Translate

Jumaat, 21 Mei 2010

PETA PEMIKIRAN POLITIK SUNNI KLASIK
Dalam pemikiran politik Sunni, pemerintahan adalah suatu keniscayaaan demi memungkinkan manusia bekerjasama guna menggapai meraih tujuan hidupnya yang sejati, hidup berdasarkan syariah dan kebahagiaan di akhirat.
Perdebatan teoritis dalam pemikiran politik Sunni adalah apakah keniscayaan pemerintahan merupakan suatu kewajiban keagamaan atau suatu kebutuhan yang bersifat rasional? Menurut Mu’tazilah (salahsatu mazhab rasional Islam) dan Khawarij (kelompok politik yang keluar dari barisan khalifah Ali bin Abi Thalib karena kecewa atas arbitrase Ali dengan Muawiyah) adalah kewajiban keagamaan. Sedangkan bagi Abu al-Hasan Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Mawardi/Alboacen (972-1058 M), Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali/Algazel (1058-1111 M), Taqi al-Din Abu al-Abbas Ahmad ibn Abd al-Halim ibn Abd al-Salam ibn Taymiyah al-Harrani (1263-1328 M) adalah kebutuhan yang bersifat rasional.
Isu sentralnya sendiri adalah masalah: imam, pemimpin. Lambton, berdasarkan risetnya atas pemikiran Abu Yusuf, al-Baqillani, al-Baghdadi, al-Juwaini, al-Ghazali,dan Fahr al-Din al-Razi, berkesimpulan bahwa, seluruh otoritas dan kekuasaan dipusatkan pada person imam sebagai pemimpin kaum beriman, dan tak ada otoritas atau kekuatan dianggap sah kecuali dilaksanakan sebagai hasil delegasi darinya, baik langsung maupun tidak.
Pada periode Abbasiyah, otoritas imamah berasal dari legitimasi ilahi. Hal ini mementahkan teori al-Baqillani, al-Baghdadi (ummah adalah sumber legitimasi kekuasaan imam), dan al-Juwaini (ahl hal wa al-aqd sebagai sumber legitimiasi). Bahkan, Ibn Taymiyah menyebut penguasa sebagai “bayangan tuhan di bumi” dan kedaulatannya adalah refleksi kemahakuasaan Tuhan.
Melemahnya kekuasaan Abbasiyah, membuat pemikir politik seperti al-Mawardi, menegaskan keniscayaan kepemimpinan imam, memulihkan legitimasi kekhalifahan Abbasiyah. Disintegrasi Abbasiyah, yang memunculkan sejumlah penguasa lokal, seperti Dinasti Saljuk Turki dan Buwaihiyah yang membutuhkan legitimasi. Al-Ghazali berperan di sini. Menurutnya, kekuasaan temporal dan spiritual dapat dipisahkan dan tidak mesti bernaung dalam satu kekuasaan tunggal. Jika dua sisi, penguasa temporal dan spiritual, tidak mungkin terhimpun pada satu orang, maka perlu bisa dipisahkan. Al-Ghazali pun tidak terlalu percaya pada rakyat kebanyakan, sedangkan Ibn Taymiyah mengedepankan musyawarah.
Setelah kekhalifahan betul-betul runtuh, terjadi modifikasi teori politiki yang memungkinkan transfer kepemimpinan umat dari khalifah ke penguasa temporal (sultan) selama sang sultan mengakui universalitas syariah. Bahkan, umat tidak boleh berontak kepada kekuasaan meski memiliki akhlak yang buruk. Tentang masalah ini, Mu’tazilah dan Khawarij (termasuk Syiah Zaidiyah) berpandangan: seorang yang bukan terbaik dalam memenuhi persyaratan kepemimpinan (mafdhul ) diperbolehkan menjadi pemimpin jika situasi tidak memungkinkan orang yang terbaik (afdhal) menempati jabatan tersebut.
Dari “pandangan burung’ tentang pemikiran politik Sunni ini, tampak pergeseran dari ujung ekstem yang satu ke ujung ekstrem lainnya, yakni dari konsep khilafah sebagai pemimpin ideal yang menempatkan pemimpin sebagai “pilihan Allah” dengan segenap keunggulannya, hingga konsep imamah yang memberi jabatan kepemimpinan umat kepada sekedar seorang yang berhasil merebut kekuasaan (dengan kekuataan militer, misalnya), yang akhirnya melahirkan kekecewaan terhadap realitas politik sepanjang sejarah dimana pemimpin yang jauh dari ideal—dikembalikan kepada model ideal filosofis a la al-Farabi dan dibatasi hanya pada empat khalifah pertama (Khulafa al-Rasyidin), kembali ditawarkan sebagai alternatif.
Disarikan dari:
Yamani, Antara al-Farabi dan Khomeini: Filsafat Politik Islam, Bandung: Mizan, 2002
Ditulis dalam FALSAFAH
PETA PEMIKIRAN POLITIK SUNNI KLASIK
Dalam pemikiran politik Sunni, pemerintahan adalah suatu keniscayaaan demi memungkinkan manusia bekerjasama guna menggapai meraih tujuan hidupnya yang sejati, hidup berdasarkan syariah dan kebahagiaan di akhirat.
Perdebatan teoritis dalam pemikiran politik Sunni adalah apakah keniscayaan pemerintahan merupakan suatu kewajiban keagamaan atau suatu kebutuhan yang bersifat rasional? Menurut Mu’tazilah (salahsatu mazhab rasional Islam) dan Khawarij (kelompok politik yang keluar dari barisan khalifah Ali bin Abi Thalib karena kecewa atas arbitrase Ali dengan Muawiyah) adalah kewajiban keagamaan. Sedangkan bagi Abu al-Hasan Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Mawardi/Alboacen (972-1058 M), Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali/Algazel (1058-1111 M), Taqi al-Din Abu al-Abbas Ahmad ibn Abd al-Halim ibn Abd al-Salam ibn Taymiyah al-Harrani (1263-1328 M) adalah kebutuhan yang bersifat rasional.
Isu sentralnya sendiri adalah masalah: imam, pemimpin. Lambton, berdasarkan risetnya atas pemikiran Abu Yusuf, al-Baqillani, al-Baghdadi, al-Juwaini, al-Ghazali,dan Fahr al-Din al-Razi, berkesimpulan bahwa, seluruh otoritas dan kekuasaan dipusatkan pada person imam sebagai pemimpin kaum beriman, dan tak ada otoritas atau kekuatan dianggap sah kecuali dilaksanakan sebagai hasil delegasi darinya, baik langsung maupun tidak.
Pada periode Abbasiyah, otoritas imamah berasal dari legitimasi ilahi. Hal ini mementahkan teori al-Baqillani, al-Baghdadi (ummah adalah sumber legitimasi kekuasaan imam), dan al-Juwaini (ahl hal wa al-aqd sebagai sumber legitimiasi). Bahkan, Ibn Taymiyah menyebut penguasa sebagai “bayangan tuhan di bumi” dan kedaulatannya adalah refleksi kemahakuasaan Tuhan.
Melemahnya kekuasaan Abbasiyah, membuat pemikir politik seperti al-Mawardi, menegaskan keniscayaan kepemimpinan imam, memulihkan legitimasi kekhalifahan Abbasiyah. Disintegrasi Abbasiyah, yang memunculkan sejumlah penguasa lokal, seperti Dinasti Saljuk Turki dan Buwaihiyah yang membutuhkan legitimasi. Al-Ghazali berperan di sini. Menurutnya, kekuasaan temporal dan spiritual dapat dipisahkan dan tidak mesti bernaung dalam satu kekuasaan tunggal. Jika dua sisi, penguasa temporal dan spiritual, tidak mungkin terhimpun pada satu orang, maka perlu bisa dipisahkan. Al-Ghazali pun tidak terlalu percaya pada rakyat kebanyakan, sedangkan Ibn Taymiyah mengedepankan musyawarah.
Setelah kekhalifahan betul-betul runtuh, terjadi modifikasi teori politiki yang memungkinkan transfer kepemimpinan umat dari khalifah ke penguasa temporal (sultan) selama sang sultan mengakui universalitas syariah. Bahkan, umat tidak boleh berontak kepada kekuasaan meski memiliki akhlak yang buruk. Tentang masalah ini, Mu’tazilah dan Khawarij (termasuk Syiah Zaidiyah) berpandangan: seorang yang bukan terbaik dalam memenuhi persyaratan kepemimpinan (mafdhul ) diperbolehkan menjadi pemimpin jika situasi tidak memungkinkan orang yang terbaik (afdhal) menempati jabatan tersebut.
Dari “pandangan burung’ tentang pemikiran politik Sunni ini, tampak pergeseran dari ujung ekstem yang satu ke ujung ekstrem lainnya, yakni dari konsep khilafah sebagai pemimpin ideal yang menempatkan pemimpin sebagai “pilihan Allah” dengan segenap keunggulannya, hingga konsep imamah yang memberi jabatan kepemimpinan umat kepada sekedar seorang yang berhasil merebut kekuasaan (dengan kekuataan militer, misalnya), yang akhirnya melahirkan kekecewaan terhadap realitas politik sepanjang sejarah dimana pemimpin yang jauh dari ideal—dikembalikan kepada model ideal filosofis a la al-Farabi dan dibatasi hanya pada empat khalifah pertama (Khulafa al-Rasyidin), kembali ditawarkan sebagai alternatif.
Disarikan dari:
Yamani, Antara al-Farabi dan Khomeini: Filsafat Politik Islam, Bandung: Mizan, 2002
Ditulis dalam FALSAFAH

Tiada ulasan: