Baginya, dia adalah pangeran sufisme dalam arti teoritis maupun praktis.

4. Harus banyak mengarang
Pada tahun 1870 kesibukannya bertambah karena ia harus banyak menulis kitab. Terkadang Beliau menulis Kitab hanya diterangi oleh lampu tempel (lampu yang berbahan bakar minyak tanah). Inisiatif menulis banyak datang dari desakan sebagian koleganya yang meminta untuk menuliskan beberapa kitab. Kebanyakan permintaan itu datang dari sahabatnya yang berasal dari Jawa, karena dibutuhkan untuk dibacakan kembali di daerah asalnya. Desakan itu dapat terlihat dalam setiap karyanya yang sering ditulis atas permohonan sahabatnya. Kitab-kitab yang ditulisnya sebagian besar adalah kitab-kitab komentar (Syarh) dari karya-karya ulama sebelumnya yang populer dan dianggap sulit dipahami. Alasan menulis Syarh selain karena permintaan orang lain, Syeikh Nawawi juga berkeinginan untuk melestarikan karya pendahulunya yang sering mengalami perubahan dan pengurangan.

Tiada ulasan: